Alih-alih menggigil kedinginan, lantaran udara malam yang kian menusuk hingga tulang dan sendi, Sulastri tetap berdiri kokoh di depan teras rumahnya. Angin sisa hujan lebat yang seharusnya menyebabkan orang-orang menggigil menerpa tubuh perempuan berusia 50-an itu.
Di tengah malam, ketika lonceng jam di ruang tengahnya berbunyi nyaring—menandakan pergantian hari, Sulastri tetap teguh membunuh waktu dengan gunting dan helaian daun tanaman bunga yang telah mengering. Ketika lonceng itu berbunyi, ia paham, sebentar lagi peronda akan lewat di depan rumahnya.
Maka, seperti malam-malam sebelumnya, Sulastri akan menawarkan secangkir kopi. Namun jawabannya dari malam ke malam tetap sama saja, bapak-bapak peronda akan menolak dengan halus, kemudian senyum kecut tersungging di bibir mereka. Ketika berlalu melewati rumah perempuan itu, dengung suara menyertai kepergiannya: wong tuo edan! Suara itu terdengar, meski samar-samar.
Cerita ini sudah lama hidup di perumahan Tajuk. Bahkan dari waktu ke waktu, versi ceritanya semakin panjang. Cerita ini bertamasya dari mulut ke mulut, dari warung kopi ke warung kopi, hingga tak jarang ada pula yang membahasnya di meja makan keluarga.
Sulastri dikenal sebagai seorang janda yang ditinggal pergi suaminya. Menurut cerita mertuaku, perempuan itu menikah muda. Seingatku dua puluh tahun-an, ya karena kecelakaan itu! ucap mertuaku. Namun karena cerita yang berkembang dan beberapa kali mendapati kebiasaan anehnya, aku justru penasaran dengan perempuan itu.
“Huss! Ngawur kamu, jangan coba dekat-dekat dengan dia. Kamu tahu kan? Ia hidup sendirian di rumah, suami dan anaknya minggat. Katanya, ia perempuan pembawa sial!” ucap Yu Sarwini penjual nasi pecel di seberang pintu masuk perumahan.
“Iya! Ngapain manten anyar tanya-tanya begitu, amit-amit, jangan sampai kau kena pelet!”aku tersenyum kecut mendengar ucapan Pak Burhan.
Di warung itu, pembahasan soal Sulastri tidak pernah berhenti. Warga perumahan sudah lama menaruh curiga pada perempuan itu. Bahkan dulu ketika Sulastri berusia 30-an, beberapa kali Pak RT dan Pak RW datang ke rumahnya.
Kedatangannya pun sebenarnya sangat tidak mengenakkan, mereka berdua menfasilitasi aduan masyarakat yang mengatakan bahwa Sulastri adalah wanita panggilan pejabat-pejabat di Ponorogo.
Namun, hingga kunjungan terakhir Pak RT dan Pak RW hasilnya selalu sama saja, mereka berdua tak bisa membuktikan tuduhan masyarakat pada Sulastri. Yang apesnya justru mereka berdua-lah yang harus mendengar cerita menyedihkan dari bibir manis perempuan itu. Cerita itu tentunya tentang kisah pilu Sulastri ditinggal suaminya, sejak lama.