Mohon tunggu...
Macg Prastio
Macg Prastio Mohon Tunggu... Buruh - Blogger

Rakyat Konoha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revolusi Mental yang Radikal dan Minat Membaca di Indonesia

3 November 2023   10:52 Diperbarui: 3 November 2023   11:36 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pixabay/CDD20

Sebagian orang senang membaca, tetapi hampir semua orang Indonesia malas membaca. Mereka yang membaca biasanya hanya untuk kepentingan menulis. Dan mereka yang malas membaca, dalam arti lain, hanya disuguhkan informasi-informasi receh, di beranda HP mereka. Yang artinya informasi itu, hanya sekedar informasi, tidak mengajak orang untuk berpikir dan mencerna informasi tersebut.

Faktor apa yang menyebabkan orang Indonesia malas membaca. Apakah, orang Indonesia banyak yang sudah tahu segala hal, atau tema-tema yang diangkat, hanya yang itu-itu saja. Atau mungkin, banyak tema yang diangkat, sehingga orang kebingungan untuk mulai dari mana. Atau membaca hanyalah kegiatan yang membuang-buang waktu saja.

Menurut sumber data dari KOMINFO adalah, "UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!

Faktor pertama adalah media itu sendiri, maksudnya media yang berkecimpung dalam dunia kepenulisan. Media sekarang ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika ada suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat, media akan melayani terus keinginan masyarakat sampai informasi itu menjadi tidak diminati lagi. Parahnya lagi jika yang tersebar itu adalah informasi hoax. Ibaratnya media itu seperti sinetron yang terus mengejar jam tayang, sehingga mengabaikan kualitas bacaan.

Pada akhirnya tulisan atau bacaan bukan tentang kualitas, namun berapa keuntungan yang diambil dari kita membaca atau menulis. Sehingga menimbulkan kecurigaan kepada media atau penulis. Seberapa netral kah atau peduli, media dan penulis terhadap suatu informasi, artinya calon pembaca sudah tahu maksud ke mana arah tulisan itu. Jika ia tahu, maka buat apa ia harus capek-capek membaca.

Bacaan di Indonesia sudah menjadi budaya pop. Lebih banyak bacaan yang bersifat informatif, dibandingkan bacaan-bacaan yang berpengetahuan. Berita-berita selebriti dan politisi, lebih banyak dari bacaan tentang, kemanusiaan atau paham tentang politik itu sendiri. Sehingga, orang bicara tentang hubungan manusia seenaknya dan berbicara politik itu kotor atau tipu-tipu, tanpa tahu politik itu dasarnya seperti apa.

Faktor kedua adalah, tekanan hidup yang dialami sebagian masyarakat Indonesia. Mereka tidak punya waktu untuk membaca, sementara cicilan menumpuk di kepala. Sehingga mereka butuh hiburan yang receh, hanya untuk membuat mereka terhibur dan melupakan sejenak masalahnya. Bukan hanya video semata, tapi bacaan juga terpengaruh, karena mereka malas mencerna bacaan-bacaan yang mengajak mereka untuk mengeluarkan energi dan fokus.

Tekanan hidup yang didapat masyarakat adalah, ditentukan dari maju atau tidaknya negara tersebut. Apakah orang harus membaca supaya negara maju. Ataukah, kita menunggu negara harus maju dahulu, baru kita rajin membaca. Padahal menurut KOMINFO, Indonesia memiliki infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia di atas negara-negara Eropa. Ada baiknya negara memperbaiki kualitas hidup rakyatnya terlebih dahulu, dari pada sibuk membangun kualitas infrastruktur membaca.

Faktor ketiga adalah pemerintah. Pemerintah harus turun tangan terhadap tindakan-tindakan yang diskriminatif, yang di lakukan sejumlah orang. Mereka menyita buku, tanpa tahu seperti apa isi bacaannya. Buku-buku tertentu menjadi dilarang peredarannya, serta mereka menentukan apa yang dibaca oleh masyarakat. Jika mereka punya tujuan yang baik, mengapa mereka tidak membuat buku yang membantah buku yang mereka sita.

Kebebasan berpendapat harus dipertanyakan ulang. Apakah kita berpendapat sesuai keinginan dan kebutuhan kita, atau sebaliknya berpendapat untuk keinginan dan kebutuhan negara. Ataukah pemerintah bisa mengatur rakyat dengan aturan-aturannya, tapi pemerintah takut jika rakyatnya membaca buku yang tidak sejalan dengan pemerintahannya.

Apa yang ditawarkan untuk meningkatkan daya membaca, tidak secara masif namun bersifat individual. Dalam artikel-artikel yang tersebar di internet, hanya bersifat mengajak orang-orang bagaimana menumbuhkan minat membaca. Saya pikir itu masih kurang, meskipun itu masih tetap bagian penting untuk mengajak masyarakat untuk membaca.

Kelemahannya, bagaimana jika orang memang tidak berminat. Jika ia berminat, mengapa ia harus membaca artikel minat membaca. Terkecuali artikel tersebut memberikan tips membaca, kepada orang yang sudah minat untuk membaca, agar supaya tetap konsisten. Lalu bagaimana cara mengajak orang yang memang tidak ada minat untuk membaca.

Solusi yang ditawarkan penulis adalah, revolusi mental secara radikal. Bukan revolusi mental yang sering kita dengar. Revolusi mental seperti itu terkesan membeo dan hanya sebatas wacana. Gaung revolusi mental tersebut hanya sekedar nama saja, padahal sama saja dengan hal-hal yang sudah biasa diajarkan oleh para guru dan orang tua, belum ada perubahan yang signifikan atau sesuatu yang benar-benar menggebrak.

Pemerintah, guru, dan orang tua harus menerapkan revolusi mental yang radikal. Bukan hanya sekedar mengajar tindakan yang disiplin, menghormati orang yang lebih tua, atau jangan berbohong dan lain sebagainya. Ini yang saya katakan membeo, para siswa atau anak dipaksa begitu saja dengan aturan yang ada, tanpa ada proses berpikir yang diajarkan mengapa tindakan itu perlu dilakukan.

Pemerintah harus menyediakan buku bacaan untuk semua tema. Jangan ada mengkotak-kotakkan jenis judul buku atau bacaan lainya. Kejadian yang sering kita lihat adalah, adanya penyitaan buku secara paksa. Mungkin yang menyita masih belum membaca kata pengantarnya.

Apakah mereka yang menyita itu, melakukan atas inisiatif mereka sendiri, ataukah di balik itu pemerintah mendukungnya. Agar kekuasaan para politisi tidak disentil oleh buku-buku berhaluan kiri. Persis apa yang saya katakan pada awal paragraf ini, bahwa tidak ada buku yang tidak ada anti tesisnya. Maka dari itu semua tema buku dan genre buku, harus dicetak dan disebarkan seluas-luasnya.

Dan peran guru dan orang tua adalah ujung tombak untuk bisa mengajak siswa dan anak mereka agar rajin membaca. Biarkan anak-anak menentukan tema apa yang dibacanya tanpa ada paksaan. Tugas guru dan orang tua hanya mengawasi mereka. Hanya kelemahan di sekolah adalah, kurangnya tema-tema buku yang berkualitas, lebih banyak hanya buku-buku pelajaran saja. Namun kembali lagi pada pemerintah yang menyediakannya.

Suatu peran yang krusial dari guru dan orang tua adalah, mengawasi mereka membaca. Bukan pada apa yang mereka baca, namun pada lebih mempertanyakan isi buku tersebut. Sekalipun buku pelajaran, kitab suci, atau komik-komik, tetap bisa dipertanyakan. Adalah pentingnya berdialektika, jika anak atau siswa sangat berminat terhadap buku tersebut. Guru dan orang tua bisa menjadi sebagai anti tesis dari apa yang ia pahami dari bacaan tersebut.

Hemat saya kurangnya minat membaca adalah, kurangnya bacaan yang bersifat mengajak seseorang untuk mempertanyakan. Terkesan seperti menyuapi pembaca, bahwa apa yang ada dalam isi buku tersebut bersifat pasti. Artinya tidak ada tantangan untuk pembaca, ambil contoh, mengapa novel-novel dan komik-komik paling banyak diminati, itu karena pembuatnya selalu membuat pembaca penasaran akan kelanjutannya ceritanya.

Akhirnya semua keputusan berada pada tangan kita. Apa yang kita percayai, apakah hanya sebatas wacana saja ataukah hanya kemasannya saja tapi pelaksanaannya tetap sama. Jika tidak ada perubahan yang terlihat, maka kita sebagai individu yang berkesadaraan, bergerak sendiri di bawah bayang-bayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun