Pada senja yang hangat di perpustakaan kampus, aku tenggelam dalam lautan buku yang bertebaran di sekelilingku. Sinar matahari perlahan-lahan tenggelam di balik cakrawala, meninggalkan jejak-jejak keemasan yang mewarnai langit. Melalui jendela besar, aku bisa melihat keindahan itu, seakan dunia luar terputus dari sini, mengurungku dalam ruang hening yang damai. Namun, keheningan itu tiba-tiba terusik oleh suara langkah kaki yang mendekat, memecah sunyi seperti aliran air yang membelah batu karang.
Aku mengangkat pandanganku dari halaman buku, dan di sana dia berdiri. Bintang, seorang teman sekelas yang tak pernah aku perhatikan lebih dari sekadar rekan belajar. Namun entah kenapa, sore itu, ada yang berbeda darinya. Langkahnya mantap, dan senyumnya yang tergores kecil seperti menyapa hati tanpa suara.
"Hei, Ani, lagi sibuk belajar?" sapanya dengan nada santai, sambil menurunkan tas di kursi sebelahku. Seketika, detak jantungku berlari lebih kencang, seperti berlomba dengan waktu, saat dia semakin mendekat.
Ada sesuatu yang aneh menyusup ke dalam diriku. Bukan sekadar perasaan biasa, tapi sesuatu yang perlahan mengisi celah di hatiku. Senyumannya, caranya berbicara, bahkan ketika ia merapikan rambut yang berantakan, semuanya membuatku bertanya-tanya, mengapa baru sekarang aku memperhatikan hal-hal ini? Aku yang biasanya tenang dalam deretan angka dan analisis laporan, kini terbawa arus perasaan yang tak terduga hanya oleh kehadirannya.
Hari-hari setelah itu menjadi berbeda. Kelas yang semula monoton, sekarang menjadi momen yang aku tunggu-tunggu. Setiap kali Bintang masuk ke kelas, mataku secara otomatis mencari sosoknya. Aku mulai menyadari hal-hal kecil tentangnya; senyumnya yang lembut saat mendengarkan dosen, kebiasaan mengetukkan pena di meja saat berpikir, dan suara tenangnya namun terlihat penuh keyakinan. Aku jatuh cinta pada keheningan yang dia bawa, pada rasa nyaman yang tumbuh tanpa aku sadari.
Namun, semakin aku mengenalnya, semakin aku menyadari bahwa perasaan ini bukanlah cinta yang mudah. Ada sebuah jurang tak kasat mata yang terus memisahkan kami. Meskipun kami sering berbicara, menghabiskan waktu bersama di perpustakaan, dan berdiskusi tentang tugas mata kuliah, aku merasa hatinya adalah dunia yang tak bisa aku jangkau sepenuhnya.
Sampai pada hari ketika keberanianku memuncak. Kami duduk di bangku taman kampus, dikelilingi oleh bunga-bunga yang mulai bermekaran. Angin lembut meniupkan aroma bunga yang menyegarkan, menggelitik hidungku. Aku menatapnya, mencoba menemukan jawaban yang tersembunyi di balik mata teduhnya.
"Bintang, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan," kataku. Suaraku terdengar sedikit gemetar. Dia memalingkan wajahnya dari buku yang sedang dibacanya dan tersenyum lembut padaku.
"Apa itu?"
Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan kekacauan di dalam diriku. "Aku rasa... aku mulai menyukaimu."