Mohon tunggu...
Safira Adi
Safira Adi Mohon Tunggu... Freelancer - Personal Experience

Still to Photography | Google Local Guide | Cerita dan Motret | #perenangimajinasi | tjeritaphira.wordpress it's my second blog | Anthropology my side experience

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Selasa Wage [Waton tapi ngGenah]: Sebuah Space Multicultural Malioboro

9 Februari 2022   20:46 Diperbarui: 10 November 2023   21:31 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Selain mencoba mengangkat dan memperkenalkan isu GENDER di kalangan masyarakat umum sebagai wawasan baru, SELASA WAGE secara tidak tersirat memberikan perkenalan mengenai kekuasaan, terlihat dari setiap instansi maupun pelaku wisata berlomba lomba mendirikan booth nya dengan acara nya nya masing masing, seperti yang dilakukan oleh instansi pemerintah yang bergerak di bidang pelestarian budaya (kalau bahasa sekarang lebih pada pemajuan budaya) menggelar lapaknya tepat di depan pintu masuk menuju Kantor Gubernur dengan tema belajar macapat sesarengan (intinya begitu). Disini awalnya diikuti oleh ahli tembang macapat dan orang tua lanjut usia mulai dari level pemula maupun level fasih, perlahan semakin bertambah peserta nya dengan mengajak anak muda yang lewat bersliweran di depan lapak tersebut.

Ajakan tersebut ternyata membuahkan hasil menyihir beberapa anak muda yang tertarik dan bergabung untuk belajar bersama (walaupun tidak banyak). Lalu, ada juga yang berasal dari instansi pemerintah yang bergerak di bidang literasi yakni Jogja Library Centre yang membuka lapaknya di depan persis Jogja Library Centre dengan mengadakan membaca puisi bersama, mengadakan penampilan mulai dari tarian anak hingga sedikit teater cilik yang seketika menarik untuk di dengar sesaat saya sedang menunggu di halte Transjogja yang letaknya persis di sebrang Jogja Library Centre. Seperti salah satu kutipan Whyte (2005) dalam buku Setha Low :

“Is to make sure that our urban sparks, beaches and heritage sites- those large urban spaces where we all come together-. remain public, in the sense of providing a place for everyone to relax, learn and recreat; and open so that we have places where interpersonal and intergroup cooperation and conflict can be worked out in a safe and public forum” – (Whyte, 2005).  

Bagaimanapun, sebebas apapun pengunjung warga local maupun wisatan bertingkah laku tetap masih ada percampuran tangan oleh Sri Sultan bekerjasama dengan pemerintahan kota untuk memberikan ruang leluasa untuk mereka menikmati atmosfir Malioboro yang sebenarnya tanpa adanya gangguan PKL yang berhinggan di lorong pertokoan Malioboro.

Elemen pemerintahan berusaha untuk mengembalikan fungsi Malioboro yang sebenarnya pada masa lampau sebagai saksi bisu sejarah perjalanan Jogjakarta menuju iconic seperti sekarang ini dan privatisasi dari para PKL. Malioboro menjadi tempat akulturasi warga Tionghoa dengan warga aseli Jogja yang ditunjukkan dalam Kampung Ketandan, begitu juga dengan cerita masing masing yang dibagun oleh wilayah kampung kecil sekitar Malioboro seperti pajeksan, dagen dan masih banyak lagi. Ditambah dengan dunia mengakui keramahtamahan warga Jogja terhadap keterbukaan beberapa isu seperti gender dan lain sebagainya, menambah ‘nilai plus’ untuk Provinsi yang terkenal dengan Daerah Istimewa nya ini, seperti yang dikatakan oleh William Whyte,

“Provided ‘welcoming and lively’ environtment became the basic of his- now famous ‘rules for small urban spaces"

Pernyataan dari Whyte diperkuat oleh pernyataan dari Setha Low (2000),

“One consequences: number open, urban publics spaces is dreaming as more and more places are privatized, gated of focused, closed for renovation and/ or redesigned to restrict activist”

Kedua pernyataan tersebut menurut saya dapat menggambarkan perjalanan Malioboro yang mencoba terbuka dengan seluruh element masyarakat lewat sebuah redesign contoh budaya yang diadakan seperti Selasa Wage dan lainnya serta perbaikan sarana dan prasarana sebagai wujud Malioboro sebagai ketua iconic ruang terbuka public yang ramah dan berwarna seperti slogan Jogja Berhati Nyaman.

Daftar Pustaka :

Low, Setha. dkk. 2005. Rethinking Urban Parks: Public space and cultural diversity. USA: The University of Texas press 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun