"Bukannya susah Mas, tapi kita yang belum bisa memahami." laki-laki itu hanya tersenyum lalu kembali ke mejanya.
3.
Menunggu adalah sesuatu yang membosankan. Ada orang yang mengatakan, menunggu adalah simbol dari kata menyerah yang tak terungkapkan. Menunggu karena sudah menyerah untuk berusaha. Menunggu karena menyerah untuk menikmati kegagalan. Ada pula yang mengatakan, menunggu adalah hal yang paling egois di dunia. Menunggu karena menanti orang lain untuk berusaha. Namun menunggu yang kulakukan kali ini bukanlah sekadar menunggu. Bukanlah menunggu karena aku sudah menyerah ataupun karena aku egois. Namun perempuan di depanku memaksaku untuk kembali menunggu.
"Jadi bagaimana?" aku mulai membuka percakapan, meski tampaknya sia-sia.
Perempuan ini hanya tersenyum menatapku, kemudian dia melanjutkan membaca cerita pendek yang memang tadi aku berikan padanya. Raut wajahnya begitu serius mendalami kertas yang sejak sepuluh menit dia pegang. Cerita pendek untuk sebuah kisah yang pendek. Bukan sekedar kisah. Lebih tepatnya kenangan. Barangkali lebih bagus, sebuah cerita pendek untuk kenangan yang pendek.
Waktu itu hujan mengguyur Solo. Aku dan dia masih saja berdebat demi mempertahankan pendapat yang entah siapa yang akan tau kebenarannya. Sebenarnya hal kecil yang kami perdebatkan. Siapa yang menyangka sebuah puisi yang kami baca bersama bisa menimbulkan perdebatan yang sampai sekarang, barangkali belum tau ujung jawabnya.
"Bukan! Ini Chairil masih galau ya? Menunggu jawaban cinta Sri Ajati." Dia masih ngotot dengan pendapatnya itu.
Berbagai argumen aku lontarkan untuk memupus pandangannya tentang puisi Senja di Pelabuhan Kecil karya Chairil Anwar. Namun dengan teguh, dia tetap bertahan. Dari perdebatan inilah aku mengenal sosoknya. Perempuan yang selalu kutemui saat hujan tiba.
Seperti saat ini, hujan yang masih mengguyur lingkaran kampus, barangkali akan menjadi saksi keberadaan cinta yang kupendam selama ini. Belum lama aku mengenalnya, mungkin hanya lewat status media sosial yang dia miliki. Bahkan untuk sekedar bertegur sapa pun kami jarang. Perempuan ini selalu menyembunyikan tatap matanya ketika bertemu denganku. Namun aneh, karena hal itulah aku ingin menangkap tatap matanya. Sekedar untuk kuselami hingga relung hatinya. Walaupun sampai detik ini pun dia masih kukuh menyembunyikan pelangi di majahnya itu.
Sudah dua puluh menit, dia membiarkanku membeku oleh waktu. Berkali-kali aku mencoba membuka kata, namun hanya senyum kecil di sudut bibirnya. Aku mulai beranjak untuk memesan kopi ketigaku malam ini. Namun tetap saja, kepergianku tidak mengacaukan keasyikannya dengan lembaran kertas yang dipegang perempuan ini. Aku pun duduk kembali dengan secangkir cappuccinoyang mengepulkan wajahku.
"Bagus!" akhirnya dia melahirkan kata.