Berkembangnya reaksi yang muncul dari publik khususnya mengenai ketidakpercayaan terhadap pemerintahan yang memimpin menjadi penyebab politik populis memainkan perannya. Ketimpangan keadilan dan kemakmuran melahirkan pemimpin yang menggunakan politik populis sebagai metode-strategi politiknya dalam merebut atau menggoyahkan kekuasaan.
Di sisi lain, institusi politik seperti partai politik dan parlemen yang kian menuai kontroversi juga menjadi kesempatan dari ketidakpercayaan publik untuk mencari kadidat politik personal atau calon yang bisa 'mewakili' memperjuangkan hak rakyat. Calon yang terlihat populis seolah menjadi 'dokter' yang bisa mengatasi konflik dalam perkembangan demokrasi. Sehingga, tujuan dari narasi populis seolah hendak mengembalikan hakikat demokrasi.
Ketika terjadi sebuah kontestasi politik, maka isu soal populisme sudah pasti menjadi komoditas yang sangat bernilai. Hal ini dikarenakan populisme sering digunakan sebagai strategi dalam merebut suara dengan memiliki dukungan yang sangat kuat dari kelompok oposisi rezim.
Kehadiran kontestasi politik menjadi salah satu ruang komunikasi politik secara dialektis 'terbuka' antar calon dengan rakyat. Terlebih, seperti biasanya, dalam masa kampanye para calon tidak tanggung dalam menghadirkan identitas dan rencana programnya yang berbau populis.
Dua sisi yang akhirnya terlihat dari populisme ialah sebagai perlawanan terhadap status quo dengan menarik dukungan dari rakyat dan berhasil mewujudkan program-program yang berorientasi kerakyatan seperti pendidikan gratis, pemberdayaan keluarga dan anak, terjangkaunya kebutuhan primer, bantuan sosial, dan lain-lain, sedangkan sisi yang lain hanya sebagai penawar kekuatan dan jika berkuasa belum tentu semua program-program dari narasi populis tersebut diwujudkan alhasil banyak terjadi penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), deforestasi lingkungan hidup, kemiskinan, mahalnya biaya kebutuhan primer, konflik, dan banyak bentuk destruktif lainnya.
Kemampuan pemimpin politik dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan populis dalam mendongkrak perekonomian rakyat, terkhusus legitimasi politik saat periode kekuasaan berlangsung dalam menarik dan memastikan dukungan dari masyarakat menjadi salah satu bentuk kamuflase yang menjadi strategi bagi pemimpin populis. Melalui instrumen politik yang akuntabel membuat peluang dari pemimpin populis sangat besar dalam melanjutkan kembali periode kepemimpinannya.
Dalam diskusi yang diadakan oleh Institute of International Studies dengan tema "Religious Populism in the United States and Indonesia" Robert W. Hefner (Direktur Institute on Culture, Religion, and World affairs, Boston University) memberikan pandangan bahwa populisme hadir karena krisis kewarnegaraan di seluruh Dunia dan menjadi ancaman bagi gelombang demokrasi di Indonesia. Robert menyarankan rasa saling menghargai sesama manusia harus diutamakan untuk melawan populisme.
Tanggapan kritis lain dan re-konstruksi dari fenomena populisme dalam forum "Asah Kritis Indonesia" dengan tema "The Missing Left and The Rise if Right Populism: do We Need Pancasila" Aris Arif M. (Dosen Sosiologi FISIP Univ. Negeri Sebelas Maret) memberikan gagasan tentang Populisme Pancasila. Agenda populisme yang terjadi di AS dan Eropa pasca terpilihnya Trump telah menguatkan Populisme Kanan yang mengakibatkan krisis neo-liberal, sedangkan Populisme Kiri pasca tragedi 1965 dan 1998 di Indonesia yang sudah hilang karena diberantas oleh rezim dan beberapa aktornya masuk ke dalam pusaran politik praksis. Aris mendukung pembangunan agenda programatik berbasis Pancasila didorong oleh Populisme Pancasila melalui program-program yang dijalankan oleh calon kepala daerah dan calon presiden yang meliputi aspek sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Populisme bukan hanya sebagai tren dalam demokrasi, melainkan juga sebagai ancaman. Secara faktual telah banyak kasus yang dikembangkan berdasarkan resep populisme yang mengakibatkan perpecahan dan polarisasi sosial. Indonesia sebagai negara demokasi terbesar ketiga di Dunia dan memiliki keberagaman lintas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) telah bertransformasi dan bertahan melalui Pancasila sebagai fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Setiap kontestasi politik harus dimaknai dan digerakkan sebagai ruang partisipasi dan kontestasi secara demokratis antar elit dan rakyat tanpa ada sentimen dualisme dan perpecahan yang terjadi pada era sebelumnya.
Populisme Pancasila menjadi kerangka imajiner politik yang berhasil jika hal tersebut dibuktikan oleh para aktor dan institusi politik untuk bisa mengedepankan politik programatik dan membangun trust ke publik dengan track record kepemimpinan, serta menghilangkan money politics yang hanya akan menimbulkan kerugian 'manipulasi' bagi masyarakat.