Mohon tunggu...
Khairunnisa Al Araf
Khairunnisa Al Araf Mohon Tunggu... Freelancer - Host-Writer Freelancer

Hi, saya Khairunnisa Al-Araf Suka banget nulis, ngobrol, dan berbagi cerita tentang hal-hal seru seputar komunikasi, media, dan dunia kreatif. Dengan latar belakang di Ilmu Komunikasi, saya selalu excited explore berbagai topik, mulai dari tips komunikasi yang praktis sampai ngobrolin tren media yang lagi hype. Hobi saya juga suka banget nulis dan cerita tentang pengalaman yang bisa inspire orang, atau kadang cuma sekedar share hal-hal yang lagi viral. Di Kompasiana, saya ingin berbagi konten yang bisa relate dengan kehidupan sehari-hari dan tentunya penuh dengan ide-ide baru yang pastinya menarik buat dibaca.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Agus Salim Cerminan Korupsi Sosial dan Krisis Kepercayaan di Indonesia

3 Desember 2024   08:10 Diperbarui: 3 Desember 2024   08:10 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Podcast Denny Sumargo

Indonesia sering kali menempati posisi yang rendah dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPC). Korupsi yang merajalela di tingkat institusi pemerintahan bukan hanya merugikan negara, tetapi juga menciptakan budaya yang permisif terhadap penyalahgunaan kepercayaan di tingkat individu. 

Salah satu contoh terbaru yang memunculkan pertanyaan tentang integritas dan transparansi adalah kasus Agus Salim, yang terjerat dalam polemik terkait pengelolaan dana donasi. 

Kasus ini tidak hanya melibatkan satu individu, tetapi mencerminkan fenomena sosial yang lebih besar, yaitu bagaimana budaya korupsi telah menggerogoti pola sosial kita sehari-hari.

Budaya Korupsi di Indonesia: Korupsi yang Menjadi Normalitas

Sumber: Indonesiabaik.id
Sumber: Indonesiabaik.id

Berdasarkan laporan terbaru Indeks Persepsi Korupsi (IPC) 2023, Indonesia masih terjebak dalam stagnasi dalam hal pemberantasan korupsi. Di posisi 115 dari 180 negara, Indonesia hanya meraih skor 34 dari 100, yang menunjukkan tingkat korupsi yang cukup tinggi dan belum ada perubahan signifikan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. 

Meskipun ada upaya pemerintah untuk memberantas praktik korupsi, angka-angka ini menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi masalah struktural yang sulit diatasi. Dampaknya tidak hanya terasa di sektor ekonomi, tetapi juga telah merasuk ke dalam moralitas sosial.

Korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang dianggap lumrah, dan dalam banyak kasus, penyalahgunaan kekuasaan atau dana publik dipandang sebagai hal yang biasa. 

Bahkan, di beberapa kalangan masyarakat, hal ini dianggap sebagai bagian dari kelangsungan hidup, yang sering kali dimaafkan dengan alasan pragmatis. Dalam kondisi seperti ini, muncul pola pikir oportunistik di mana seseorang merasa bahwa penyalahgunaan kekuasaan atau kesempatan adalah hal yang dapat diterima, asalkan tidak tertangkap atau tidak terlalu mencolok.

"Di sebuah negara di mana praktik korupsi sering kali dianggap lumrah, penyalahgunaan kepercayaan bisa muncul di berbagai level---dari birokrat hingga individu yang memanfaatkan empati publik."

Di tengah budaya semacam ini, sangat sulit untuk mengubah perilaku masyarakat agar lebih transparan dan akuntabel. Ketika korupsi telah menjadi bagian dari norma sosial, banyak orang merasa bahwa mereka dapat bertindak semaunya tanpa takut dihukum atau disalahkan. 

Hal ini tercermin dalam berbagai kasus penyalahgunaan yang bahkan melibatkan individu dengan simpati publik, seperti yang terjadi pada kasus Agus Salim, di mana kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat bisa dengan mudah disalahgunakan jika tidak ada pengawasan yang ketat.

Kasus Agus Salim: Korupsi Sosial yang Terjadi di Hadapan Publik 

Kasus Agus Salim, meski tidak memenuhi definisi hukum korupsi, tetap menampilkan pola yang sama---penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Agus, yang awalnya mendapatkan simpati publik melalui donasi yang digalang untuk tujuan kemanusiaan, akhirnya menghadapi tuduhan ketidaktransparanan dalam pengelolaan dana. Ketidakjelasan ini menimbulkan kecurigaan publik, menciptakan kesan bahwa ia telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Agus Salim, yang semula dipandang sebagai korban, kini menjadi contoh betapa mudahnya kepercayaan masyarakat dapat disalahgunakan. Kasus ini memperlihatkan bahwa meskipun tidak ada unsur korupsi secara hukum, penyalahgunaan kepercayaan publik dengan cara apapun memiliki dampak yang serupa dengan tindakan korupsi yang sering dilakukan oleh pejabat negara.

Dampak Sosial: Kepercayaan Publik yang Tergerus

Penyalahgunaan dana yang melibatkan figur publik semacam ini berdampak besar pada masyarakat. Salah satu efek paling nyata adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap penggalangan dana. 

Di tengah situasi krisis, solidaritas sosial sangat penting, namun semakin banyak orang yang skeptis terhadap niat baik dalam pengumpulan dana. Semakin banyak yang merasa bahwa donasi mereka bisa disalahgunakan, semakin sulit bagi mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan untuk mendapatkan perhatian.

Bila masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada sistem donasi, maka dampaknya akan lebih jauh lagi, yakni tergerusnya solidaritas sosial yang selama ini terjaga. Perasaan skeptis ini bisa menjadi penghalang dalam upaya membantu mereka yang benar-benar membutuhkan bantuan.

Menumbuhkan Kembali Integritas dalam Masyarakat

Lantas, bagaimana kita bisa memperbaiki budaya sosial ini? Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mengedukasi generasi muda mengenai pentingnya integritas, transparansi, dan anti-korupsi sejak dini. Pendidikan tentang nilai-nilai moral ini seharusnya dimulai dari keluarga, sekolah, hingga lembaga-lembaga yang lebih besar, agar pola pikir oportunistik bisa diminimalisir.

Pengawasan yang lebih ketat dan penerapan mekanisme transparansi dalam pengelolaan dana publik atau donasi juga sangat penting. Dengan adanya transparansi, masyarakat dapat melihat secara jelas kemana uang mereka disalurkan dan bagaimana dana tersebut digunakan, sehingga dapat mengurangi potensi penyalahgunaan.

"Kasus ini menjadi pengingat bahwa untuk memerangi korupsi secara menyeluruh, kita perlu memulai dari hal kecil: mengutamakan integritas dan transparansi dalam kehidupan sehari-hari."

Kasus Agus Salim, meskipun berfokus pada individu, mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam membangun sebuah masyarakat yang bebas dari korupsi. Jika korupsi adalah penyakit bangsa, maka setiap tindakan yang mencederai kepercayaan adalah gejalanya. Tidak peduli seberapa kecil skala penyalahgunaannya, dampaknya sangat besar pada kepercayaan dan solidaritas masyarakat.

Mungkin, perubahan besar bisa dimulai dari kita yang berani berkata jujur dan bertindak adil, meskipun hanya di level individu. Inilah saatnya untuk memperbaiki budaya korupsi di Indonesia, dimulai dengan tindakan yang paling sederhana: menjaga kepercayaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun