Kemudian 2 dari 4 klub tambahan format baru Liga Champion ini pun menimbulkan kontroversi karena klub-klub yang posisinya tidak lolos Liga Champion maupun UEFA Cup berdasarkan klasemen akhir liga domestik justru memungkinkan ikut Liga Champion didasari oleh "historic co-efficient".
Alhasil beberapa klub besar menyatakan keberatan dan menginginkan format Liga Champion kembali seperti semula. Akan tetapi keputusan UEFA nampaknya tidak bisa diganggu gugat sehingga mereka memunculkan agenda Liga Super Eropa sebagai bentuk keberatan.
Di sisi lain, alasan dibalik wacana Liga Super Eropa dilatarbelakangi oleh fans menurut Penulis sungguh tidak masuk di nalar. Penulis melihat baik format baru Liga Champion maupun Liga Super Eropa pun keduanya sama-sama tidak melibatkan apa yang diinginkan oleh para pecinta sepakbola, tetapi lebih kepada persoalan ego dan demi keuntungan semata.Â
Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan memberikan dampak signifikan kepada klub. Pendapatan mereka baik penjualan tiket maupun merchandise berkurang, keadaan tersebut tentu tidak cukup menopang finansial klub raksasa guna mendanai keseluruhan tim.Â
Disaat mereka mengeluhkan format baru Liga Champion, kondisi berbeda dialami klub-klub kecil dimana mereka harus berjuang dengan tim seadanya dan bertahan di kondisi yang sulit seperti sekarang.
Secara kesimpulan kisruh soal Liga Super Eropa ini setidaknya membuktikan bahwa keseruan sepakbola tidak hanya ada di lapangan, melainkan pula di luar lapangan.Â
Kita nantikan saja bagaimana keterusannya, apakah kelak akan ada titik temu diantara pihak berseteru ataukah fans nantinya bisa menerima ke-12 dilarang tampil dalam jangka waktu tertentu dalam ajang kompetisi Liga Champion.
Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H