Anak Agung Rai Suartini kutemui di saat acara pembukaan pameran I Made Griyawan : Inquire Within, pada hari Jum'at, 12 Juli 2019, di Agung Rai Museum of Art, Ubud. Beliau adalah istri dari Anak Agung Gde Rai. Sungguh menyenangkan akhirnya bisa berjumpa dengan nya. Karena aku percaya, selalu ada tokoh hebat nan tangguh dibalik kesuksesan tokoh hebat. Dan, sosok Ibu Anak Agung Rai Suartini merupakan perempuan hebat yang senantiasa mendukung setiap jejak langkah Anak Agung Gde Rai.
Bersatunya pasangan Agung Rai bersama Anak Agung Rai Suartini bersama Anak Agung Gde Rai membuktikan betapa sejarah perjuangan panjang di dalam menjalani kehidupan akan berbuah kebahagiaan. Pasangan yang saling mendukung satu sama lain, menjalani beragam proses baik suka dan duka, memberikan harmonisasi di tengah keluarga tersebut dalam beraktivitas sehari-hari, juga di tengah masyarakat.
Sungguh tidak mudah mendampingi orang hebat, tokoh terkenal, seniman, juga budayawan, yang harus beraktivitas sekaligus dalam banyak peran, dibutuhkan oleh masyarakat luas, bahkan kalangan global. Ini mampu dilaksanakan oleh Ibu Anak Agung Rai Suartini.
Kepercayaan bagi suami, bapak Anak Agung Gde Rai, baik dalam hal memberikan kesempatan luas untuk berkarya secara kreatif, bekerja dalam berbagai bidang sekaligus untuk mengumpulkan nafkah bagi keluarga, memberikan kesempatan luas bagi banyak orang, khususnya seniman muda, termasuk menggunakan museum sebagai ruang pamer bagi para seniman ini, menekan ego karena begitu banyak waktu keluarga tersisih demi masyarakat luas.
Hal ini mencerminkan kebesaran hati seorang perempuan, kebijakan dan kecerdasan yang tercermin pada beliau. Hal ini menggambarkan bahwa perempuan adalah ciptaan Tuhan di dalam fungsi sebagai Pradana. Perempuan juga disimbolkan dengan yoni, sumber kesuburan dan kearifan. Laki-laki merupakan ciptaan Tuhan dalam fungsi sebagai Purusa, yang disimbolkan dengan lingga.
Museum ARMA diresmikan pada tahun 1996, pada tanggal 9 Juni  oleh Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu. Bukan hanya terkenal sebagai pengusaha dan budayawan, tokoh seniman, beliau juga dikenal sosok sosial yang banyak memotivasi kalangan muda serta seniman yang baru merintis karyanya.
Salah satu perjuangan beliau bagi kaum muda, generasi penerus dunia seni dan budaya, di antaranya adalah memboyong 100 lukisan karya 50 pelukis yang tergabung dalam Sanggar Seniman Agung Rai pada pertengahan tahun 1989 ke Jepang di dalam pameran seni, lukisan yang menggambarkan dunia kehidupan masyarakat sehari-hari di Bali, budaya Bali, terkait ritual keagamaan, aktivitas kegiatan, kehidupan sosial, dan berbagai sisi lain.
Fokus dunia seni yang dilakukan tidak hanya bagi berbagai karya yang merupakan karya seni lukis tradisional, namun juga kontemporer, modern, aliran Batuan, gaya Pengosekan, mulai dari Made Wianta, Nyoman Meja, Ketut Budiana, Nyoman Suradnya, Made Budiana, Pande Gde Supada, Djirma, Made Surita. Tjok Raka, Bendi dan Taweng.