Mohon tunggu...
Santi Agustina
Santi Agustina Mohon Tunggu... Guru - Guru SMAN 2 Tanah Putih

Ketua Komunitas MGMP Fisika Kabupaten Rokan Hilir Guru Penggerak angkatan 7 Guru Mata Pelajaran Fisika Pendidikan terakhir S2

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penerapan Disiplin Positif Menciptakan Budaya Positif

23 Desember 2022   22:08 Diperbarui: 23 Desember 2022   22:45 1696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara tentang budaya positif tentu tidak terlepas dari perilaku manusia (individu), sebagai salah satu elemen penyusun dari budaya itu sendiri. Budaya berasal dari bahasa sangsekerta yaitu buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi (budi) yang berarti akal. Secara umum, budaya dapat diartikan sebagai cara hidup yang berkembang dalam sekelompok orang, dimana di dalam budaya tersebut terdapat nilai-nilai, persepsi, konsep moralitas, kode prilaku, ide dan preferensi yang rumit sebagai elemen penyusunnya. 

Kita namakan nilai-nilai tersebut sebagai nilai-nilai kebajikan (virtues) yang universal. Kita menyepakati bahwa nilai-nilai kebajikan universal berarti nilai-nilai kebajikan yang yang diakui bersama, lepas dari suku bangsa, agama, bahasa maupun latar belakangnya. Nilai-nilai ini merupakan landasan dari sikap dan perilaku kita. Dalam Sistem Pendidikan di Indonesia, nilai-nilai kebajikan universal tersebut merupakan Tujuan Pendidikan Nasional yang dimanifestasikan melalui Profil Pelajar Pancasila. 

Dimana secara garis besar dikategorikan dalam 6 dimensi, yaitu Beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, Berkebhinekaan global, Bergotong royong, Mandiri, Bernalar kritis dan Kreatif. Untuk mewujudkan nilai-nilai itu, seorang pendidik harus memahami tentang perannya dalam menuntun perilaku murid menggali potensi positif murid sehingga bisa membawa keselamatan bagi dirinya dan masyarakat. Nilai-nilai kebajikan adalah sifat-sifat positif manusia yang merupakan tujuan mulia yang ingin dicapai setiap orang. 

Dan konsep dari belajar merdeka yang diusung KHD adalah, secara lahir bebas, dan secara bathin, mandiri. Menurut KHD dimana ada kemerdekaan maka disitulah ada displin yang kuat.  Disiplin berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. Tujuan mulia di sini mengacu pada nilai-nilai atau prinsip-prinsip mulia yang dianut seseorang. 

Menurut Diane Gossen dalam Restructuring School Discipline, 2001, disiplin yang berasal dari bahasa latin yaitu diciplina yang berarti 'belajar', yang bermakna mengontrol diri, dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai. Selanjutnya Diane Gossen (1998) mengemukakan bahwa dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun.

Sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan. Dalam implementasinya selama ini, kita telah menggeser paradigma displin yang sesungguhnya menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapat kepatuhan. Paradigma ini lah yang akan kita rubah dalam menerapkan displin positif di sekolah.  Seperti yang telah dikemukakan oleh Dr. William Glasser pada Teori Kontrol (1984), menyatakan bahwa setiap perbuatan memiliki suatu tujuan. Ada tiga motivasi perilaku manusia, yaitu:

  • Untuk menghindari ketidak nyamanan atau hukuman (motivasi eksternal)
  • Untuk mendapatkan imbalan dari orang lain/institusi (motivasi eksternal)
  • Untuk menghargai diri sendiri (motivasi internal)

Motivasi internal inilah yang diharapkan dapat tumbuh dalam diri murid, sebagai wujud keberhasilan penerapan disiplin positif di sekolah. Akan tetapi pada kenyataannya, untuk membangun motivasi intrinsik dalam diri seseorang, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini karena setiap individu terlahir dengan kodrat alam dan kodrat zaman yang ada dalam dirinya. Dimana masing-masing kodrat telah memiliki watak, laku yang masih tersembunyi dalam diri yang dipengaruhi oleh faktor genetik, dan lingkungan. 

Tugas kita sebagai seorang pendidik lah yang menuntun laku baik murid-murid kita menjadi potensi positif menuju keselamatan bagi dirinya dan masyarakat. Meskipun tujuan mulia ini secara teoritis telah kita fahami, akan tetapi dalam praktiknya kita sendiri masih sering keliru dalam memaknai teori kontrol secara utuh. Ilusi guru bahwa guru dapat mengontrol murid, bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter, bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat, bahwa semua orang dewasa memiliki hak untuk memaksa masih tetap dijalankan sebelum mengambil tindakan pendekatan yang lebih humanis terhadap kesalahan murid. 

Padahal kita sendiri menyadari bahwa kita sendiri juga terkadang sering melakukan kesalahan-kesalahan yang didorong oleh motif-motif tertentu. Misalnya seorang guru terlambat datang ke sekolah karena menyiapkan sarapan keluarganya, akan tetapi gas di rumah habis. Seorang guru tidak melakukan proses pembelajaran dengan baik dan kreatif karena tidak menyiapkan pembelajaran secara terencana. 

Dan banyak hal lain yang seharusnya menjadi fungsi refleksi bagi pendidik agar bisa merubah paradigma dalam dirinya menuju paradigma yang lebih lentur dan efektif. Paradigma kita dalam menilai perilaku manusia masih berorientasi pada konsep-konsep Stimulus Respon atau lebih dikenal dengan Stimulus Organism Respon (SOR). Stimulus respon yang selama ini kita implementasikan dalam perilaku lebih memaknai bahwa:

  • Kita bisa mengontrol orang lain,
  • kita mencoba orang lain agar berpandangan sama dengan kita,
  • Perilaku buruk dilihat sebagai kesalahan
  • Pemaksaan pada saat bujukan gagal
  • Model berfikir menang kalah.

Paradigma-paradigma seperti inilah yang ingin dirubah dalam konsep Teori kontrol (teori pilihan) William Glasser. Konsep-konsep teori kontrol itu meliputi:

  • Hanya diri kita sendiri yang dapat kita kontrol
  • Berusaha memahami pandangan orang lain tentang dunia,
  • Setiap perilaku pasti memiliki tujuan
  • Kolaborasi dan konsesnsus menciptakan pilihan-pilihan baru
  • Model berfikir menang-menang.

Dalam mengimplentasikan paradigma teori pilihan, kita pasti banyak menemukan kendala, karena paradigma ini berhubungan erat dengan perilaku manusia sebagai eksistensi dari kemampuan regulasi emosi individu yang berbeda-beda. Dalam kebanyakan teori, para ahli memiliki beragam pandangan pada substansi-substansi yang berkaitan dengan rumusan-rumusan emosi individu yang sifatnya kompleks. Itulah sebabnya, Lindsay-Hartz dalam Hude (2006: 16) menyatakan bahwa "Ironically, we probably know more about the rings of Saturn than the emotions we expereince every day". 

Ironinya kita lebih banyak tahu tentang seluk beluk luar angkasa yang jauh diluar sana seperti cincin saturnus dari pada emosi dalam diri kita sendiri. Sehubungan akan hal ini, ada lima posisi kontrol yang dijabarkan oleh William Glasser,  sebagai Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer. Posisi manajer akan mengidentifikasi kesalahan melalui teori mtivasi. Kita telah memahami bahwa setiap tindakan didorong oleh motivasi (kebutuhan) tertentu. Ada 5 kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan untuk bertahan hidup (survival), kasih sayang dan rasa diterima (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan penguasaan (power). 

Dengan memahami alasan dari sebuah tindakan seseorang dan menjalankan perannya dalam mengembangkan nilai-nilai kebajikan universal, seorang pendidik akan bijak menentukan posisi dirinya sebagai manajer dalam menerapkan displin positif di sekolah. Displin positif merupakan suatu cara dalam membangun Suasana atau lingkungan yang positif dalam proses pembelajaran. 

Menurut Standar Nasional Pendidikan, bahwa Lingkungan yang positif sangat diperlukan agar pembelajaran yang terjadi adalah pembelajaran yang berpihak pada murid sebagaimana tertuang dalam standar proses pada Standar Nasional Pendidikan pasal 12, bahwa pelaksanaan pembelajaran diselenggarakan dalam suasana belajar yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi Peserta Didik untuk berpartisipasi aktif dan memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis Peserta Didik. 

Pada tingkat satuan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), fungsi Guru berada pada fase Wirama yaitu menuntun dan menantang anak dalam hal pengelolaan diri dan pengenalan potensi dirinya. Dimana murid menyadari bahwa semua tindakan keputusan-keputusan mengenai bagaimana menebalkan jati dirinya di tengah masyarakat dan lingkungan. Mereka sadar bagaimana membawa diri sebagai manusia yang merdeka.

Selanjutnya muncul perasaan-perasaan senang ketika mengetahui wawasan baru tapi juga masih bingun tentang implementasi nya dalam dunia nyata. Semua itu tertuang dalam pertanyaan dalam benak kita bahwa apakah selama ini saya telah menerapkan teori pilihan ini pada murid-murid saya di sekolah? Tentu hal ini menjadi sesuatu yang mustahil dan aneh bila kita berasumsi bahwa bahwa ini mustahil.  Karena dalam benak kita, telah tergambar murid-murid bengal yang sulit memahami tentang pentingnya memiliki kesadaran dalam berperilaku baik. Apalagi semua nilai-nilai kebajikan universal yang kita tanamkan di sekolah tidak berlaku pada lingkungan keluarga sebagai pilar pertama dalam pendidikan murid. Dalam hal ini, sekolah juga perlu melakukan tindakan-tindakan preventif terkait pemahaman orang tua murid terhadap perilaku anak. 

Melakukan program-program parenting di sekolah, merupakan salah satu cara dalam menyeleraskan tujuan pendidikan di sekolah. Pemahaman tentang tanggung jawab terhadap perilaku anak bukanlah semata-mata tanggung jawab sekolah sebagai institusi pendidikan, melainkan orang tua (keluarga) sebagai lapisan yang paling dasar harus memberikan teladan yang dapat ditiru oleh anak dalam berperilaku. Bukan tidak jarang kita menemukan peserta didik yang memiliki karakter yang telah hancur lebur ketika baru pertama kali masuk dalam institusi kita.

Sebagian sekolah-sekolah dengan predikat favorit dengan label brand-brand ternama membuang begitu saja peserta didik yang memiliki nasib kurang beruntung. Mereka hanya menerima peserta didik dengan indikator kelayakan sesuai aturan-aturan main mereka. 

Akhirnya sekolah bukan lagi berfungsi sebagai lembaga pembentuk budi pekerti melainkan lebih bersifat tempat transaksional. Kembali pada pembicaraan kita tentang kendala-kendala penerapan disiplin positif di sekolah, sekolah sebagai sebuah organisasi yang terhimpun dari berbagai macam elemen, murid, guru, tenaga kependidikan, kepala sekolah, dan beberapa elemen luar seperti pengawas, orangtua dan stake holder setempat harus bersinergi dan satu fikiran dalam memaknai displin positif untuk diimplementasikan di sekolah. 

Bukan tidak jarang, tantangan justru datang dari rekan pendidik itu sendiri atau bahkan kepala sekolah yang belum memahami paradigama disiplin positif sekolah. Munculnya opini-opini destruktif akan sangat menghambat bahkan menggagalkan penerapan disiplin positif di sekolah. Asumsi-asumsi tentang pelarangan memberikan hukuman dan penghargaan diskiapi dengan makna negatif. Padahal dalam paradigma ini, sebagai pendidik kita di ajak lebih bersikap lentur dan bijak dalam menghadapi masalah. 

Masalah yang muncul dalam diri peserta didik tidak dianggap sebagai sebuah kesalahan melainkan sebuah peluang untuk dirinya agar bisa belajar dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh. Kita boleh memberikan apresiasi dalam bentuk kalimat apresiatif yang mengandung nilai-nilai kebajikan dengan menunjukkan waktu kalimat pembuka dan waktu yang tepat. Pengakuan bisa diberikan secara khusus dan pribadi, pengakuan juga diberikan kepada seluruh murid secara bergantian, konsisten dan fokus pada prosesnya. 

Sementara disiplin dalam bentuk hukuman dan paksaan adalah alternatif yang sangat tidak disarankan. Akan tetapi menurut KHD, "Sungguhpun disiplin itu bersifat "self discipline" yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka".  Disinilah peran pemimpin yang memiliki hak dan kewajiban dalam menyikapi opini seperti ini. Pemimpin harus mengambil tindakan terkait tanggung jawab  dan tertib laku dari semua warganya terkait hak dan kewajibannya.

Dari paradigma teori pilihan ini saya menemukan konsep-konsep humanis dalam paradima teori pilihan yang berbeda dari paradigma sebelumnya, pendekatan yang lebih bersifat pembelajaran dialogis dan bersifat solutif ketimbang pemaksaan dan hukuman. Diane Gossen menawarkan metode pendekatan restitusi. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). 

Selanjutnya, restitusi juga adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996). Pada pendekatan restitusi, murid menjadi lebih memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya bukanlah pada bagaimana berperilaku untuk menyenangkan orang lain atau menghindari ketidaknyamanan, namun tujuannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. 

Ada peluang luar biasa bagi murid untuk bertumbuh ketika mereka melakukan kesalahan, bukankah pada hakikatnya begitulah cara kita belajar. Dimana menurut KHD pendidikan bisa disampaikan lewat cara pengalaman lahir dan batin (ngelakoni, ngerasa, believing). Cara ini lebih cepat dalam menumbuhkan pembelajaran dalam diri seseorang, karena motivasi yang terbentuk tidak lagi datang dari luar dirinya melainkan dari dalam dirinya. Dia menyadari bahwa tindakan buruk yang ia lakukan akan berdampak pada kurangnya kebahagiaan dirinya.

Penemu teri realitas William Glasser percaya bahwa manusia selalu berproses membuat pilihan. Mereka akan menderita dalam membuat pilihan-pilihan yang salah, padahal alternatif-alternatif yang mudah tersedia bagi mereka. Dengan cara berfikir yang tepat, manusia akan dibentengi dari banyak tekanan. Disini, peran pendidik sebagai penuntun perilaku peserta didik dapat tergambar dengan jelas. Pendidik tidak lagi memberi hukuman dalam bentuk fisik ataupun intimidasi melainkan memberi kesempatan pada peserta didik untuk mengintrospeksi diri atas penyebab dari pelanggaran-pelanggarn yang mereka lakukan. 

Solusi yang dibuat tidak lagi sebagai tebusan atas kesalahan yang mereka lakukan melainkan sebuah bentuk pembelajaran terhadap nilai-nilai yang mereka yakini. Itulah sebabnya kita perlu membuat kesepakatan kelas di awal tahun pembelajaran. Nilai-nilai apa yang kita anggap penting untuk disepakati agar proses pembelajaran yang berpihak pada murid dapat terwujud. Dalam penerapan disiplin positif, pendidik perlu mengekstraksi nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir peraturan yang telah ada. Kesepakatan yang telah diyakini oleh setiap warga kelas akan terbentuk menjadi keyakinan kelas. Beberapa ciri-ciri keyakinan kelas, yaitu:

  • Keyakinan kelas bersifat lebih abstrak dari peraturan yang bersifat rinci dan konkret.
  1. Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
  2. Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
  3. Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
  4. Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut.
  5. Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
  • Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu

Selain itu, peserta didik juga di ajak untuk mengambil nilai-nilai dari setiap butir-butir peraturan sekolah yang sudah ada, dengan begitu mereka memahami bahwa pelaksanaan peraturan yang mereka lakukan bukan karena paksaan atau kepatuhan melainkan karena memahami nilai-nilai itu bermanfaat untuk dirinya dan oarng lain. Lantas bagaimana, bila keyakinan kelas itu dilanggar oleh warga kelas? Disnilah kita perlu menerapkan segitiga restitusi.  

Dalam menjalankan pendekatan restitusi, ada tiga sisi yang dikenal dengan segitiga resitusi, yaitu

  • Menstabilkan Identitas (Stabilize the Identity)

Anak yang melakukan kesalahan biasanya cenderung membela diri atas perbuatannya. Mereka tidak rela semerta-merta disalahkan sekalipun tindakan yang mereka lakukan salah. Sesuai konsep berfikir cepat (fast thinking) bahwa manusia cenderung merespon dengan otak mamalia (berhubungan dengan perasaan) dari pada menggunakan otak luhurnya. Hal ini yang dinyatakan secara implisit dalam praktik penggunaan 4 jari tangan kanan sebagai fungsi otak mamalia dan ibu jari sebagai otak luhur.

Otak luhur (slow thingking) tidak bisa digunakan bila seseorang telah dikuasai oleh otak mamalia (perasaan). Untuk itu, sebagai pendidik kita menghindari kalimat-kalimat yang dapat memicu peserta didik kehilangan kontrol terhadap cara berfikirnya, dan memilih diksi kalimat yang bisa merefleksikan dirinya agar lebih terbuka.  

  • Validasi Tindakan yang Salah (Validate the Misbeh)
  • Sisi ini bertujuan untuk mengenali tujuan dari tindakan atau perilaku peserta didik. Karena kita mengetahui bahwa setiap tindakan pasti memiliki tujuan. Dengan memahami tujuan dari tindakan yang ia lakukan, maka kita dengan mudah mengidentifikasi ke arah mana masalah bermuara.
  • Menanyakan Keyakinan (Seek the Belief)

Setelah memahami ke arah mana akar masalah itu terbentuk maka kita dapat dengan mudah pula mengarahkan peserta didik akan nilai-nilai apa yang semestinya ia lakukan agar tidak terjadai keslahan-keslahan yang sama. Disni kita sekaligus berdiksusi tentang bagimana solusi agar kesalahan itu semestinya tidak terjadi. Pendidik menawarkan pilihan-pilihan pada peserta didik agar, mereka menemukan sendiri solusi yang paling tepat agar kesalahan itu tidak terulang lagi.

Adanya pemahaman-pemahaman tentang serangkaian displin positif tentu akan membawa perubahan dalam penumbuhan kesadaran dalam setiap peserta didik yang berujung pada budaya positif. Dengan terwujudnya budaya positif di lingkungan sekolah maka keterampilan abad 21 akan terwujud.  Murid akan memiliki keterampilan berfikir kritis, memecahkan suatu masalah, kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, kemampuan mengobservasi, kreatif dan inovatif.

Keterampilan-keterampilan ini sangat mutlak diperlukan dalam menghadapi Era Society 5.0 yang mengkolaborasikan kecerdasan manusia dan Artificial Intelegency (AI) sebagai aset utama transformasi peradaban yang bernilai kemanusiaan. Itulah sebabnya, Implementasi Kurikulum  Merdeka (IKM) lebih menitik beratkan pada 6 pilar Profil Pelajar Pancasila sebagai titik fokus tujuan kurikulum pendidikan. Manusia harus bisa mengimbangi kemajuan teknologi sebagai hasil dari pemikiran manusia itu sendiri.

Kita tidak bisa membendung arus perubahan teknologi yang begitu cepat yang datang dari negara-negara luar secara global. Sebagai bangsa yang berdaulat tentu kita harus memiliki kemampuan sendiri dalam mengimbangi kemajuan teknologi yang telah berintegrasi dalam semua sendi-sendi kehidupan kita, baik itu bidang ekonomi, pendidikan, agama, budaya bahkan filosofi-filosofi yang bisa mempengaruhi kelestarian bangsa ini. Sekali lagi saya utarakan, ini bukan masalah bisa atau tidak, tetapi ini tentang pilihan kita, mau atau tidak? 

           

Daftar Pustaka

Emron, Yohny, Imas, 2016. Manajemen Sumber Daya Manusia -- Strategi dan perubahan dalam rangka meningkatkan kinerja pegawai dan organisasi. Bandung, Alfabeta.

Hude, Darwis, 2006. Emosi. Jakarta, Erlangga.

Khavari, Khalil, 2006. The art of happiness, Mencipta kebahagiaan dalam setiap keadaan. Jakarta, Serambi Ilmu Semesta.

Maulana, Heri, D.J, 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Norton, M. Scott, 2008.  Human Resourcess Administrartion for educational ledaers. California, Sage Publications Inc.

Sunarsi, Denok, 2022. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Surabaya, Cipta Media Nusantara.

Wahyudi, 2012. Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Organisasi Pembelajar. Bandung, Alfabeta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun