Di tengah modernisasi global, berbagai sektor terutama dalam lingkungan yang didominasi kaum adam kerap kali perempuan menjadi yang dinomorduakan. Praktik subordinasi ini diawali dengan pembagian kerja berdasarkan gender.
Perempuan dibatasi oleh stereotip bahwa ruang kerja perempuan hanya pada ruang domestik saja. Hal ini menyulitkan perempuan untuk berpartisipasi di ruang publik dan memperoleh kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan.
Mansour Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi sosial menjelaskan bahwa untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara gender dan seks (jenis kelamin). Seks secara bahasa berarti jenis kelamin, sedangkan gender dapat dipahami sebagai sifat yang melekat atau dilekatkan pada diri laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.
Terbentuknya perbedaan gender dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya kontruksi sosial yang diajarkan melalui ajaran agama maupun budaya. Dalam perspektif Agama, al-Qur'an menggunakan istilah al-dzakar dan al-untsa untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya menunjukan kategori pembedaan tubuh secara biologis antara laki-laki dan perempuan.
Dalam perspektif Islam, di dalam Al Quran, salah satu variabel yang menjadi prinsip-prinsip kesadaran gender adalah laki-laki dan perempuan sebagai hamba yang berpotensi meraih prestasi. Ruang publik menjadi arena bersama antara laki-laki dan perempuan, dimana keduanya dituntut untuk kerja sama mewujudkan kebaikan bersama sebagai bagian dari masyarakat.
Beberapa kitab hadis, sejarah, dan biografi tokoh-tokoh awal Islam menunjukan mengenai perempuan-perempuan yang datang kepada Nabi Muhamad menjadi pendukung Islam yang pertama, berjuang bersama, ikut berdakwah, bahkan terlibat perang.
Hal ini menjadi inspirasi positif bagi mereka yang ingin menghambat dan melarang aktivitas perempuan di ruang publik dalam konteks relasi sosial antara laki-laki dan perempuan. Â
Secara umum perempuan diidentikan dengan urusan rumah tangga. Minimnya kehadiran perempuan di ruang publik sering menjadi dasar ketidakadilan. Anggapan perempuan yang irasional dan emosional masih menjadi salah satu pemicunya. Hal ini berdampak pada terbentuknya corak masyarakat yang patriarki.
Namun seiring dengan perkembangan zaman pandangan masyarakat kini telah berubah. Diantaranya adalah banyaknya perempuan yang berkontribusi dalam dunia politik serta menempati posisi tinggi dalam pekerjaanya seperti Khofifah Indar Parawansa, Sri Mulyani Indrawati dan masih banyak lagi.
Dari data berbagai media, pada fenomena pilkada serentak tahun 2019 keterwakilan perempuan dalam dunia yang di dominasi kaum adam ini mengalami kenaikan. 8,85 persen perempuan calon kepala daerah pada pilkada serentak terdapat 101 perempuan dari 1140 pendaftar.Â
Berdasarkan riset PERLUDEM (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi), angka ini meningkat meski tak signifikan. Hal ini menjadi tolak ukur bahwa masyarakat telah peduli dengan pendidikan khususnya pengetahuan tentang gender dan kesetaraan.
Gender tidak menjadi masalah selama tidak melahirkan ketidakadilan. pembagian peran seolah tersekatkan seperti dalam struktur kepengurusan. Ketakutan perempuan pada umumnya adalah terkait persoalan konstruksi sosial yang sudah melekat pada pelabelan perempuan yang harusnya beraada di belakang.
Oleh karena itu butuh pemahaman yang tuntas terkait gender. Pengetahuan gender memang sangatlah penting dalam kehidupan sehari-hari. Pasalnya, konstruksi sosial dalam lingkungan tradisionalis memicu banyak tindakan diskriminatif.
Tidak sedikit perempuan yang nantinya tumbuh dalam keraguan untuk berpartisipasi di ruang publik. Karena pada dasarnya pendidikan tidak hanya sebatas kebutuhan atau tuntutan melainkan narasumber dari segala pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H