Mohon tunggu...
Sang
Sang Mohon Tunggu... -

www.sanggulmu.wordpress.com sangtraveler@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Perempuan yang Terobsesi pada Kasihnya

31 Desember 2015   03:56 Diperbarui: 12 Januari 2016   10:10 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menatapnya di antara dekorasi pita-pita, lampu warna-warni, dan malaikat-malaikat plastik yang bertebaran di dinding dan lantai gereja kayu ini. Matanya yang berbinar bersih benar-benar mengingatkanku pada Tina. Hidungnya, bibirnya, caranya melirik, caranya menarik bibir saat berpikir. Semuanya Tina banget. Indah memang. Tapi kuberi nama dia Lara. Karena semua tentang anak ini mengingatkanku hanya pada kepedihan. Setiap ingat itu, aku selalu nyaris menitikkan air mata, hal yang paling aku anti.

Tapi aku menangis bukan karena simpati pada Tina atau anaknya, tapi karena betapa lemahnya aku sampai tak mampu merubah pikiran sahabat masa kecilku itu. Tapi detik itu juga aku langsung mengingatkan diriku, Tina memang bodoh! Wanita paling nggak pakai otak yang pernah kutemui. Sudah berkali-kali kukatakan padanya untuk menjauhi lelaki yang sering menendanginya sampai babak belur itu, tapi Tina tak pernah peduli. Dia bertahan di sisi penjahat itu, bahkan membelanya!

“Kenapa aku harus meninggalkan dia?! Aku mau mencintai dia apa adanya! Aku nggak akan pernah ninggalin dia! Yesus aja nggak pernah ninggalin aku! Dia nggak ninggalin aku walaupun aku ninggalin Dia!

Itu-itu terus dijadikan alasan tiap aku mengingatkan Tina. Memang pernah ia menukar imannya untuk cinta. Sudah pakai bersaksi kemana-mana pula. Sudah bikin heboh orang sekampung. Sampai bapaknya yang tetua adat angkat parang nyaris membelahnya jika saja dia gagal melarikan diri. Tetapi sebuah mimpi suci menyelamatkannya kembali. Dalam alam maya itu, Kristus menemuinya dan memeluknya erat. Menyapanya dengan anggur yang selalu ingin diteguknya.

“Aku mengasihimu,” lembut suara itu dan pintu langit terbuka. Tina terbangun hanya untuk menemukan seekor burung merpati mematuk-matuk kaca jendelanya. Titik-titik patuk itu mengukir tanda hati. Pasti lah pesan dari surga.

Tak lama, bagai pahlawan kesiangan, asmara baru itu datang bersama seraut wajah kharismatik dan suara bagai Bapa memanggil anak-Nya. Dia mengingatkan Tina adalah orang pilihan. Bersama-sama mereka melayani Sang Raja di gereja yang sama. Tina terjerat cinta lagi, bahkan lebih kuat, dan yang sempurna. Karena cinta si pelayan mimbar itu tak pernah salah di matanya. Setiap Tina membantah, panah-panah firman yang bagai pedang bermata dua akan ditancapkan lelaki itu ke akalnya. Lebih baik tinggal di padang gurung daripada tinggal dengan perempuan yang suka bertengkar dan pemarah. Dan Tina tak ingin lelakinya meninggalkannya pergi ke padang gurun. Jadilah Tina kekasih yang manut dan lembut. Bila aku mengingatkannya, perempuan yang dimabuk cinta itu malah menasihatiku balik dengan petuah-petuah lebih menusuk.

“Kamu jadi wanita jangan terlalu duniawi,” katanya pelan dan terdengar bagai utusan dari langit. Wanita yang cakap seperti dia, kata yayangnya, ia lebih berharga dari permata. Pria itu telah menyulap Tina bagai wanita idaman ter-Amsal di antara gadis-gadis kosmopolitan.

Tina makin kagum dan mendalam. Dengan setia dan tanpa mengeluh sedikitpun diikutinya lelaki itu kemanapun dia diutus melayani umat. Ke desa di atas gunung, di tengah pulau yang sebutir obat sakit kepala pun sulit didapat, di antara massa kelaparan, korban banjir bandang, pengidap-pengidap kanker yang putus harapan, semua yang letih lesu berbeban berat. Puji dan kagum mengalir menyirami eksistensi wanita yang setia mendampingi lelakinya dalam susah dan lebih dari susah. Calon penolong yang sempurna. Sesempurna keahliannya menutupi lukisan biru-hitam-kemerahan di sana-sini tubuhnya.

Sampai suatu hari lelaki berdarah panas itu menendangnya dari anak tangga yang tinggi hingga jatuh ke lantai, mematahkan tulangnya, membentur kepalanya ke lantai marmer yang bagai besi dan membuatnya sampai memar otak, koma, dan nyaris mati. Bangun-bangun, oleh dokter Tina dinyatakan “miring” alias gila! Parahnya, setelah dinyatakan sedeng bersamaan didapati dia hamil. Dan tak ada lagi yang bisa disembunyikan. Begitulah kenapa Lara kini dalam asuhanku.

Sejak Lara lahir, aku yang menjaganya. Kutampung dia di istanaku bersama seorang pengasuh. Bukan, bukan karena aku menyayangi Lara. Atau karena dia anaknya karibku. Tapi hanya sekadar tanggung jawab moral membantu seorang sahabat saja. Aku gitu loh, yang aktivis perempuan, masa’ tega nggak melakukan perkara moral ini? Rasa kemanusiaanku terlalu tinggi untuk tidak melakukannya. Sebatas rasa kemanusiaan ya.... Nggak ada yang personal. Kalaupun ini terjadi sama pengemis nggak kukenal pun, aku akan tetap melakukan hal yang sama. Dan nggak pernah ada istilah hubungan ibu-anak antara aku dan anaknya si Tina ini. Lara kuperlakukan setara. Aku bahkan memintanya memanggil namaku. Aku nggak mau dia memanggilku mama, Ibu, bunda, tante atau tetek bengek sedemikian. Aku nggak mau dia lembek kayak ibunya. Aku mau dia dewasa. Tegar. Kuat.

Denting piano mulai bersyahdu. Lara sudah berdiri di tengah-tengah panggung, wajahnya yang dibuat serius siap menyanyikan kemulian Sang Al Maseh di hari nan penuh pengampunan. Aku malah sibuk mengintip layar gadget air-ku dan nggak sabaran menunggu telepon balik dari supir yang mendadak tadi sore tak bisa menjemput anak ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun