Menurut anda, apa itu komunikasi? Apa itu komunikasi verbal? Bahkan penjabaran untuk komunikasi pun ada banyak sekali. Disini saya akan menjabarkan ulang sedikit pengertian dari Komunikasi Verbal menurut Prof.Deddy Mulyana, M.A., Ph.D. dalam salah satu bukunya yang berjudul ILMU KOMUNIKASI:Suatu Pengantar.
Pengertian Komunikasi Verbal
Komunikasi Verbal atau verbal communication adalah bentuk komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis (written) atau lisan (oral). Komunikasi verbal menempati porsi besar. Karena kenyataannya, ide-ide, pemikiran atau keputusan, lebih mudah disampaikan secara verbal ketimbang nonverbal. Dengan harapan, komunikan (baik pendengar maun pembaca ) bisa lebih mudah memahami pesan-pesan yang disampaikan. Contohnya tidak lain adalah,komunikasi verbal melalui lisan dapat dilakukan dengan menggunakan media,seperti seseorang yang bercakap-cakap melalui telepon. Sedangkan komunikasi verbal melalui tulisan dilakukan dengan secara tidak langsung antara komunikator dengan komunikan. Proses penyampaian informasi dilakukan dengan menggunakan cara berupa media surat, lukisan, gambar, grafik dan lain sebagainya.
Komukasi Verbal sendiri juga sering di sepadankan dengan bahasa, mengapa bisa seperti itu? Karena bahasa dapat dianggap juga sebagai suatu sistem kode verbal. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan maksud dari kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual dari kita. Konsekuensinya, kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau konsep yang diwakili kata kata itu sendiri. Seperti halnya, kata rumah, kursi, mobil, ataupun mahasiswa. Realitas apa yang diwakili oleh setiap kata itu? Begitu banyak macam ragam rumah. Ada rumah bertingkat, rumah mewah, rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah tembok. Kata kursi pun rumit juga. Ada kursi jok, kursi kerja, kursi plastik, kursi goyang, dan sebagainya lagi.
Asal-usul Bahasa
Dalam buku karya Deddy Mulyana ini juga dibahas mengenai Asal-usul Bahasa. Asal-usul bahasa sendiri hingga kini belum ada suatu teori pun yang diterima luas mengenai bagaimana bahasa itu muncul di permukaan bumi ini. Tetapi ada dugaan kuat bahwa bahasa nonverbal muncul sebelum bahasa verbal. Teoretikus kontemporer mengatakan bahwa bahasa adalah ekstensi perilaku sosial. Konon makhluk-makhluk yang mirip dengan manusia (hominid) dan menggunakan alat pemotong terbuat dari batu ini berkomunikasi secara naluriah, dengan bertukar tanda alamiah berupa suara (gerutuan, geraman, pekikan), postur dan gerakan tubuh, termasuk gerakan tangan dan lengan, sedikit lebih maju dari komunikasi hewan primata masa kini.
Dahulu, saat nenek moyang kita yang disebut Cro Magnon belum mampu berbahasa verbal, mereka berkomunikasi lewat gambar-gambar yang mereka buat pada tulang, tanduk, cadas, dan dinding gua yang banyak ditemukan di Spanyol, dan Prancis Selatan. Ini merupakan sarana pertama yang dikenal manusia untuk merekam informasi. Kemudian antara 40.000 dan 35.000 tahun lalu Cro Magnon mulai menggunakan bahasa lisan. Kelebihan homo sapien ini dari makhluk sebelumnya adalah kemampuan mereka untuk mengembangkan salah satu jenis tanda yang disebut simbol atau lambang. Kemampuan bahasa membuat mereka terus bertahan, tidak seperti makhluk mirip manusia sebelumnya yang musnah.
Sekitar 5000 tahun lalu juga manusia melakukan transisi komunikasi dengan memasuki era tulisan, sementara bahasa lisan pun terus berkembang. Penyebaran sistem tulisan akhirnya sampai juga ke Yunani. Bangsa Yunani-lah yang kemudian menyempurnakan dan menyederhanakan sistem tulisan ini. Sistem tulisan dan bahasa lisan ini terus berkembang hingga masa kini.
Fungsi Bahasa
Kita baru menyadari bahwa bahasa itu penting ketika kita menemui jalan buntu dalam menggunakan bahasa. Fungsi bahasa yang mendasar adalah untuk menamai atau menjuluki orang, objek, dan peristiwa. Penamaan adalah dimensi pertama bahasa dan basis bahasa, dan pada awalnya itu dilakukan manusia sesuka mereka, yang lalu menjadi konvensi.
Menurut Larry L. Barker, bahasa memiliki tiga fungsi: penamaan atau penjulukan yang merujuk pada usaha mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi; interaksi yang dimana menurut Barker, yaitu menekankan berbagai gagasan dan emosi yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan; transmisi dimana melalui bahsa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain, menerima informasi setiap hari, dari orang lain, baik secara langsung atau tidak langsung.
Kita harus mempelajari bahasa seperti mengutip kata Book bahwa agar komunikasi kita berhasil, setidaknya harus memenuhi tiga fungsi, yaitu: untuk mengenal dunia sekitar; berhubungan dengan orang lain; dan untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan kita.
Keterbatasan Bahasa
Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek
Suatu kata hanya mewakili realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri. Kata-kata pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak. Oleh karena itu kita sulit menamai suatu objek. Kualitas seseorang atau sesuatu yang ingin kita ungkapkan sebenarnya tidak sesederhana itu. Baik orang, benda atau peristiwa sebenarnya sulit untuk kita kategorikan sebagai baik atau buruk. Kesulitan menggunakan kata yang tepat juga dialami ketika ingin mengungkapkan perasaan. Pesan verbal biasanya lebih lazim kita gunakan untuk menerangkan sesuatu yang bersifat factual-deskriptif-rasional.
Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual
Kata-kata bersifat ambigu, karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-orang, yang menganut latar-belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Kata-kata selalu, sering, setiap orang, semua orang dan dengan teratur, sebenarnya bersifat ambigu. Contohnya kata budayawan sangat ambigu karena bisa di artikan cendikiawan atau seniman. Kata-kata paling ambigu tentu saja adalah konsep-konsep abstrak seperti kebebasan atau keadilan karena sulit di definisikan, sehingga sering menimbulkan kontroversi.
Kata mengandung Bias Budaya
Dengan ungkapan lain, bahasa dapat di pandang sebagai perluasan budaya. Menurut Hipotesis Sapir-Whorf, sebenarnya setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas, yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan pemakainya. Jadi bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk berpikir, melihat lingkungan dan alam semesta di sekitarnya dengan cara berbeda dan perilaku secara berbeda pula.
Percampuradukan fakta,penafsiran, dan penilaian
Dalam berbahasa kita sering mencampuradukkan fakta(uraian), penafsiran (dugaan) dan penilaian. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mencampuradukkan fakta dan dugaan. Banyak peristiwa yang kita anggap fakta sebenarnya merupakan dugaan yang berdasarkan kemungkinan. Komunikasi kita akan lebih efektif kalau kita memisahkan pernyataan fakta dengan dugaan.
Kerumitan Makna Kata
Mengapa sesungguhnya makna kata bersifat rumit? Karena sebenarnya Kita keliru bila kita menganggap bahwa kata-kata itu mempunyai makna. Kitalah yang member makna pada kata. Dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda-beda, tergantung pada konteks ruang dan waktu. Makna muncul dari hubungan khusus antara kata dan manusia. Makna tidak melekat pada kata-kata, namun kata-kata membangkitkan makna dalam pikiran orang.
- Bahasa Daerah VS Bahasa Daerah
Terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda,tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang kebetulan sama atau hampir sama tetapi di maknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbed namun dimaknai secara sama. Contohnya kata awak untuk orang minang berarti ’saya’ sedangkan dalam bahasa melayu berarti ’kamu’. Bayangkan apa jadinya bila orang Minang dan orang Palembang sma-sama menggunakan kata awak.
- Bahasa Daerah VS Bahasa Indonesia
Sejumlah kata dari bahasa daerah juga digunakan dalam bahasa Indonesia (atau bahasa Indonesia dalam dialek Betawi), atau sebaliknya,kata-kata Indonesia terdengar seperti diselipkan dalam bahasa daerah, namun artinya sangat jauh berbeda. Misalnya, kata sokdalam bahasa Sunda sering disalah tafsirkan oleh orang non-Sunda. Dalam bahasa Betawi atau bahasa Indonesia sokitu berarti sombong, seperti dalam kalimat “Orangnya paling sok“. Namun seorang mahasiswa non-Sunda yang meminta izin kepada kakak kelasnya yang asli Sunda dalam suatu rapat boleh jadi merasa tidak enak ketika kakak kelasnya itu menjawab “sok” yang artinya “Silahkan”.
- Bahasa Indonesia VS Bahasa Malaysia (Asing)
Suatu bangsa atau suku biasanya menganggap bahasanya sendiri sebagai yang terbaik,dan menganggap bahasa yang digunakan bangsa atau suku lain “tidak alamiah”, baik cara bicara ataupun kata-kata yang mereka ucapkan. ”Mengapa mereka tidak menggunakan kata-kata yang benar untuk menyebut segala sesuatu?” begitu mungkin piker kita. Maka janganlah heran kalau ada orang Malaysia yang berkata: ”Sepasang kelamin tinggal di rumah itu”,(sepasang kelamin=sepasang suami istri); ”Mari kita tengok wayang” (wayang=film); atau “Bom yang gugur telah menjahanamkan beberapa buah bangunan” (jahanam=rusak,menjahanamkan=merusakkan). Saya sering merasa sulit memahami bahasa Malaysia, karena orang Malaysia berbicara cepat,dengan intonasi berbeda,dan juga menggunakan kata-kata yang di telinga terdengar “aneh”.
- Bahasa Gaul dan Bahasa pada kelompok masyarakat tertentu
- Bahasa Kaum Selebritis
Kalangan selebritis pun memiliki bahasa gaul. Baronang = baru; pinergini = pergi dan lain sebagainya. Dalam kata-kata itu sering ada sisipan IN. Ada sejenis rumus yang digunakan. Namun rumus itu sudah kadarluasa, sudah terlalu umum, maka mereka menciptakan bahasa baru lagi. Bahasa gaul ini bukan hanya alat komunikasi, namun juga alat identifikasi. Ada kebutuhan di antara para pemakainya untuk berkomunikasi dengan bahasa yang tidak diketahui banyak orang,terutama bila menyangkut hal-hal yang sangat pribadi. - Bahasa Gay dan Bahasa Waria
Di Negara kita bahasa gaul kaum selebritis ternyata mirip dengan bahasa gaul kaum Gay (homoseksual) dan juga bahasa gaul kaum Waria atau Banci. Sekelompok mahasiswa dari Fikom Unpad, berdasarkan penelitian mereka atas kaum Gay di Bandung, menemukan sejumlah kata yang mereka gunakan, misalnya adalah binaginus (bagus), cinakinep (cakep), duta (uang), dan sebagainya.
- Bahasa Kaum Selebritis
Komunikasi Konteks Tinggi VS Komunikasi Konteks Rendah
Komunikasi konteks-rendah: pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas, terus terang. Contoh kalimat konteks rendah adalah komunikasi (program) komputer. Setiap pesan harus dispesifikasikan dengan kode-kode tertentu; kalau tidak programnya tidak akan jalan, sifat komunikasi konteks-rendah adalah cepat dan mudah berubah, karena itu tidak menyatukan kelompok. Sebaliknya Komunikasi Konteks Tinggi: kebanyakan pesan bersifat implisit, tidak langsung dan tidak terus terang. Contoh komunikasi konteks-tinggi adalah komunikasi orang kembar dengan menggunakan kalimat pendek-pendek atau kata-kata singkat.
Sifat komunikasi konteks-tinggi adalah: tahan lama, lamban berubah, dan mengikat kelompok yang menggunakannya. Berdasarkan sifatnya ini orang-orang berbudaya konteks-tinggi lebih menyadari proses penyaringan budaya dari pada orang-orang berbudaya konteks-rendah.
Menurut Bernstein, dalam komunikasi konteks-tinggi pembicara menggunakan sedikit alternatif, tetapi kemungkinan meramalkan polanya lebih besar, arti pesan dalam komunikasi konteks-tinggi lebih khusus. Sebaliknya dalam komunikasi konteks-rendah, pembicara akan memilih pesan dari sejumlah alternatif yang relatif lebih banyak dan oleh karena itu kemungkinan meramalkan hasil pesan akan berkurang, tetapi menjamin pengertian yang lebih universal.
Nama sebagai Simbol
Dimensi pertama atau fungsi pertama bahasa adalah penamaan. Nama diri sendiri adalah simbol pertama dan utama bagi seseorang. Nama dapat melambangkan status, cita-rasa budaya, untuk memperoleh citra tertentu (pengelolaan kesan) atau sebagai nama hoki. Nama yang kita terima sejak lahir tidak hanya mempengaruhi kehidupan kita, tetapi juga mempengaruhi orang lain untuk memperlakukan kita, dan terpenting, mempengaruhi kita dalam mempersepsi diri sendiri. Contoh misalnya Julukan murahan terhadap seorang wanita mempengaruhi bagaimana orang itu di perlakukan oleh lawan jenisnya.
Nama adalah bagian dari konsep diri yang sangat penting. Bahkan nama juga menunjukan kesadaran seseorang. Seperti halnya perubahan nama seseorang yang tadinya non-Muslim menjadi Muslim adalah salah satu pertanda perubahan jati-dirinya dan hubungannya dengan alam semesta. Penamaan seseorang, suatu objek atau suatu peristiwa ternyata juga tidak sederhana. Nama juga dapat menyusahkan penyandangnya. Contoh kecilnya seperti orang-orang yang punya nama Muhammad, Abdullah, atau Khadijah mungkin merasa terbebani apabila mereka berkelakuan buruk. Sementara itu juga, penjulukan yang tidak tepat atas seseorang atau sekelompok orang dapat memberikan implikasi yang sangat serius. Dan juga dapat menimbulkan nubuat yang dipenuhi sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H