Dikutip dari Kompas.com. Pemberhentian 51 pegawai KPK terasa menjadi sebuah ironi, sebab sebelumnya KPK berharap narapidana tindak pidana korupsi (Tipikor) dapat menjadi penyuluh antikorupsi setelah keluar dari penjara dan kembali ke masyarakat.
Hal itu diungkapkan Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana saat penyuluhan Anti Antikorupsi bagi narapidana asimilasi di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Rabu (31/3/2021).
Wawan menyebut napi kasus korupsi sebagai penyintas, sehingga dapat berbagi pengalaman selama mendekam di lembaga pemasyarakatan
Menurut Wawan, KPK mengharapkan pengalaman yang dibagikan napi koruptor dapat mencegah munculnya praktik korupsi. Dengan begitu, upaya pemberantasan korupsi melalui aspek pencegahan bisa berjalan.
Membaca berita ini entah mengapa bawaannya Penulis langsung naik darah. Sebuah informasi yang didalamnya sungguh tidak masuk diakal bilamana benar jadi kenyataan, seorang koruptor dijadikan duta guna mencegah tindak korupsi.Â
Entah ada apa dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apakah lembaga ini sedang dalam keadaan mabuk? Sebuah ide konyol yang mungkin hanya satu-satunya terjadi di dunia dimana mantan koruptor tampil bak layaknya pahlawan.
Orang sudah merugikan uang negara untuk kesenangan pribadi dan antek-anteknya kemudian diminta menjadi ibarat duta korupsi? Kenapa tidak sekalian gila saja agar napi-napi tindak pidana yang lain jadi duta, semisal duta pemerkosaan, duta pembegalan, duta perampokan, duta perjudian, dan lain-lainnya agar pelakunya tobat.
Logika dari mana orang yang menjadi pelaku tindak korupsi kemudian dikatakan "penyintas"?
Penyintas itu adalah individu dimana mampu bertahan dari suatu kondisi atau keadaan dan kemudian membagikan pengalamannya agar bermanfaat bagi orang lain yang mengalami situasi keadaan serupa, contoh penyitas Covid, penyitas Kanker, dan sebagainya.
Lantas darimana kata "penyintas" koruptor? Bagaimana mungkin tindak pencegahan dapat dilakukan hanya berlandaskan imbauan?Â
Contoh, seorang napi koruptor mengungkapkan perasaannya. Saya ini mantan koruptor maka disini saya ingin berbagi dan mengimbau kalian pada koruptor untuk berhentilah menguntit uang negara. Saya mendekam di penjara selama 4 tahun, saya sungguh menyesal dan semoga itu menjadi pembelajaran bagi yang lain.Â
Saya beri makan keluarga saya dari uang haram maka jangan sampai Anda melakukan hal yang sama. Saya sadar perbuatan saya salah dan saya berjanji tidak akan mengulanginya kembali. Apa seperti itu yang KPK harapkan? Apakah seperti itu langkah yang katanya bisa mencegah tindak korupsi di Indonesia? Bagaimana mencegah seseorang dari kebodohan akibat keserakahannya?
Sungguh konyol bukan? Jikalau KPK melakukan hal tersebut mungkin sebaiknya KPK berganti nama dengan Komisi Penyuluhan (agar tidak) Korupsi.
Langkah pencegahan itu tidak selalu mengenai imbauan. Contoh, kalimat dilarang membuang sampah sembarangan. Maka untuk melengkapinya harus disediakan pula bak sampah yang memadai. Kemudian peraturan maupun sanksi tegas untuk menunjang agar kesadaran masyarakat tumbuh.
Hal demikian juga berlaku kepada tindak pidana korupsi. Tak cukup hanya imbauan semata agar orang tidak melakukannya.Â
Sebagai lembaga, KPK harus berkomitmen teguh dan bersih untuk memberantasnya. KPK harus berisikan orang jujur, berintegritas, profesional, dan nasionalisme yang tinggi. KPK harus pula bersinergi dengan perangkat yang lain untuk mencari solusi agar tindak korupsi dapat dicegah dan membentuk prosedural agar tindak korupsi tidak terjadi. Bersinergi dengan pemerintah untuk membuat sanksi tegas dan berat kepada para koruptor dan kroninya. Dan KPK harus menjadi lembaga matlamat agar Indonesia bersih dari praktik korupsi.
Penulis pun menilai KPK tak seharusnya memikirkan agar bagaimana para koruptor dapat kembali ke masyarakat. Toh pada kenyataannya mantan koruptor masih jauh lebih terhormat ketimbang pelaku kejahatan yang lain. Mereka masih bisa hidup enak, bahkan mereka bisa maju dalam Pilkada. Jadi kurang enak apalagi menjadi koruptor di Indonesia?
Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H