Korupsi seolah tidak ada matinya di Indonesia, mungkin kalimat yang tepat untuk memulai materi ini. Setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang menjerat Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka atas kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020.
Tak berselang lama, publik kembali dikejutkan dengan ditangkapnya Menteri Sosial Juliari P Batubara atas kasus dugaan suap terkait pengadaan bantuan sosial Covid-19. Kader PDIP ini diduga menerima uang suap terkait pengadaan bansos Covid-19 sebesar Rp 17 miliar. Uang tersebut diberikan oleh perusahaan rekanan yang menggarap proyek pengadaan dan penyaluran bansos Covid-19.
Pasca satu tahun Jokowi - Ma'ruf memimpin kemudian dua menteri ditetapkan sebagai tersangka korupsi mungkin menjadi catatan buruk baginya di periode kedua masa pemerintahannya. Apa daya menteri yang kerap kali duduk semeja kala rapat di istana tak disangka-sangka menjadi benalu bagi bangsa. Pernyataan Jokowi yang pernah mengatakan  isu reshuffle menteri tak relevan dikala kinerja menteri membaik kini mulai terbantahkan dengan dua kasus memalukan ini.
Tertangkapnya menteri Sosial Juliari P Batubara mencuatkan kabar mengenai sanksi hukuman mati bagi para koruptor. Sebagaimana diketahui ide tersebut pernah disampaikan Firli Bahuri Ketua KPK periode 2019-2023 pada bulan Juli lalu.Â
"Ingat, tindak korupsi yang dilakukan dalam suasana bencana ancaman hukumannya adalah pidana mati," kata Firli dalam diskusi virtual, Senin, 27 Juli 2020. - Warta Ekonomi
Menanggapi hal diatas tentu yang menjadi pertanyaan ialah apakah mungkin pidana berat bagi koruptor ini bisa diterapkan?
Terlepas publik setuju dan yang tidak, perlu Anda ketahui Indonesia merupakan salah satu diantara negara-negara seperti Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat yang masih menerapkan sanksi hukuman mati. Sanksi berat ini di Indonesia kerap kali ditujukan kepada pelaku-pelaku kejahatan seperti kasus terorisme, pembunuhan berencana, maupun mereka yang terlibat dalam distribusi bisnis narkoba.
Sanksi hukuman mati ini merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 10 yang memuat pidana pidana pokok yang terdiri dar pidana mat, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan.Â
Walau sanksi hukuman mati berlaku di Indonesia, sanksi ini ditentang oleh kalangan internasional dan lembaga Hak Asasi Manusia disebabkan hukuman ini dipandang tidak beradab, melanggar konstitusi, melanggar HAM, dan tidak pas diterapkan di pemidanaan modern seperti sekarang.
Bisa dikatakan dikarenakan rongrongan anti pidana mati ini maka sanksi hukuman mati di Indonesia vacuum bak es dalam freezer seolah menanti momentum kapan waktu tepat untuk dilakukan. Konotasi hukuman mati tidak menjadikan pelaku jera maupun tidak (efektif) membuat tindak kejahatan berkurang menjadikan pemerintah maupun aparat penegak hukum kerap berpikir dua kali dalam memutuskan.
Menyangkut hal tersebut dalam kaitannya apakah sanksi pidana ini tepat dilayangkan kepada koruptor maka Penulis bagi pribadi dan orang awam sih setuju-setuju saja.Â
Diliputi kegeraman akan mereka pengerat uang rakyat, berupaya memperkaya diri dengan cara tidak halal, dan minim empati dilakukan di masa sulit pandemi, dalam benak Penulis berpikir tetapi apakah mungkin pidana bagi koruptor bisa dilakukan di Indonesia?
Kok rasa-rasanya macam sebuah misi yang mustahil dapat dilakukan mengingat kalangan atau pelaku koruptor ialah individu-individu yang berpengaruh, kalangan berada, kedudukan penting, dan tentunya koneksi yang luas.
Boleh jadi menanggapi hal tersebut, masyarakat semakin setuju tatkala urat malu mereka layaknya putus menjadikan pantaslah baginya diberikan sanksi hukuman mati. Akan tetapi pertanyaannya bagaimana kata mereka disana para pejabat publik, para wakil rakyat, dan penegak hukum, apakah mereka setuju kerabatnya bahkan mungkin anggota keluarganya di pidana mati?
Jadi secara garis besar kesimpulan prihal hukuman mati bagi koruptor ini Penulis bisa katakan bak mimpi di siang bolong maupun sekadar isapan jempol semata.
Penulis berani katakan sudahilah mimpi tersebut dan jangan sampaikan lagi ke masyarakat. Penjahat kerah putih di negeri ini lebih dihormati dan seolah dilindungi. Mereka hidup lebih beruntung ketimbang penjahat-penjahat kecil yang digebuki dan dibakar sampai mati. Selama penegakan hukum di negeri ini pincang dan mental maling di negeri ini belum pudar niscaya korupsi tetap akan merajalela. Dikarenakan koruptor semakin banyak maka jikalau perlu buatkan istana dan gelaran karpet merah untuk menyambitnya. Eh.
Demikian artikel Penulis. Mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H