Tak kunjung mendapat solusi, akhirnya permasalahan tersebut diselesaikan sesuai aturan yang berlaku di lingkungan PT KAI yaitu dengan melakukan penertiban.
Pada dasarnya PT KAI telah memberikan banyak keringanan kepada yang bersangkutan. Selain itu banyak bukti kuat yang menyatakan bahwa lahan tersebut adalah aset milik PT KAI seperti Grondkaart No 10 tahun 1870 serta perjanjian kontrak sewa antara PT KAI dengan penghuni sebelumnya. Pihak Anis Alwainy juga tidak memiliki bukti kepemilikan dalam bentuk apapun sehingga sudah jelas siapa pemilik sah lahan tersebut. Dalam surat hibah dari Ny. Noerdjannah pun disebutkan hanya bangunan saja yang diserahkan kepada Anis, bukan hak kepemilikan atas tanah yang sejak awal disewa dari PT KAI.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI nomor 24 tahun 1997 pasal 24 dapat disimpulkan bahwa setiap orang yang menguasai tanah lebih dari 20 tahun tidak serta merta dapat menjadikan tanah tersebut sebagai hak miliknya. Hal ini harus dibuktikan dengan tiga hal, pertama apakah benar dia sebagai pemilik asli terdahulu, apakah pemilik mempunyai alat bukti tertulis dan apakah tidak dipermasalahkan oleh pihak lain.
Dari penjabaran diatas, Anis Alwainy terbukti tidak memenuhi tiga hal tersebut. Ia tidak memiliki dan tidak mampu menunjukkan alat bukti tertulis dan hal ini menjadi masalah bagi PT KAI selaku pihak yang dirugikan. Penertiban tersebut dilakukan demi menyelamatkan aset negara dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab dan penertiban tersebut juga sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H