Sulastri muda memang dikenal sebagai kembang desa di kampung halamannya. Sebab suaminya sebagai polisi harus dinas di kota, akhirnya manten baru itu pindah ke perumahan Tajuk. Kisah cinta mereka awalnya tidak menunjukkan tanda-tanda yang buruk. Warga perumahan pun menerima Sasraswati sebagai istri yang nyaris sempurna.Â
Seorang istri yang—barangkali—diidam-idamkan semua suami di dunia. Bagaimana tidak, selain memiliki kulit yang kuning langsat, wajah Sulastri terbilang manis dengan sebuah lesung pipit yang menggantung di pipi kirinya. Tak hanya itu, ketika beberapa bulan sejak kelahiran putranya yang pertama, tubuh Sulastri tetap terlihat kencang.Â
Hampir tidak memperlihatkan sisa-sisa kehamilannya. Hal ini awalnya dimaklumi warga setempat lantaran Sulastri giat olahraga pagi dan doyan mengkonsumsi sayur mayur.Â
Namun seiring berjalannya waktu, setelah anak keduanya lahir, kemudian warga mendapati tubuhnya masih kencang-berisi, apalagi manis wajah dan kulit kuning langsatnya seperti tak berkurang sedikit pun, warga mulai menaruh kecurigaan.
Lekaslah kecurigaan itu beranak-pinak membuka pintu kecurigaan yang lain. Sudah lama perempuan itu menjanda. Pernah sesekali aku melihat seorang laki-laki hitam, berambut gimbal berantakan, berpakaian compang-camping, masuk ke halaman rumah si janda itu.Â
Namun alangkah terkejutnya diriku, melihat orang yang dianggap gila oleh warga lain itu, duduk manis berbincang. Kemudian, dari dalam rumah Sulastri mengantarkan sepiring nasi. Perempuan itu menunggu hingga lelaki itu selesai makan. Bahkan ketika pulang pun sempat berpamitan.
Di lain kesempatan, aku melihat bocah kira-kira berusia 15 tahun membawa gitar kecil. Wajahnya kumal, aku menduga ia pengamen yang akan mendatangi setiap rumah di perumahan ini.Â
Sambil merokok di teras rumah, telah ku-siapkan uang receh. Ia berjalan masuk melalui pintu gerbang perumahan dari utara. Satu rumah dilewatinya. Pasti rumah itu tertutup dan sepi. Dua rumah dilewati. Ia berjalan ke selatan dengan langkah santai tanpa beban. Tiga rumah dilewati.Â
Hingga sampai di depan rumahku, ia berjalan santai melewati begitu saja. Aku diam memperhatikan, melihatnya menatapku enteng. Kemudian di rumah keempat, tepatnya depan rumah Sulastri, ia masuk ke halamannya. Meski pintunya tertutup, bocah itu nekat memainkan gitar, kemudian bernyanyi.
Tidak berselang lama, Sulastri keluar—memakai daster bermotif bunga-bunga berwarna merah muda, memberikan uang. Setelah diterima oleh bocah itu, perempuan itu tersenyum kemudian berbicara sesuatu, entah apa. Bocah itupun keluar dari halaman rumahnya dengan ceria. Berjalan kembali ke utara, melewati rumah-rumah lainnya. Kemudian menghilang di telan tikungan jalan.
Di warung kopi, Jarot kuceritakan kejadian ini dengan detail, tanpa kulebih-lebihkan. Kemudian ia menggeleng heran, memegang keningku. Ati-ati dadi edan awakmu*, kemudian ia tertawa. Aku tidak membalas tawanya, kutatap ia begitu serius. Oke! Baiklah, nanti malam kita mampir! Jarot menjawab ketus.