Sebagai contoh, ada sebuah peristiwa terjadi pada kompetisi Liga Belanda beberapa waktu lalu dimana seorang suporter tuan rumah masuk kedalam lapangan dan menghampiri kiper lawan.Â
Peristiwa itu sontak menyita perhatian akibat keputusan wasit yang menghukum sang kiper dengan kartu merah karena dinilai menendang suporter tersebut. Kejadian itu kemudian berimbas laga ditunda dikarenakan tim lawan walkout dari pertandingan tidak terima atas keputusan wasit.
Usut punya usut, setelah memeriksa cuplikan laga diketahui bahwa suporter tuan rumah yang masuk ternyata menyerang lebih dahulu kiper lawan. Alhasil dari serangan itu membuat kiper lawan bereaksi melakukan perlawanan.
Dari hasil investigasi, federasi sepakbola Belanda memutuskan untuk menarik hukuman kartu merah yang wasit berikan kepada kiper lawan. Nasib berbeda harus dirasakan si suporter, sebagai ganjaran sanksi atas aksi tidak terpujinya itu si suporter harus mendekam di penjara selama 14 hari dan larangan untuk menyaksikan laga pertandingan di seluruh stadion selama 30 tahun!
Lantas pertanyaannya apakah sanksi berat dapat menjamin bahwa kompetisi sepakbola berlangsung lancar dan aman?
Jawabannya tentu tidak seratus persen. Seketat apapun pengamanan di lapangan masih memungkinkan adanya celah, akan tetapi disini bisa kita cermati dari peristiwa diatas ialah bahwa adanya bentuk kesadaran individu untuk mengikuti peraturan saat laga berlangsung dan sistem baku yang mendukung ekosistem sepakbola disana.
Satu, peristiwa masuknya suporter ke dalam lapangan tidak berimplikasi kepada suporter lain untuk mengikuti aksi tidak terpuji. Kedua, sistem ID dimana merekam setiap individu yang ingin menonton laga. Sehingga ketika ada individu yang memiliki catatan buruk atau melakukan pelanggaran berat maka sistem akan menolak individu tersebut masuk ke dalam stadion.
Apakah sistem ID dan sanksi berat bagi individu yang melanggar dapat diterapkan pada kompetisi di Indonesia? Jawabannya, kenapa tidak? Toh kejadian rusuh sudah kerap terjadi dan berulang dalam kompetisi di Indonesia walau sudah begitu banyak memakan korban serta kerugian materil.
Tragedi Kanjuruhan adalah momentum tepat bahwa perlunya pembaharuan dalam tata kelola kompetisi di tanah air. Reformasi perlu dilakukan, jangan cuma ngomong reformasi tetapi setengah hati.
Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H