Mohon tunggu...
Reno Dwiheryana
Reno Dwiheryana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger/Content Creator

walau orang digaji gede sekalipun, kalau mentalnya serakah, bakalan korupsi juga.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Cari Tahu Peran Lembaga Sensor Film serta Dinamika Perfilman

1 Juli 2022   08:09 Diperbarui: 1 Juli 2022   08:16 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Film adalah karya dari sebuah industri, ia hadir tidak sekadar untuk menghibur melainkan sebuah proses alih budaya"

Bagi penggemar film kiranya sudah seringkali melihat cuplikan bertuliskan "Lembaga Sensor Film Menyatakan Telah Lulus Sensor..." ketika film akan dimulai. Namun pernahkah kalian tahu apa itu Lembaga Sensor Film (LSF) dan apa sih fungsinya?

Kamis (30/6), Dalam kesempatan ini Penulis dan rekan-rekan Kompasiana Only Movie enthusiast Klub (Komik) yang lain berkunjung ke Lembaga Sensor Film (LSF) di Gedung F Kompleks Kemendikbudristek, Jakarta Selatan. Kegiatan ini sejatinya sebagai kegiatan mengulik lebih dekat apa fungsi dan bagaimana peran LSF terhadap film-film yang tayang di Indonesia.

Kami disambut oleh 6 perwakilan LSF yang turut serta menjadi narasumber yaitu Rommy Fibri Hardiyanto (Ketua), Erfan Ismail (Wakil Ketua), Andi Muslim (Anggota/Ketua Subkomisi Media Baru), Roseri Rosdy Putri (Anggota/Sekretaris Komisi II), Tri Widyastuti Setyaningsih (Ketua Subkomisi Penyesoran), dan Nasrullah (Ketua Komisi I Bid. Penyensoran).

Singkat cerita kegiatan diskusi panel dan tanya jawab kemarin berlangsung kurang lebih 2 jam, penuh ceria dan canda tawa.

Lantas apa yang bisa Penulis simpulkan prihal Lembaga Sensor Film ini?

Jadi tepatnya LSF ialah sebuah lembaga non struktural atau independen terdiri dari 17 anggota, 12 unsur masyarakat dan 5 pemerintah yang bertugas untuk melakukan sensor atau pengawasan kepada film (dalam/luar negeri) maupun iklan yang tayang di Indonesia. Dan setiap tayangan film dan iklan harus lebih dulu mendapatkan surat tanda lulus sensor, terkecuali pemberitaan (faktual) dan acara siaran langsung (live). Tupoksi dari LSF bernaung pada Undang-undang 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman.

Konten film dan iklan harus terlebih dahulu memenuhi 5 aspek agar dikatakan layak tayang, antara lain tidak mengandung kekerasan sadis, tidak mengandung unsur pornografi, tidak mengganggu SARA, tidak menjatuhkan harkat dan martabat orang, serta tidak mengganggu nilai-nilai Pancasila.

Lalu bagaimana gambaran proses penyensoran film dan iklan ini? Jadi begini setiap hasil karya jadi baik itu film dan iklan pertama-tama maka harus didaftarkan lebih dahulu ke LSF. Kemudian pihak LSF melakukan penyensoran untuk proses kelayakan sesuai kriteria. Apabila ditemukan konten tidak layak dalam film atau iklan maka LSF akan memberikan catatan kepada pemilik karya agar dilakukan penyuntingan ulang. Jika film dan iklan tidak ditemukan unsur pelanggaran maka film dan iklan tersebut mendapatkan surat lulus sensor dan dapat tayang.

Seiring perkembangan dinamika perfilman dari hari makin kemari mungkin kita semua sudah tahu bahwasanya film-film luar kini cenderung lebih ekspresif maupun eksploitatif untuk memperkenalkan gaya hidup dan budayanya, contoh konten bermuatan seks bebas, LGBTQ+. Mereka juga lebih mengeksplorasi untuk menggambarkan karya-karya mereka agar se-real (nyata) mungkin dan tak jarang bermuatan unsur kekerasan dan sadisme. Terlebih dengan hadirnya media baru berupa konten-konten film melalui layanan streaming OTT (Over The Top).

Mungkin ini yang sering banyak orang tanyakan, apa peran LSF disini mengacu konten-konten mengkhawatirkan berseliweran di layanan OTT ini?

Penulis katakan pahit harus ditelan karena sejatinya media baru bukan ranah LSF dikarenakan belum ada acuan dasar hukum yang menegaskan ada lembaga yang menaungi peran sebagai pengawasnya. Namun demikian, terlepas hadirnya media baru tersebut LSF dengan tegas berkomitmen untuk melindungi masyarakat Indonesia melalui wadah kewenangannya.

Ini pula yang perlu jadi perhatian masyarakat umum, bahwasanya proses memilah dan memilih konten maka masyarakat pribadi pula memiliki peran tanggungjawab didalamnya. Dalam kaitannya begini, jika dinilai konten-konten unfaedah itu banyak berseliweran maka masyarakat pribadi diharap dapat lebih bijak memilah dan memilih konten yang aman dan nyaman bagi diri maupun orang yang Anda sayangi dengan menerapkan Budaya Sensor Mandiri.

Di dunia yang serba canggih sekarang dimana teknologi dan informasi begitu mudah tidak bisa kita pungkiri bahwa seketat apapun pengawasan terkadang masih ada celah yang terlewati. Notabene dengan hadirnya media baru, andaikan saja sampai diperketat maka pertanyaannya hanya satu apakah Anda rela?

Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun