Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Sepak Bola Indonesia Berkacalah pada Kompetisi Eropa

18 Oktober 2022   07:28 Diperbarui: 18 Oktober 2022   07:36 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tragedi Kanjuruhan (Kompas)

Seperti Anda ketahui menindaklanjuti tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, Pemerintah. segera membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) untuk mengusut peristiwa yang memakan korban 132 orang meninggal, 596 luka ringan, dan 23 luka berat. Tim ini dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.

Dua minggu berselang atau 14 Oktober 2022 lalu, TGIPF Tragedi Kanjuruhan mendatangi Istana Kepresidenan Jakarta untuk menyerahkan laporan hasil investigasi kepada Presiden Joko Widodo.

Dalam laporannya, TGIPF memberikan 9 rekomendasi kepada pihak-pihak yang dinilai bertanggungjawab atas tragedi berdarah tersebut. Tiga diantaranya Penulis rangkum, ialah :

1. Rekomendasi agar Ketua Umum PSSI dan seluruh jajaran Komite Eksekutif mengundurkan diri sebagai bentuk tanggungjawab atas terjadi tragedi Kanjuruhan.

2. Agar pemangku kepentingan PSSI menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) untuk menghasilkan kepemimpinan dan kepengurusan PSSI baru.

3. Agar Polri segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap suporter yang melakukan provokasi hingga masuk kedalam lapangan.

Dari Penulis amati bahwa sampai detik ini belum ada respon dari pihak PSSI menanggapi 9 rekomendasi yang TGIPF sampaikan. Karena belum diketahui pasti apakah pimpinan dan pengurus PSSI akan mundur dan KLB akan segera dilaksanakan? Sedangkan prihal poin agar Polri segera menindaklanjuti penyelidikan terhadap suporter yang melakukan provokasi, dari pihak Aremania mengemukakan menolak rekomendasi itu.

Melihat kondisi yang terjadi, Penulis merasa miris dan pesimistis bahwa sepakbola Indonesia dapat pulih dan maju berkembang kedepannya. Bisa Anda amati upaya yang TGIPF telah lakukan nampaknya akan sia-sia dikarenakan ego masing-masing pihak.

Memang masih ada upaya lain yang bisa dilakukan untuk membenahi tata kelola sepakbola di tanah air, seperti membuat prosedural baku keamanan saat laga, perbaikan sarana dan prasarana stadion, dan lain sebagainya. Namun tidak bisa disanggah bahwa pemimpin dan pengurus PSSI serta para suporter memiliki peran krusial menjadikan sepakbola Indonesia lebih baik.

Sebagai gambaran, Penulis ajak pembaca untuk melihat bersama bagaimana majunya sepakbola daratan Eropa sana. Dari segi tata kelola kompetisi jelas mereka jauh lebih profesional, prosedural keamanannya sangat ketat, dan suporter mereka pun teratur. Namun ada poin mengapa mereka bisa seperti itu ialah dikarenakan penerapan sanksi yang sangat berat bagi siapa-siapa yang melanggar.

Sebagai contoh, ada sebuah peristiwa terjadi pada kompetisi Liga Belanda beberapa waktu lalu dimana seorang suporter tuan rumah masuk kedalam lapangan dan menghampiri kiper lawan. 

Peristiwa itu sontak menyita perhatian akibat keputusan wasit yang menghukum sang kiper dengan kartu merah karena dinilai menendang suporter tersebut. Kejadian itu kemudian berimbas laga ditunda dikarenakan tim lawan walkout dari pertandingan tidak terima atas keputusan wasit.

Usut punya usut, setelah memeriksa cuplikan laga diketahui bahwa suporter tuan rumah yang masuk ternyata menyerang lebih dahulu kiper lawan. Alhasil dari serangan itu membuat kiper lawan bereaksi melakukan perlawanan.

Dari hasil investigasi, federasi sepakbola Belanda memutuskan untuk menarik hukuman kartu merah yang wasit berikan kepada kiper lawan. Nasib berbeda harus dirasakan si suporter, sebagai ganjaran sanksi atas aksi tidak terpujinya itu si suporter harus mendekam di penjara selama 14 hari dan larangan untuk menyaksikan laga pertandingan di seluruh stadion selama 30 tahun!

Lantas pertanyaannya apakah sanksi berat dapat menjamin bahwa kompetisi sepakbola berlangsung lancar dan aman?

Jawabannya tentu tidak seratus persen. Seketat apapun pengamanan di lapangan masih memungkinkan adanya celah, akan tetapi disini bisa kita cermati dari peristiwa diatas ialah bahwa adanya bentuk kesadaran individu untuk mengikuti peraturan saat laga berlangsung dan sistem baku yang mendukung ekosistem sepakbola disana.

Satu, peristiwa masuknya suporter ke dalam lapangan tidak berimplikasi kepada suporter lain untuk mengikuti aksi tidak terpuji. Kedua, sistem ID dimana merekam setiap individu yang ingin menonton laga. Sehingga ketika ada individu yang memiliki catatan buruk atau melakukan pelanggaran berat maka sistem akan menolak individu tersebut masuk ke dalam stadion.

Apakah sistem ID dan sanksi berat bagi individu yang melanggar dapat diterapkan pada kompetisi di Indonesia? Jawabannya, kenapa tidak? Toh kejadian rusuh sudah kerap terjadi dan berulang dalam kompetisi di Indonesia walau sudah begitu banyak memakan korban serta kerugian materil.

Tragedi Kanjuruhan adalah momentum tepat bahwa perlunya pembaharuan dalam tata kelola kompetisi di tanah air. Reformasi perlu dilakukan, jangan cuma ngomong reformasi tetapi setengah hati.

Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun