Senyum kemenangan lahir di bibir Jarot, aku yakin sekali ia membayangkan yang tidak-tidak. Jarot dan Fajar lekas mengambil piring dan menambahkan nasi. Dengan lahap, mereka makan. Sedangkan aku, kembali penasaran apa yang dilakukan Sulastri. Kemudian kubuka telingaku lebar-lebar, kudengar sebuah percakapan di telepon.
Ada debaran yang aneh menjalari tubuhku. Kudengar ia menelpon dari ruang sebelah.
“Halooo…”
“Iya Le… Bangun, sudah jam 1…”
“Iya, bangun… Ibu sebentar lagi istirahat, jangan lupa sholat tahajud ya Le…”
Percakapan itu samar-samar terdengar. Dua kali, perempuan itu menelpon pada orang yang berbeda. Rasa sesak di dadaku semakin membuncah rasanya. Seakan-akan sebentar lagi meledak. Berbagai fakta perbincanagan di warung kopi seakan menguap. Kemudian, tanpa sadar, air mataku meleleh mengalir ke pipi. Sulastri bukanlah janda jalang, seperti yang diberitakan orang-orang selama ini, batinku kemudian.
***
Bumi Reyog, Desember 2019
Ati-ati dadi edan awakmu = Hati-hati bisa jadi gila dirimu.
Cerpen ini dimuat di harian Media Indonesia edisi Minggu 8 Maret 2020.
SAPTA ARIF NUR WAHYUDIN. Aktivis Pramuka yang suka menulis pepuisi, cerita-cerita dan diskusi. Pemenang Sayembara Sastra Bunga Tunjung Biru 2018. Buku pertamanya “Di Hari Kelahiran Puisi”. Kini aktif di Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI Ponorogo. Bersama mertuanya, Dr. H. Sutejo, M.Hum, kini sedang mengembangkan keluargaliterasi.com. Bisa disapa melalui akun IG: @saptaarif.