Sajadah dan Rantau
Agama memberi sebuah takaran untuk kehidupan ini, begitu juga untuk menerapkannya dalam kehidupan pula. Apabila seseorang jauh dari rumah, kampung halaman seantero tak terlihat olrh kejauhannya. Maka pasti rindu dan doa menjadi sahabatnya untuk menikmati kesendirian itu. Apalah jadi seseorang jauh dari agama dan penerapannya kelak nati.
Sebuah kisah dimana untuk mengenang orang-orang jauh di rangkul rindu pada rumah, orang tua bahkan kampung halaman. Badan terasa jenazah, sebab tak dapat merangkul keluarga. Tawa dan sedih tak dapat lagi jadi saksi untuk cerita di usia tua nanti. Begitulah kebahagian didalamnya, menjadi hidup-hidup tiada berguna.
Kalaulah hanya raga saja yang dapat merasakan demikian, lantas apakah jiwa dapat kebagian, olehnya sangat lebih dalam lagi jika di tanya apa yang ia rasakan pada jauhnya dari kampung halaman. Namun itulah dia hanya jadi korban dalam hal yang tak nampak kita lihat dan akan senantiasa kita rasakan saja.
Jauhnya telah mengabari begitu juga rindunya telah di ketuk. Pada suatu hari di mana tahun yang telah pasti ada bulan Ramadhan datang, dimana akan ada adanya kebahagian, seolah semuanya bisa saja di adakan oleh bulan itu.
Al-Ghifar adalah seseorang lelaki yang dalam perantauan. Dalam perantauan itu ia menempuh pendidikan (sarjana), boleh di kata amat jauh dari daerah itu.
Hingga beberapa bulan setelah di tinggalkannya kampung halaman, bulan Puasa datang membawa rindunya kepada keluarga. Rindu yang akan di rasanya ketika tiba waktu sahur, suara ibu membangunkannya bahwa “Ghifar bangun, sahur”. Seketika itulah ia terbangun dan menuju hidangan yang telah siap.
Selain itu rindu pula akan mengingatkannya kepada ayah, apabila telah datang puasa mereka selalu melakukan diskusi kecil setelah buka puasa selesai. Saling membagi ilmu dalam keagamaan dan memperbanyak ibadah beserta amalannya.
Tetapi tidak dapat di rasakan secara nyata, sebab akan mustahil. Yang ada hanyalah rindu yang senantiasa mengingatkan dan bercucurannya air mata. Kini puasa tiba, dan yang pertanya ia ingat ialah hanya keluarga kecil tetapi berjiwa besar. Saat puasa dia terbayang hal yang ia lakukan, baik itu kecil ataupun besar.
Namun tersimpan dalam kepala dan membuat hati serupa di isi oleh beberapa besi hingga berat untuk bertahan. Numun tidaklah mungkin orang-orang perantau tidak ada penangkalnya masing-masing, sebab apabila inginn berlayar ke negeri yang jauh pasti telah disiapkannya aramada dan persiapan yang cukup lengkap.
Seorang perantau hanya memiliki senjata ampuh yaitu Sajadah. Itulah tempatnnya meminta, tempat menyampaikan keluh kesah serta membuktikan bahwa dia itu lemah, tetapi dibalik kelemahan itu ada Allah tuhan maha kuasa. Bahkan jadi teman dalam kesedihan, kerinduan apalagi untuk memohon. Tiada yang dapat mengalahkan doa dalam hamparan sajadah, oleh itulah seorang perantau tidak pernah meninggalkan sajadahnya ketika dalam sebuah perjalanan (merantau).
Apabila telah datang rindu yang sangat hebat, dihamparlah sebuah sajadahnya pada lantai dan memanjatkan doa sebagai penanglal dalam kerinduan itu. Walau air mata berjatuhan yang cukup deras dan lebat.
Ketahuilah bahwa setiap raga jauh dari keluarga, maka akan ada sebuah kesedihan yang diselimuti oleh tawa. Tawalah yang memakasa raut senyum tercipta dan seolah melupakan semua tentang kesedihan yang di alami oleh orang-orang terjajah kerinduan. Bukan mereka sebagai orang munafik atau semisalnya, tetapi itu adalah langkah untuk mengelabui diri dari amat kejamnya luka.
Namun jika ada yang ingin menjelaskan sebuah kerinduan atau kesedihan yang paling dalam, maka tanyakanlah semua itu kepada orang-orang yang terlibat dalam perantauan. Pelaku utama adalah mereka, tetapi kadangkala mereka menyembunyikan itu kepada para manusia yang berhamparan di muka bumi ini. Apa sebab mereka melakukan itu semua, tidaklah lain hanya ingin menjaga mereka dari kekhawatiran. Mereka para perantau tau apa yang mereka lakukan itu adalah benar, meski mereka selalu di katakan sebagai orang-orang pembohong yang seringkali menutupi setiap luka dan derita yang ia rasa.
Selain itu ada hikmah yang mesti harus kita kutip dan kita petik dalam perjalanan para perantau itu. Secara tidak langsung mereka telah melakukan pendidikan tentang kesabaran dan ketangguhan seorang peranatau, yaitu untuk kepada anak muda kelak yang nanti akan berjejak seperti mereka kiranya. Dan apabila mereka menyadari akan hal itu, para perantau telah membuka seuatu ilmu tentang pelatihan dasar untuk “menyenangkan” orang-orang yang dibelakangnya (orang-orang) tersayang.
Maka selain orang-orang yang paham akan ilmu batin atau ketuhanan tentang menyikapi kehidpan ini, orang-orang perantau juga tak akalah bagaimana harus mengemudikan kehidupan ini dengan kesabaran yang mereka miliki. Mereka belajar dari diri sendiri (personality), selain dari lingkungan sosial dan lewat buku-buku yang mereka baca. Itulah mereka menjadikan sebuah masalah adalah tempat belajar. Dan sebuah kebenaran adalah sebagai tempat-tempat tabungan.
Tetapi tidak hanya secara fisik mereka yang menjadi tongkak kehidupan ini. Ingatlah seorang perantau disamping keberanian dan kayakinannya, mereka menjadikan Tuhan sebagai penolong terakhir dan utama. Utamanya ialah apabila mengerjakan sesuatu itu di dahulukannya dengan ucapan doa, dan apabila sebagai terakhir itu mereka berserah diri dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan yang maha esa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H