“Anak tersebut lahir prematur, ketika menginjak usia 3 tahun dia rutin dibawa terapi. Pada awalnya kalau marah dia sering membenturkan kepalanya ke tembok, akan tetapi setelah rutin terapi alhamdulillah sudah tidak lagi” jelas pendiri sekolah.
Namun berbeda halnya dengan ABK laki-laki pertama, untuk ABK laki-laki yang kedua tidak mampu mengikuti pembelajaran dengan baik dan tidak cukup pandai berkomunikasi dengan yang lain serta terlalu fokus terhadap dunia nya sendiri. Faktanya bahwa ABK tersebut tidak pernah dibawa terapi oleh kedua orang tuanya, sehingga berdampak pada proses tumbuh kembangnya.
Dan untuk ABK perempuan ketiga cukup pandai berkomunikasi, namun setiap kali belajar membaca harus membutuhkan bimbingan. Tapi sisi baiknya dia selalu rajin dibawa terapi oleh kedua orang tuanya, sehingga ada perkembangan disetiap minggu nya.
Perbedaan pola pikir dan perlakuan orang tua itulah yang menyebabkan anak berkebutuhan khusus tersebut memiliki proses perkembangan belajar yang berbeda-beda. Para guru di sekolah tersebut tidak pernah membeda-bedakan murid berkebutuhan khusus dengan murid normal lainnya. Bahkan pada saat proses pembelajaran pun, para guru selalu bersabar membimbing dan memberi pelajaran secara perlahan kepada murid berkebutuhan khusus tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H