Mohon tunggu...
Santri Penulis
Santri Penulis Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Kafir" dan "Auliya"

24 Desember 2016   09:32 Diperbarui: 24 Desember 2016   09:50 721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Apa alasan menolak Ahok dalam pencalonannya menjadi Gubernur DKI Jakarta?”. Pertanyaan itulah yang muncul sebelum artikel ini dibuat. Apakah karena kasus penistaan agama Islam, atau karena fakta bahwa ia bukanlah seorang muslim atau kafir? Setelah melihat fakta bahwa penolakan terhadap Ahok tetap terus berlangsung, bahkan ketika kasus penistaan agama sudah masuk dalam proses hukum, saya rasa aman ketika saya katakan bahwa penolakan terhadap Ahok adalah karena ia bukanlah seorang muslim atau kafir.  Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan “Kafir”? Jika Kafir berarti bukan seorang muslim, lalu apa arti kafir sebelum masa Nabi Muhammad Saw?

Memahami kata “Kafir” secara Semantik

Penafsiran terhadap AL-Qur’an telah dimulai sejak era Al-Quran diturunkan. Pada masa tersebut metode yang dipakai adalah tafsir Qur’an dengan Qur’an yang meliputi tafsir ayat dengan ayat. Selain itu dikenal juga tafsir Qur’an dengan hadist, dimana penafsir tersebut adalah Nabi Muhammad SAW, sebagai orang yang juga menyampaikan Al-Qur’an kepada umatnya. Tafsir Al-Quran mengalami perkembangan yang cukup luas setelah masa Nabi. Ada beberapa aliran tafsir yang mumcul kemudian sesuai dengan disiplin ilmu yang dipakai dalam metode penafsiran, antara lain: tagsir maudhu’I, tafsir bil ra’yi, tafsir sufi, tafsir isyari, tafsir ilmiy hingga tafsir sastra. 

Pada era kontemporer, para alim ulama mulai mengalihkan pemikiran mereka pada metode kebahasaan, seperti Amin Al Khulliy dan Bintu Sathi dengan tafsir bayani, M.Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd dan Fazlur Rahman dengan lingusitiknya. Semantik sendiri lebih dikenal sebagai bagian dari struktur ilmu lingusitik yang membicarakan tentang makna sebuah ungkapan atau kata dari sebuah bahasa. Semantik Al-Quran lebih luas cakupan penafsirannya serta bersifat spesifik terfokus pada kata-kata tertntu yang memiliki makna dan konsep yang ditawarkan Al-Quran kepada para pembacanya.

Term “Kafara”, sebagai dasar dari kata Kafir, bila dilihat melalui pendekatan semantik, dapat dibedakan menjadi makna dasar dan makna relasional. Makna dasar dapat berarti makna yang selalu melekat pada kata itu sendiri, tidak peduli dimana diletakan, oleh siapapun digunakan dan dalam konteks apapun. Misalnya, term “kafara” secara tepat dan mendasar berarti tidak bersyukur. Kata yang benar-benar berlawanan dan menjadi lawan dari term “kafara” adalah “syakara”. Ini adalah makna lazim dari kata kerja “kafara” dalam konteks bahasa Arab yang lebih luas. 

Makna dasar dari kata kerja ini sendiri tidak berubah baik digunakan oleh orang Arab Muslim maupun non Muslim; kata ini dikenal oleh seluruh masyarakat penutur bahasa Arab. Selain itu, makna dasar dari kata ini tetap begitu sejak masa pra-Islam hingga sekarang. Sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan meletakkan kata itu pada posisi khusus, dalam bidang khusus, berada pada relasi yang berbeda dengan semua kata-kata penting lainnya dalam sistem tersebut.

Dalam perkembangan sejarah, terjadilah pergeseran makna, bagaimana kata kerja ”kafara” atau bentuk nominalnya “kufr” menyimpang sedikit dari makna aslinya, “tidak bersyukur‟ dan menjadi semakin lebih dekat pada makna “tidak percaya” sebagai bentuk pengingkaran dari konsep iman. Term “kufr” (tidak percaya) dan orangnya disebut ”kāfir” merupakan istilah kunci dari seluruh pemikiran Al-Qur’ān, yang lawan katanya adalah term “īmān” (percaya) dan orangnya disebut mu’min. Berangkat dari pendekatan semantik dalam menganalisis term “kufr”, maka makna yang terkandung di dalamnya bersifat definit, yaitu setiap manusia yang tidak pandai bersyukur, tidak memiliki pendirian yang kuat (dalam konteks kebaikan), ragu terhadap kehebatan Tuhan semesta alam, tertutup, memonopoli kebenaran, dan tidak percaya terhadap keandalan Tuhan Yang Maha Esa. Sama sekali istilah “kufr” dalam Al-Qur’an itu tidak menunjuk pada sebuah agama, melainkan pada prilaku atau praktik keagamaan setiap pemeluknya yang jauh dari nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam sebuah agama.

Pemahaman Tekstual

Pemahaman kafir hanya sebagai orang yang bukan islam, berarti mengecilkan makna kafir itu sendiri. Seperti halnya kata “Auliya” dalam Surat Al-Maidah ayat 51 yang diterjemahkan sebagai pemimpin. Kita harus melihat konteks dari ayat tersebut diturunkan. Ayat ini diturunkan pada saat perang Uhud, ‘Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay bin Saul bertengkar. ‘Ubadah berkata “Saya memiliki banyak “Auliya” Yahudi, Jumlah mereka besar dan pengaruhnya besar. Tetapi saya melepaskan diri dari mereka dan mengiukuti Allah dan Rasul-Nya. Abdullah bin Ubay berkata “Saya lebih memilih berlindung kepada Yahudi karena saya takut ditimpa musibah. Untuk menghindarinya saya harus bergabung dengan mereka. Nabi SAW berkata “Wahai Abul Hubab keinginanmu tetap dalam perlindungan Yahudi adalah pilihanmu, tidak baginya”. Ia menjawab, Baik, saya menerimnya”. Setelah itu turunlah ayat ini.

Dalam hal ini kita bisa melihat bahwa makna “Auliya” tidak hanya dekat dengan artinya sebagai pemimpin, tetapi sekutu, aliansi atau teman yang memiliki kemampuan untuk melindungi. Selain itu konteks dengan ayat dan  asbāb al-nuzūl (sebab-sebab atau landasan turun ayat) nya adalah Perang Uhud, dimana terjadi peperangan antara Umat Islam dan Non muslim, yang dimaksud dengan perang di sini adalah ketika kedua pihak mengetahui bahwa keduanya dalam suasana perang, bukan hanya perang dengan klaim sepihak saja. Dalam situasi konflik seperti itu, berpihak di luar kelompok muslim sendiri dapat merusak persatuan ummat Islam itu sendiri. Apalagi situasi ketika itu umat Islam sedang mengalami kekalahan akibat perang Uhud.

Penafsiran “Auliya” hanya sebagai pemimpin, tanpa memperhatikan makna dasar dan makna relasional dari kata itu sendiri, dapat dikatakan sebagai penafsiran tekstual, yaitu penafsiran yang terlihat jelas sekali memercayai isi teks ayat tanpa memertimbangkan sisi makna lain, seperti asbāb al-nuzūl (sebab-sebab atau landasan turun ayat). Kemudian di samping itu, orang tekstualis adalah orang yang menolak sosial sejarah Al-Qur’ān serta memercayai tafsir klasik sebagai tafsir yang otoritatif, dimana mereka menolak tafsir yang dikemukakan orang lain. Si penafsir tekstual ini berprilaku otoriter dengan tidak menafikan tafsir yang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun