Dalam dunia dakwah modern, humor telah menjadi salah satu alat yang cukup efektif untuk mendekatkan pesan agama kepada masyarakat. Humor bukan hanya cara yang menyenangkan, tetapi juga menjadi strategi untuk membumi dan membuat kajian agama lebih mudah diterima oleh audiens.
Namun, seperti yang baru-baru ini dialami Gus Miftah, humor dalam dakwah bisa menjadi pisau bermata dua. Salah satu momen yang menarik perhatian adalah video viral yang menunjukkan Gus Miftah, seorang pendakwah populer, mengerjai seorang penjual es teh dalam acara Magelang Bersholawat.
Seperti yang tercatat dalam pemberitaan CNN Indonesia (3 Desember 2024), Gus Miftah menanggapi kritik dengan mengatakan bahwa aksinya tersebut adalah "guyonan biasa" yang digunakan untuk menarik perhatian jamaahnya. Namun, tak sedikit yang merasa bahwa humor tersebut sudah melewati batas dan mengarah pada penghinaan.Â
Ketika Humor Menjadi Pisau Bermata Dua
Menggunakan humor dalam dakwah memang memiliki potensi untuk mempermudah penyampaian pesan, tetapi hal tersebut harus dilakukan dengan hati-hati. Ketika humor yang semula berniat untuk menyegarkan suasana justru berpotensi merendahkan martabat seseorang, seperti dalam kasus Gus Miftah, maka hal itu bisa menjadi masalah.
Sebagaimana disampaikan oleh kuasa hukum Gus Miftah dalam CNN Indonesia, bahwa humor tersebut sebenarnya merupakan bagian dari gaya komunikasinya yang lebih santai dan akrab dengan jamaah. Meski demikian, reaksi publik tidak bisa dianggap remeh. Banyak yang merasa terhina oleh ungkapan "goblok" yang dilontarkan Gus Miftah terhadap penjual es teh tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa humor yang diterima dalam satu konteks budaya atau kelompok bisa jadi tidak diterima oleh pihak lain, terutama ketika melibatkan figur publik yang memegang posisi penting.Â
Prespektif Sosial: Normalisasi dan Konteks LingkunganÂ
Di Indonesia, penggunaan humor dalam dakwah atau komunikasi sosial sering kali dianggap sebagai sesuatu yang biasa, bahkan normal. Terlebih lagi, jika dilakukan oleh tokoh agama yang memiliki pengaruh besar. Namun, apakah humor yang bersifat ofensif benar-benar bisa diterima begitu saja? Mengutip dari sumber Kompas (22 Oktober 2024), Gus Miftah baru saja dilantik sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.
Dalam posisinya yang baru ini, dia memiliki tugas untuk menjaga kerukunan antarumat beragama di Indonesia yang terkenal dengan keberagaman suku, agama, dan budaya. Ini menunjukkan bahwa sebagai tokoh agama dan pejabat publik, Gus Miftah harus berhati-hati dalam setiap pernyataan dan tindakannya, termasuk dalam memilih gaya bahasa dakwah yang digunakan.
Pihak yang membela Gus Miftah menilai bahwa banyak orang yang tidak memahami sepenuhnya konteks dan cara Gus berinteraksi dengan jamaahnya. Namun, seharusnya publik lebih bijaksana dalam menilai suatu kejadian dengan hanya mengandalkan potongan video yang bisa dipahami secara sepihak.
Adab di Atas Ilmu: Tanggung Jawab PublikÂ
Sebagai seorang pendakwah dan pejabat publik, Gus Miftah seharusnya memiliki kesadaran bahwa perannya tidak hanya dalam menyampaikan agama, tetapi juga dalam menjaga citra Islam yang rahmatan lil'alamin. Dakwah harus selalu mengedepankan nilai adab, tidak hanya ilmu. Humor yang digunakan dalam dakwah harus memperhatikan norma-norma yang berlaku, serta tidak merendahkan martabat orang lain.
Mengutip dari artikel tentang gaya bahasa dakwah, ada beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan dalam komunikasi dakwah, seperti memilih kata yang jelas dan menghindari ambiguitas, serta menjaga etika dalam berinteraksi (sumber: dakwahid.com).
Dalam konteks ini, Gus Miftah perlu mempertimbangkan dampak sosial dari setiap kata yang diucapkannya, terutama ketika berhadapan dengan publik yang memiliki beragam latar belakang.Â
Humor yang Membangun, Bukan MeruntuhkanÂ
Sebagai seorang pendakwah modern, Gus Miftah harus menyadari bahwa humor dalam dakwah bukan sekadar alat untuk menarik perhatian, tetapi juga harus menjadi sarana untuk membangun pemahaman dan persaudaraan. Humor yang baik seharusnya memperkuat pesan dakwah dan tidak merendahkan atau menyakiti pihak lain.
Dalam konteks ini, humor yang digunakan oleh Gus Miftah harus mampu menciptakan suasana yang lebih inklusif dan mendalam, bukan sebaliknya. Bagi pendakwah zaman sekarang, penting untuk memahami audiens dan memastikan bahwa humor yang disampaikan tetap dalam batasan yang dapat diterima secara sosial dan kultural.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gus Yusuf, teman sejawat Gus Miftah, humor dalam dakwah perlu dilihat secara utuh dan tidak hanya dari potongan video yang bisa menyesatkan persepsi. Maka, humor dalam dakwah seharusnya bisa menjadi pendorong harmoni, bukan penghancur martabat. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H