Setiap pemeluk agama pasti menyatakan bahwa agama yang dianutnya adalah yang terbaik. Eit jangan baper dahulu, pada kenyataannya memang demikian.
Dalam praktiknya seseorang mengakui bahwa agama yang dianutnya lebih baik adalah hal yang manusiawi. Karena sejatinya semakin orang mendalami ilmu agamanya maka ia semakin yakin ia berada di jalan yang benar. Namanya juga "keyakinan", Anda menikah saja yakin dengan pilihan pasangan Anda. Kalau tidak, mungkin Anda berada dipelukan yang lain.
Sejatinya keyakinan itu bukan layaknya baju dimana berganti hari maka ganti pula bajunya. Logikanya jika Anda ingin pergi ke Bandung maka Anda mengikuti jalur yang dituju, bukan malah ke arah lokasi yang berbeda. Kenapa? Ya karena setiap agama memiliki jalur masing-masingnya.
Lepas dari itu, Penulis yang berparas mirip ras Tionghoa sebenarnya lahir dari orangtua berdarah Sunda dan sebagai Muslim atau beragama Islam. Mata sipit mengenakan kacamata ini memang dipengaruhi faktor genetik dimana sejak duduk di bangku TK Penulis wajib mengenakan kacamata minus.
Acapkali impresi orang yang baru mengenal Penulis selalu mengatakan bahwa Penulis merupakan keturunan Tionghoa. Hal itu tidak menjadi masalah, bahkan ketika gejolak ekonomi di tahun 1998 Penulis yang ketika itu masih SMP tetap aman-aman saja sekalipun aksi penjarahan dan pembakaran terjadi di sekeliling tempat Penulis tinggal.
Beranjak ke masa kuliah, ada sebuah kejadian lucu pernah Penulis alami. Dikala sedang mendaftar masuk sebuah Universitas, Penulis hendak shalat Dzuhur dan menanyakan ke seorang Satpam kampus dimana lokasi Mushola.
Justru pertanyaannya Penulis itu disambut keanehan oleh Satpam yang malah bertanya balik, Adek ini Muslim? Penulis pun menjawab, ya Pak, Saya Muslim. Satpam itu pun lalu menunjukkan lokasi Mushola berada.
Apa yang Satpam tanyakan itu bukan karena faktor SARA. Penulis sangat memaklumi karena Universitas yang Penulis daftar adalah Universitas dimana mayoritas mahasiswanya Non Muslim dan keturunan Tionghoa.
Dengan paras serupa maka Penulis dapat dengan leluasa bergaul dengan mereka. Walau demikian Penulis mengakui diri Penulis apa adanya, namun hal tersebut tidak mempengaruhi hubungan persahabatan yang terjalin saat masa kuliah sampai sekarang.
Justru perbedaan tersebut membuat hubungan diantara kami saling mengerti. Penulis yang seorang pribumi dan Muslim kerap berdiskusi dengan kerabat keturunan Tionghoa dan Non Muslim, toh diskusi biasa-biasa saja, tidak ada konflik, dan kami bisa saling menghormati keberagaman antara satu dengan yang lain.
Ada sebuah pengalaman menarik ketika Penulis berkunjung ke rumah kerabat yang merupakan keturunan Tionghoa dan Non Muslim. Saat jam makan siang, si empu rumah mengajak Penulis dan teman lainnya menuju meja makan. Hidangan pun telah tersedia, semangkuk besar pangsit basah yang siap menggoda lidah.
Ketika pangsit basah dituangkan ke masing-masing  piring untuk segera dimakan. Entah karena apa, tiba-tiba si empu rumah menghentikan Penulis untuk tidak memakan pangsit basah itu. Ia pun segera bertanya ke Ibunya yang sedang berada di rumah, apakah pangsit basah itu mengandung B2. Setelah dikonfirmasi bahwa pangsit basah itu mengandung B2, teman Penulis menganjurkan Penulis untuk memakan abon Sapi sebagai pengganti pangsit basah.
Lantas apa yang bisa kita bersama pelajari disini? Bahwa perbedaan itu indah. Seperti Penulis seringkali jelaskan bahwa dalam bergaul itu tidak ada sama sekali batasan, namun yang perlu kita ingat bahwa tetap ada rambu-rambunya.
Dalam agama Islam sendiri dan sebagaimana Umat Muslim ketahui, kami diajarkan mengenai "hablum minallah, hablum minannas" yang berarti "hubungan baik dengan Allah, hubungan baik dengan manusia".
Dalam konteks hubungan baik dengan manusia, bukan hanya menjalin hubungan yang baik antar sesama Umat Muslim tetapi kami juga diajarkan untuk menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Saling peduli, saling hormat menghormati, tolerasi antar umat beragama, betul. Tetapi perlu diingat bahwa tetap ada rambu-rambunya.
Penulis yakini bahwa setiap keyakinan masing-masing memiliki rambu-rambu yang masing-masing Umatnya yakini. Karena niscaya kalau keyakinan tidak memiliki rambu-rambu maka manusia akan cenderung acuh dan tidak tahu akan batasannya. Bilamana itu terjadi maka akan tercipta konflik, karena mungkin saja kita sebagai Umat menerobos dengan melakukan hal-hal yang tidak pantas atau tidak elok bagi Umat yang lain.
Sebagai gambaran, apa jadinya bilamana Anda masuk rumah tetangga Anda tanpa sepengetahuan empunya? Yang ada Anda akan dituduh sebagai maling. Logikanya rumah saja ada pembatasnya, Anda butuh izin dan sepengetahuan yang punya rumah untuk bisa berkunjung.
Perlu kita bersama sadari bahwa rambu-rambu itu yang mengapa keberagaman di Indonesia ini disanjung dan diakui oleh dunia. Kita Umat beragama bisa hidup berdampingan, ya karena kita memiliki rambu-rambu tersebut.Â
Tanpa batasan maka kita akan menjadi Umat yang serba kebablasan, kita akan menyodok kepada sesuatu yang tidak pahami dan tidak kuasai. Oleh karena itulah mengapa kita dianjurkan untuk memperdalam ilmu agama, karena dengan ilmu tersebut Anda akan dapat paham bagaimana menghadapi hidup yang penuh dinamika ini. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H