Mohon tunggu...
Neng Santika Nur Fitriyani
Neng Santika Nur Fitriyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Si malas yang hobi rebahan dan suka nulis. Si cuek yang kadang puitis. Si kantong tipis yang suka jajan sampai uang habis. Si kalem yang kadang narsis ini mempunyai harapan dari setiap tulisan yang terlukis ada manfaat untuk pembaca. Jejaknya bisa dilacak melalui akun instagram @gores.sann

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stereotip Terkait Guru Laki-Laki dan Pentingnya Kesetaraan Profesi Pendidikan Anak Usia Dini dan Sekolah Dasar

8 Februari 2024   10:32 Diperbarui: 16 Maret 2024   10:57 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketidaksetaraan gender dalam profesi guru telah menjadi kekhawatiran banyak pemerintah di suatu negara. Beberapa penelitian menunjukkan asumsi yang mencerminkan alasan mengapa guru perempuan mendominasi di tingkat Paud, seperti status sosial dan maskulinitas budaya perempuan.

Minimnya jumlah guru laki-laki di PAUD tidak hanya dipengaruhi oleh model berpikir masyarakat dan konstruksi organisasi sosial yang menempatkan perempuan sebagai pengasuh dan pendidik pada anak usia dini, namun juga berbagai bentuk stigmatisasi atau pandangan masyarakat terhadap profesinya. Hingga sekarang, guru PAUD laki-laki mendapatkan stigma buruk saat bekerja.

Stigma ini berawal dari stereotip gender yang menjadikan laki-laki sebagai pihak yang kurang tepat dalam bidang pendidikan anak.. . Padahal, sistem dan model pendidikan anak usia dini baik keluarga maupun lembaga pendidikan harus memuat feminitas dan maskulinitas orang tua atau wali dalam volume dan ukuran yang sama, agar tidak terjadi  kesenjangan seiring dengan pertumbuhan anak. pengalaman anak itu.

Pada saat yang sama, studi Peeters tentang peran gender dalam pendidikan, yang mengadopsi perspektif psikologis, menemukan bahwa inklusi laki-laki dalam pendidikan anak usia dini tidak hanya memberikan anak-anak teladan laki-laki, tetapi juga mendorong persepsi tentang kesetaraan peran gender di mana semua jenis kelamin dapat berfungsi. dalam bidang apa pun, termasuk pendidikan anak usia dini. Saya berharap perspektif ini membantu meruntuhkan konstruksi budaya seputar maskulinitas.. . 

Selain itu, kehadiran guru laki-laki dalam pendidikan anak usia dini diasumsikan dapat memberikan sosok "ayah" atau sosok yang dapat menjadi teladan bagi anak-anak di masa emas yang diwujudkan melalui pendidikan dan pengasuhan. Meskipun kehadiran pendidik laki-laki dalam pendidikan anak usia dini masih menjadi tantangan, namun laki-laki juga mempunyai kemampuan dan kapasitas dalam memberikan layanan pendidikan anak usia dini yang berdampak positif terhadap perkembangan pendidikan anak usia dini. . membutuhkan sosok “ayah” selama pelatihan dan pendidikan.

Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang organisasi dan peraturan pendidikan di negara Indonesia juga belum diatur mengenai gender tertentu dan jumlah pendidik dari gender tersebut, bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama dalam bekerja dan memberikan pelayanan dalam sektor pendidikan. 

Salah satu faktornya adalah stereotip sosial terkait peran gender, yang dapat menghalangi laki-laki melamar posisi mengajar anak usia dini dan sekolah dasar. Ada norma budaya dan sosial yang mengasosiasikan pengajaran dan pengasuhan dengan peran yang secara tradisional dikaitkan dengan perempuan. 

Dengan kata lain, mengajar sering dipandang sebagai profesi kepedulian dan pengasuhan yang dikaitkan dengan perempuan. Stereotip tersebut dapat menimbulkan persepsi bahwa mengajar adalah profesi perempuan atau “profesi yang didominasi perempuan”, sehingga membuat laki-laki enggan menjadi guru. Dengan adanya stigmatisasi terhadap pekerjaan perempuan, laki-laki menganggap mengajar dikaitkan dengan pekerjaan perempuan, dan pekerjaan dikaitkan dengan pekerjaan yang “lemah”.

Penelitian menunjukkan bahwa meskipun orang tua dan guru TK memandang guru TK laki-laki sebagai guru biasa, mereka tetap mengatakan bahwa orang yang ideal untuk mengajar anak-anak di usia dini adalah guru perempuan. Dengan demikian, pemotongan profesi guru menjadi profesi perempuan dapat berdampak pada keengganan laki-laki untuk menjadi guru dan pada akhirnya menimbulkan kesenjangan gender dalam profesi guru, yaitu rendahnya jumlah guru laki-laki di taman kanak-kanak dan sekolah dasar. 

Faktor lainnya adalah keseimbangan antara "hidup" dan "pekerjaan". Perempuan sering kali dilibatkan untuk mengambil tanggung jawab pengasuhan utama di rumah dan membantu suami mereka memenuhi kebutuhan keuangan keluarga. Profesi guru memiliki jadwal kerja yang hampir stabil dan shift malam yang minim. Oleh karena itu, meskipun seorang guru bekerja dari pagi hingga siang atau sore hari, ia tetap dapat memenuhi tanggung jawabnya untuk menjaga anak-anaknya pada malam hari. Oleh karena itu, profesi guru TK dan SD dapat dianggap sebagai profesi ideal bagi perempuan, karena jam kerja yang lebih singkat dibandingkan profesi lain dan hari libur sekolah; Hal ini mungkin mempengaruhi banyak wanita yang tertarik menjadi guru.

Faktor lain yang mempengaruhi kesenjangan gender dalam profesi guru adalah rendahnya pendapatan dibandingkan profesi lain yang didominasi laki-laki, sehingga laki-laki mungkin menganggapnya sebagai profesi yang kurang memberikan keuntungan finansial. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan di Kabupaten Manggarai, yang menemukan bahwa dua faktor yang disebutkan sebelumnya, yaitu stigmatisasi guru sebagai profesi perempuan dan rendahnya gaji menjadi penyebab informan laki-laki tidak memilih Pendidikan Anak Usia Dini ( PAUD) pendidikan. . program Begitu pula ketika laki-laki memasuki profesi guru Taman Kanak-Kanak, mereka takut akan mengalami kegagalan (penurunan) karirnya dibandingkan kemajuan (peningkatan), karena mereka menganggap pekerjaan tersebut adalah bidang perempuan dan dikenal sebagai profesi yang minim gaji

Faktor lainnya adalah ketakutan laki-laki menjadi guru anak, yaitu stigma kontak fisik dengan anak yang dikaitkan dengan tindakan pedofil. Moosa dan Bhana (2020) melaporkan penelitian di Afrika Selatan tentang keluhan tentang kurangnya laki-laki dalam profesi guru, khususnya pada anak usia dini dan pendidikan dasar. Minimnya guru laki-laki pada PAUD semakin diperburuk dengan beberapa kasus kekerasan fisik dan pelecehan seksual terhadap anak laki-laki.

Menurut Dapodikdasmen (Kemendikbud, 2023), terdapat perbedaan persentase yang besar antara guru laki-laki dan perempuan. tingkat pendidikan taman kanak-kanak dan sekolah dasar di seluruh Indonesia.

SUMBER:

Dianita,Evi Resti. (2020). STEREOTIP GENDER DALAM PROFESI GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI. http://genius.iain-jember.ac.id . Vol.1 NO. 2, Hal 88-89 stereotipgender.profesiguru 

Maria Ulfah, Venny Karolina. (2023). ) Ketimpangan Gender Guru di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar di Indonesia. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 7. No 3. Hal  3408   jurnal.paud

Maya Andika, Ajeng Ayu.(2022). KETERLIBATAN PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN LAKILAKI DALAM SISTEM DAN LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK USIA DINI DI KOTA SALATIGA DAN SEKITARNYA. Anak Usia Dini dan Pendidikan Anak Usia. Vol. 8 No. 2. Hal 178-179 stereotipgender.profesiguru  jurnal.kesetaraan

Maria Ulfah, Venny Karolina. (2023). ) Ketimpangan Gender Guru di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar di Indonesia. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 7. No 3. Hal  3412  jurnal.paud

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun