Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan akan segera memonitor konten dari media digital. KPI mengatakan, pihaknya akan membuat dasar hukum untuk melakukan pengawasan pada konten di YouTube, Facebook, Netflix, atau sejenisnya. - Kompas.com
Beberapa hari ini pemberitaan mengenai niatan Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI untuk turut serta memonitor konten digital menyeruak ke publik. Sontak itikad baik KPI ini menimbulkan respon beragam dimana Penulis perhatikan publik mayoritas menolak rencana tersebut.Â
Bahkan seorang warganet bernama Dara Nasution membuat petisi "Tolak KPI Awasi Youtube, Facebook, Netflix!" dimana hingga kini petisi yang ia buat telah ditandatangani oleh kurang lebih 55.000 orang (dari target 75.000).
Berbicara soal KPI, lembaga independen yang diusung tahun 2002 ini pada maksud tujuannya ialah untuk mengawasi dan mengatur penyiaran yang diselenggarakan baik oleh lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran komunitas. Dalam konteksnya secara jelas bahwa tupoksi dari sasaran KPI adalah konten seperti halnya pada media radio maupun televisi.
Tentu hal tersebut menjadi pertanyaan, mengapa KPI keukeh ingin mengawasi konten digital yang bisa dikatakan bukan ranah mereka? Kemudian jika KPI ingin mengawasi konten digital, apakah KPI telah melaksanakan fungsinya dengan baik dengan menciptakan atmosfer tayangan yang sehat bagi publik?
Boleh jadi KPI punya banyak alasan teknis dibalik niatan mereka mengawasi konten digital, akan tetapi apakah KPI kompeten menindaklanjutinya? Apakah Sumber Daya Manusia yang ada di KPI punya kapabilitas dalam menilai mana saja konten-konten digital yang mereka kategorikan sehat dan berkualitas?
Pada kenyataannya, mengapa konten digital menjadi pilihan publik bukan saja karena faktor kemajuan teknologi yang mendorong peralihan publik terhadap kebutuhan baik informasi dan hiburan dari media konvesional (radio dan televisi) kepada media sosial maupun media streaming.
Tetapi juga ditenggarai oleh kejenuhan publik terhadap isi konten yang monoton ada pada media konvensional khususnya televisi serta kekecewaan publik kepada kinerja KPI sebagai pengawas dan regulator.
Hal diatas bukan omong kosong belaka. Jika anda para pembaca perhatikan seperti apa konten-konten yang ada pada televisi sekarang? Konten di televisi berisikan media promosi seperti iklan yang overdosis jumlahnya dimana mengusik kenyamanan ketika menonton sebuah acara.Â
Konten di televisi didominasi tayangan-tayangan tidak  sehat, tidak berkualitas, dan tidak mendidik seperti tayangan sinetron yang membosankan, tayangan infotainment yang gemar mempertontonkan aib orang serta gaya hiduo hedoisme, talkshow tidak bermutu, dan sebagainya.Â
Kemudian coba anda perhatikan kanal medsos KPI apakah itu Facebook, Twitter, Instagram, dan website KPI yang berisikan luapan kekecewaan publik terhadap bagaimana kualitas konten yang ada pada media televisi serta mempertanyakan kinerja KPI yang dipandang gagal menjalankan tugasnya dalam mengupayakan stasiun-stasiun televisi menghadirkan tayangan yang sehat dan berkualitas.
Gambaran dari kekecewaan publik terhadap KPI pun pernah Penulis sampaikan di Kompasiana dalam artikel dengan judul "Kesal Dengan Kualitas Pertelevisian, Anda Tidak Sendirian" dimana atmosfer "hopeless dan useless" ketika acara tatap muka dengan para Komisioner KPI.Â
Pada kesimpulannya sebagian publik sudah geram, suntuk, dan lelah terhadap seperti apa kualitas pertelevisian nasional saat ini. Mereka kini memilih alternatif media yang dapat menyajikan baik informasi dan hiburan melalui kanal media sosial maupun media mainstream.Â
Disaat publik punya kapabilitas mengontrol mana tayangan yang layak baginya dan kini seolah KPI ingin mengusik kebebasan mereka. Ibarat semut sedang berkerumun dan KPI tepat berada diatasnya maka tak heran bilamana semut akan menyerang.
Bagi Penulis sendiri itikad baik KPI untuk turut serta mengawasi konten digital sebenarnya tidak menjadi masalah berarti walau media sosial dan media mainstream sudah menjadi makanan pokok sehari-hari.Â
Namun disini kembali Penulis mempertanyakan bagaimana kompetensi KPI sebagai lembaga pengawas dan regulator? Kalau kinerja KPI layaknya bagaimana kinerja mereka mengawasi pertelevisian nasional maka lebih baik KPI interopeksi terlebih dahulu.Â
Jika KPI tidak mampu mengayomi dan bertindak tegas kepada stasiun televisi yang ada prihal tayangan yang mereka sajikan ke publik maka itikad KPI turut serta mengawasi konten digital hanya akan berujung hujatan. Demikian artikel Penulis, mohon maaf bilamana ada kekurangan dikarenakan kekurangan milik Penulis pribadi. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H