Begitu kata-kata itu terucap, dunia di sekitarku terasa hening. Hanya ada kami berdua, duduk dalam kebisuan yang tiba-tiba mencekam. Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di wajahnya, tetapi yang kutemukan hanya kesedihan yang samar.
"Ani... kamu orang yang hebat. Aku senang bisa mengenalmu, tapi..." Dia menghentikan kalimatnya sejenak, seolah memilih kata-kata yang tepat agar tidak menyakitiku. "Aku tidak bisa membalas perasaanmu. Ada seseorang yang sudah lama mengisi hatiku."
Dunia yang tadinya terasa indah tiba-tiba runtuh di sekelilingku. Bunga-bunga di hatiku yang bermekaran, layu dalam sekejap. Aku tersenyum, meskipun badai berkecamuk di dalam dada.
"Ah, aku mengerti," jawabku pelan, mencoba menenangkan diri. "Tidak apa-apa."
Sore itu, aku belajar sesuatu yang mendalam tentang cinta. Bahwa cinta tidak selalu bermuara pada kebahagiaan yang kita harapkan, tapi bukan berarti cinta itu sia-sia. Kadang, cinta mengajarkan kita bahwa memberi tanpa mengharapkan imbalan adalah bentuk cinta paling sejati. Ada kebahagiaan tersendiri dalam mencintai seseorang, meski tak selalu dibalas dengan cara yang sama.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai menerima kenyataan bahwa perasaanku pada Bintang hanyalah satu bab dalam hidupku. Aku belajar bahwa mencintai bukan berarti harus memiliki. Kadang, cinta adalah tentang merelakan, membiarkan orang yang kita sayangi menemukan kebahagiaannya, meskipun itu bukan bersama kita. Aku tetap bersahabat dengan Bintang, dan meski perasaanku tak terbalas, aku menemukan kedamaian di dalamnya.
"Cinta sejati adalah ketika kita bisa melihat orang yang kita cintai bahagia, meski kebahagiaan itu tidak bersama kita."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H