1.Â
Laki-laki itu masih terdiam. Nampaknya menunggu jawaban. Pesanan sudah datang, secangkir kopi cappuccino. Lelaki itu mengangkat cangkir, kemudian dia dekatkan ke hidung. Lalu dia dekatkan ke bibir dan meminumnya. Kemudian diletakannya lagi. Kembali dia menikmati wajah perempuan di depannya. Namun masih saja kaku. Keduanya nampak ragu untuk memulai pembicaraan.
"Jadi bagaimana?" lelaki itu nekat membuka kata.
Dan hasilnya sama saja. Hanya menimbulkan senyum di sudut bibir perempuan di hadapannya. Suara tetap beku, yang ada hanya isyarat tubuh yang tak mampu diterjemahkan oleh kata. Nampaknya perempuan itu tengah asik dengan dunianya. Berkali-kali dia membolak-balikan lembaran kertas yang dipegangnya.
Laki-laki itu mengaduk kopinya. Lalu meminumnya. Mengaduk lagi. Dan meminumnya lagi. Jarinya mulai mengetuk-ngetuk meja. Wajahnya mulai gelisah. Namun matanya tetap tertuju pada perempuan di hadapannya. Entah perempuan macam apa yang sukses menyiratkan kegelisahan dari kedua mata lelaki itu. Sedangkan perempuan di hadapannya masih saja membaca lembaran kertas yang diberikan oleh lelaki tadi sepuluh menit yang lalu.
"Bagaimana?" lelaki itu mencoba memancing pembicaraan lagi.
Perempuan itu pun menoleh dan hanya tersenyum. Lelaki itu diam kembali. Wajahnya tambah gundah. Ada sesuatu yang mengganjal bibirnya untuk berbicara, atau sekedar untuk berucap satu kata. Tangannya mulai mengambil buku dari tasnya. Lalu mulai menulis kata. Kemudian timbul kalimat-kalimat. Lalu semuanya dicoret. Di sobek dan dibuang. Menulis lagi. Menyoret. Menyobek dan membuang. Dia layangkan tatapannya pada sisa gerimis hujan malam ini. Masih saja sepi. Tak ada perubahan yang berarti. Dingin tetap mencengkram kedua anak manusia di meja dua puluh satu itu.
"Bagus!" perempuan itu melahirkan kata setelah sekian menit terdiam.
"Apanya?" Laki-laki itu tanya keheranan.
Perempuan itu tersenyum sambil mengembalikan lembaran yang dipegang pada lelaki di hadapannya. Aku pun kembali datang mengantar pesanan ke meja itu.
2.