Mohon tunggu...
santri kreatif
santri kreatif Mohon Tunggu... Belajar -

Predikat terbaik adalah " Sebaik-baik manusia yaitu yang bermanfaat bagi orang lain."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pesan Hidup Bocah Penjual Koran

14 Mei 2019   00:03 Diperbarui: 14 Mei 2019   00:04 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dari tadi pagi hujan mengguyur kota tanpa henti, udara yangbiasanya sangat panas, hari ini terasa sangat dingin. Di jalanan hanya sesekalimobil yang lewat, hari ini hari libur membuat orang kota malas untuk keluarrumah.

Di perempatan jalan, Umar, seorang anak kecil berlari-larimenghampiri mobil yang berhenti di lampu merah, dia membiarkan tubuhnyaterguyur air hujan, hanya saja dia begitu erat melindungi koran dagangannyadengan lembaran plastik.

"Korannya bu !"seru Umar berusaha mengalahkan suara airhujan.
Dari balik kaca mobil si ibu menatap dengan kasihan, dalamhatinya dia merenung anak sekecil ini harus berhujan-hujan untuk menjual koran.Dikeluarkannya satu lembar dua puluh ribuan dari lipatan dompet dan membukasedikit kaca mobil untuk mengulurkan lembaran uang.

"Mau koran yang mana bu?, tanya Umar dengan riang."Nggak usah, ini buat kamu makan, kalau koran tadi pagi akujuga sudah baca", jawab si ibu.

Si Umar kecil itu tampak terpaku, lalu diulurkan kembali uangdua puluh ribu yang dia terima, "Terima kasih bu, saya menjual koran, kalau ibumau beli koran silakan, tetapi kalau ibu memberikan secara cuma-cuma, mohonmaaf saya tidak bisa menerimanya", Umar berkata dengan muka penuh ketulusan.

Dengan geram si ibu menerima kembali pemberiannya, raut mukanyatampak kesal, dengan cepat dinaikkannya kaca mobil. Dari dalam mobil diamenggerutu "Udah miskin sombong!". Kakinya menginjak pedal gas karena lampumenunjukkan warna hijau. Meninggalkan Umar yang termenung penuh tandatanya.Umar berlari lagi ke pinggir, dia mencoba merapatkan tubuhnya dengandinding ruko tempatnya berteduh.

Tangan kecilnya sesekali mengusap muka untukmenghilangkan butir-butir air yang masih menempel. Sambil termenung dia menatapnanar rintik-rintik hujan di depannya, "Ya Tuhan, hari ini belum satupunkoranku yang laku", gumamnya lemah.

Hari beranjak sore namun hujan belum juga reda, Umar masihsaja duduk berteduh di emperan ruko, sesekali tampak tangannya memegangi perutyang sudah mulai lapar.Tiba-tiba didepannya sebuah mobil berhenti, seorangbapak dengan bersungut-sungut turun dari mobil menuju tempat sampah,"Tukanggorengan sialan, minyak kaya gini bisa bikin batuk", dengan penuh kebenciandicampakkannya satu plastik gorengan ke dalam tong sampah, dan beranjak kembalimasuk ke mobil.

Umar dengan langkah cepat menghampiri laki-laki yang ada dimobil. "Mohon maaf pak, bolehkah saya mengambil makanan yang baru saja bapakbuang untuk saya makan", pinta Umar dengan penuh harap. Pria itu tertegun, luarbiasa anak kecil di depannya. Harusnya dia bisa saja mengambilnya dari tongsampah tanpa harus meminta ijin. Muncul perasaan belas kasihan dari dalamhatinya.

"Nak, bapak bisa membelikan kamu makanan yang baru, kalaukamu mau""Terima kasih pak, satu kantong gorengan itu rasanya sudahcukup bagi saya, boleh khan pak?, tanya Umar sekali lagi."Bbbbbooolehh", jawabpria tersebut dengan tertegun. Umar berlari riang menuju tong sampah, denganwajah sangat bahagia dia mulai makan gorengan, sesekali dia tersenyum melihatlaki-laki yang dari tadi masih memandanginya.

Dari dalam mobil sang bapak memandangi terus Umar yang sedangmakan. Dengan perasaan berkecamuk di dekatinya Umar.

"Nak, bolehkah bapak bertanya, kenapa kamu harus memintaijinku untuk mengambil makanan yang sudah aku buang?, dengan lembut pria itubertanya dan menatap wajah anak kecil di depannya dengan penuh perasaankasihan.

"Karena saya melihat bapak yang membuangnya, saya akan merasakanenaknya makanan halal ini kalau saya bisa meminta ijin kepada pemiliknya,meskipun buat bapak mungkin sudah tidak berharga, tapi bagi saya makanan inisangat berharga, dan saya pantas untuk meminta ijin memakannya ", jawab si anaksambil membersihkan bibirnya dari sisa minyak goreng.

Pria itu sejenak terdiam, dalam batinnya berkata, anak inisangat luar biasa. "Satu lagi nak, aku kasihan melihatmu, aku lihat kamu basahdan kedinginan, aku ingin membelikanmu makanan lain yang lebih layak, tetapimengapa kamu menolaknya".Si anak kecil tersenyum dengan manis,

"Maaf pak, bukan maksud saya menolak rejeki dari Bapak. Buatsaya makan sekantong gorengan hari ini sudah lebih dari cukup. Kalau sayamencampakkan gorengan ini dan menerima tawaran makanan yang lain yang menurutBapak lebih layak, maka sekantong gorengan itu menjadi mubazir, basah oleh airhujan dan hanya akan jadi makanan tikus."

"Tapi bukankah kamu mensia-siakan peluang untuk mendapatkanyang lebih baik dan lebih nikmat dengan makan di restoran di mana aku yang akanmentraktirnya", ujar sang laki-laki dengan nada agak tinggi karena merasa anakdi depannya berfikir keliru.

Umar menatap wajah laki-laki didepannya dengan tatapan yangsangat teduh,"Bapak!, saya sudah sangat bersyukur atas berkah sekantonggorengan hari ini. Saya lapar dan bapak mengijinkan saya memakannya", Umarmemperbaiki posisi duduknya dan berkata kembali, "Dan saya merasa berbahagia,bukankah bahagia adalah bersyukur dan merasa cukup atas anugerah hari ini,bukan menikmati sesuatu yang nikmat dan hebat hari ini tetapi menimbulkankeinginan dan kedahagaan untuk mendapatkannya kembali di kemudian hari."

Umarberhenti berbicara sebentar, lalu diciumnya tangan laki-laki di depannya untukberpamitan. Dengan suara lirih dan tulus Umar melanjutkan kembali,"Kalau hariini saya makan di restoran dan menikmati kelezatannya dan keesokan harinya sayamenginginkannya kembali sementara bapak tidak lagi mentraktir saya, maka sayasangat khawatir apakah saya masih bisa merasakan kebahagiaannya".

Pria tersebut masih saja terpana, dia mengamati anak kecil didepannya yang sedang sibuk merapikan koran dan kemudian berpamitanpergi."Ternyata bukan dia yang harus dikasihani, Harusnya aku yang layakdikasihani, karena aku jarang bisa berdamai dengan hari ini"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun