Sesuai dengan judul diatas, Penulis hanya bisa bilang "tahun 2024 masih lama Bung"! Kiranya bagi siapapun tidak perlu baper dengan apa yang Presiden Jokowi kemukakan ketika memberikan sambutan saat acara HUT Partai Golkar ke-55 yang berlangsung di Hotel Sultan, Jakarta 6 November 2019 lalu.
Bagi Penulis apa yang Jokowi sampaikan kala itu dimana ia menyindir pertemuan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dengan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Sohibul Iman murni sebuah guyonan.
Sebagaimana hal tersebut telah disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto. Dikutip melalui laman Tempo.co, ia menyatakan Jokowi dalam sambutannya di HUT Golkar itu sebagai hal biasa. Menurut dia, Jokowi hanya menyampaikan ice breaker agar suasana perayaan HUT Golkar itu akrab dan cair.
Jokowi sebagai seorang Presiden dari kalangan umum memiliki perawakan berbeda dibandingkan Presiden-presiden terdahulu yang memiliki latar belakang sebagai politikus maupun tentara. Bukan Penulis bermaksud menyanjung maupun sebagai simpatisan Jokowi, Penulis sebagai Golput melihat aura kesederhanaan dan merakyat selalu terpancar dalam dirinya akan tetapi bukan berarti Jokowi tidak dapat tegas dalam bersikap.
Namun hal diatas acapkali berbanding terbalik dengan respon yang ia dapat dikarenakan ia bukan seorang petinggi partai maka dari itu Jokowi kerap dipandang remeh sebagai Presiden wong ndeso dan bahan cemoohan pihak-pihak yang tidak menyenanginya.
Suka tidak suka demikianlah dengan sosok Jokowi, sosoknya konsisten tidak berubah. Dalam ingatan Penulis saat diundang ke Istana Negara dalam rangka HUT Kompasiana ia sempat melontarkan guyonan agar para Kompasianer yang hadir kala itu tidak kaku dan tegang. Kami pun tertawa, pertemuan antara Kompasianer dan Jokowi berlangsung penuh suka cita walau para Paspampres disekeliling kami awas dalam bertugas.
Kembali kepada persoalan dengan apa yang terjadi, apakah koalisi gemuk Jokowi pecah karena kubu Nasdem bertemu dengan PKS yang tegas sebagai oposisi pemerintah?
Bagi Penulis memandangnya penilaian media maupun pengamat politik pada umumnya sampaikan terlalu "prematur". Kenapa demikian?
Pertemuan atau kunjungan antar elit politik merupakan sesuatu hal yang lumrah, dan sampai saat ini Penulis yakin tidak ada peraturan tertulis yang menyatakan hal tersebut dilarang. Kalaupun ada, maka akan tertulis harus mendapatkan izin dari partai.
Tak hanya Surya Paloh petinggi Partai Nasdem, Megawati hingga Prabowo atau siapapun anggota partai bilamana mau menggelar pertemuan semua itu sah-sah saja. Hanya mungkin persepsi publik terutama media punya penilaian berbeda terhadapnya, tergantung seberapa terpandangnya sosok tersebut di sebuah partai.Â
"Semakin terpandang tokoh politik tersebut, mudahnya semakin tinggi nilai jual pemberitaannya".
Jadi sekalipun Surya Paloh mengemukakan bahwa pertemuan tersebut hanya silaturahmi antar partai, Penulis yakin tidak semua pihak mempercayainya. Mau pertemuan itu dilakukan saat ini ataukah nanti, bagaimanapun pandangan skeptis pasca pertemuan tersebut akan selalu timbul.
Kemudian dalam kaitan pertemuan Surya Paloh dengan Pilpres 2024? Owalah, tahun 2024 masih lama! Apa ada yang bisa menjamin umur Anda-anda sampai kesana?
Tak perlu jauh-jauh memikirkan Pilpres 2024, mari kita menelisik sebentar kebelakang apa yang terjadi dimana kubu Prabowo bergabung dengan kubu Jokowi. Ya sebagaimana sering diingatkan bahwa dunia politik itu dinamis, kerap membuahkan sesuatu yang tidak diduga akan tetapi tidak berarti kesemuanya tidak bisa diterka (ditebak).
Kompetisi Pilpres 2024 masih lama, maka hal yang paling logis ialah kompetisi jelang Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) 2020 dan 2022. Hal itu yang paling memungkinkan, pertemuan para tokoh politik kiranya lebih kepada untuk memastikan komunikasi diantara mereka tetap baik walau berbeda posisi maupun pasca kemelut Pilpres 2019.
Lebih-lebih lagi persoalan rencana Pemilu serentak 2024 belum ada kepastian akan kelanjutannya, menurut Penulis semua kemungkinan masih di awang-awang. Bilamana pertemuan Surya Paloh itu dinilai sebagai sebuah penghianatan, maka sangkaan itu serba berlebih-lebihan karena jelas tidak mendasar.
Logis saja Partai Nasdem mendapatkan tiga pos Menteri dalam Kabinet Maju Jokowi. Lepas dari pos Menteri itu pas atau tidaknya bagi Partai Nasdem, tak mungkin Nasdem berniat menusuk dari belakang rekan seperjuangannya. Apalagi sosok seorang Surya Paloh, sebagai seorang pebisnis dan politikus handal kiranya ia telah jauh-jauh hari menghitung apa yang akan Partai Nasdem lakukan.
Sebagai penutup. Layaknya hubungan Suami Istri, cemburu boleh-boleh saja bahkan cemburu Suami kepada Istri maupun sebaliknya justru dianjurkan dalam kapasitasnya tanggungjawab. Yang tidak boleh itu ialah ketika cemburu buta yang menimbulkan rasa saling curiga, saling tidak percaya, dan menjadi biang keladi kisruh dalam rumah tangga.
Apabila Jokowi cemburu dengan pelukan Surya Paloh kepada Sohibul Iman, sesuatu yang wajar-wajar saja. Akan tetapi bilamana kecemburuan itu dinilai sebagai bentuk kecurigaan, maka akan lebih baik bilamana Jokowi dan Surya Paloh duduk satu meja untuk sama-sama mendiskusikannya. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H