Aku tatap kembali halte bus diatas trotoar bisu ini, disini tempatmu mengucap perpisahan, meski hanya sementara -katamu!- tak membuatnya cepat hilang dari ingatanku. Kucoba menguatkan hati, memejamkan mata untuk kemudian kubuka kembali dengan bulir-bulir bening mengalir diantaranya. Aku masih mengingatnya, senyuman itu, wajah sendu itu, serta tatapan teduhnya, semua tentang kamu. Kamu yang harus berbalik arah meninggalkan jejak-jejak yang sudah sempat kita lalui, untuk pergi dan meraih apa yang Kau sebut itu mimpi.
Tak pernah kubayangkan jika menahan rindu itu sesakit ini, kenapa dulu aku membiarkanmu pergi meninggalkanku disini. Tapi, argh… tidak! Tidak! Menahanmu disini adalah perbuatan egois. Hai kamu, kamu yang telah membiarkan cinta diam dalam dekapan rindu, kamu yang pergi saat cinta pertama kali kunyatakan, apa kabarmu hari ini? Masihkah cintamu untukku? Aku masih menunggumu disini, aku merindukanmu, Bee.
=====
Sahabat kecil dengan rambut poni kuda, terkadang menangis manja meminta Bundanya menemani dikelas, yang sering jadi bahan keusilanku dikelas, tas punggung berkarakter Kartun Favoritnya “Doraemon” membuat Dia semakin mudah dikenali, tak jarang Aku mengolok-oloknya dengan sebutan “ondel-ondel pasar nyamuk” karena bedak di wajahnya seringkali tidak merata. Entah berapa banyak keusilanku yang mungkin membuatnya kesal, namun tak sekalipun Dia marah.
Rumah kami berdekatan, oleh karena itu. Selain berteman di sekolah, kami juga berteman akrab dirumah. Sifatnya yang cuek dan sedikit tomboy, membuat Dia lebih sering bermain bersama anak-anak laki-laki.
Riyadatul Aisy, demikian gadis aneh itu memiliki nama.
Tapi... itu dulu, Aisy kini tumbuh menjadi remaja cantik yang feminin, tak heran jika dia banyak didekati remaja lelaki sebayanya. Tapi mereka semua tak membuat Aisy tertarik, ingin fokus pada pendidikan begitu katanya alasan dia tak menerima satupun cinta yang datang kepadanya.
=====
Malam semakin larut ditandai dengan hembusan angin yang bertiup dingin menusuk kulit. Hanya itu, hembusan angin dan gemerisik daun-daun yang saling bergesekan menemani malam Aisy kali ini untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an, sayup-sayup kudengar suara merdunya ketika melantunkan ayat-ayat suci itu, karena rumah kami hanya berjarak beberapa jengkal tanah. Ini adalah rutinitas malam yang mampu membawa ketenangan pada hati siapapun yang melakukannya, ayat demi ayat dia lantunkan dengan suara yang begitu lembut dan merdu di dengar. Cukup lama dia tertegun, bermuhasabah dan bertadabur pada rangkaian-rangkaian suci itu.
“Assalamu’alaikum..” Kuketuk perlahan pintu rumah Aisy, agar tidak terlalu berisik dan mengganggu tetangga lain yang mungkin sudah beranjak ke peraduan malam.
“Waalaikumsalam.. Eh Raihan... Masuk, sebentar Bunda panggilkan Aisy!” Sosok wanita paruh baya, wajahnya masih terlihat cantik meski kerutan-kerutan sudah mulai tampak disekitar wajahnya, dia orang yang melahirkan dan membesarkan Aisy dengan penuh cinta.
“Eh... Gue udah dapet surat kelulusan, dan Gue LULUS!” Pekik kegirangan Aisy yang masih mengenakan atasan mukena dikepalanya, berjalan dari kamarnya menuju ruang tamu.
“Alhamdulillah... Gue Juga... hahaha” Aku menimpali dengan tidak kalah kegirangan, lalu kami berjalan menuju teras rumah Aisy.
“Bee... waktu berjalan tanpa terasa ya?! Rasanya baru kamarin Gue lihat poni kuda Lo yang cetar itu jadi gunjingan temen-temen sekelas waktu SD.”
“Sekarang kita udah lulus SMA, sebentar lagi kuliah, kerja, dan kita akan punya kehidupan masing-masing.” Ucapku dengan kepala menengadah ke langit, memperhatikan bintang-bintang yang berkelip.
“Aahh.... Raihan... Kok ngomongnya gitu, Gue jadi sedih!” Aisy menjulurkan tangannya, lalu menggenggam jemariku kuat-kuat. Genggaman yang sama, yang sering Aku rasakan saat akan menyebrang jalan bersama-sama sejak SD dulu. Tapi kali ini ada rasa yang berbeda, ada detakan jantung yang bergerak lebih cepat dari biasanya saat Dia menggenggam tanganku.
Tersembunyi, namun hatiku tetap malu. Saat ingin kukatakan padanya tentang debaran yang kian terasa.
“Raihan... Gue boleh tanya sesuatu ngga?” Aisy mendekat, lalu mengalihkan pandangannya kearah wajahku, membuat kami saling beradu pandang.
“Tanya Apa?”
“Kenapa sih Elo panggil Gue dengan sebutan -Bee-?” Aisy menatap mataku, dalam. Kuutas selembar senyum dihadapannya, lalu kucoba menjawab apa yang menjadi pertanyaan dalam pikirnya.
“Lebah itu kokoh, mandiri dan percaya diri, penuh kharisma dengan sengatannya saat dia mempertahankan diri. Demikian definisiku tentang kamu bee. Sebab itu aku menjulukimu -Bee-!”
“Waahhh.... So Sweet...” Matanya berbinar-binar, bola matanya yang indah memancarkan keceriaan.
“Eh... tunggu.. tunggu... Elo kok jadi Aku-Kamu gitu sih, Hahaha!”
“Bee... Tau ngga, kata orang jodoh kita itu sebenarnya berada tidak lebih dari radius 64 km disekitar kita!”
“Oh... Iya... Iya... Gue pernah denger tuh, berarti bisa jadi jodoh Lo Mbak Parti tukang jamu yang ada didepan Gang itu ya?! Hahaha..” Tawa renyah itu membuat jantungku berdetak semakin kencang, lagi dan lagi.
“Hahaha... dasar Loe!”
“Bee... Gue ngga tau jodoh Gue siapa dimasa yang akan datang, tapi Gue ada satu nama yang Gue harap bisa jadi jodoh Gue kelak.”
“Memangnya siapa?” Berkerut dahi Aisy penuh tanya.
“Kamu mau tau?” Jawabanku malah membuatnya semakin penasaran
“Siapa?”
Kuhela nafas panjang, lalu mengeluarkannya perlahan. Kugenggam lagi jemarinya erat, kutatap matanya, dalam.
“Jawabannya ada dikata pertama kalimatku barusan!” uraiku sambil tersenyum.
Aisy kembali mengerutkan dahi, sedikit berpikir, sebelum kemudian sadar dengan maksud ucapanku tadi.
“Ihh... Raihan, apaan si?! Becanda Lo ngga lucu deh!” Aisy tampak sedikit gusar dengan jawabanku tadi.
“Aku serius Bee..” Kucoba meyakinkan, meski Aku tahu Aisy bukan wanita yang mudah takluk oleh kata-kata.
“Tapi... Kita Kan...” Ucapnya tertahan.
“Apa?”
“Teman?”
“Sahabat?”
“Memangnya ada yang salah jika dua orang sahabat saling jatuh cinta?” Kucoba meyakinkan lagi, berharap apa yang aku rasa juga berbalas rasa.
“Iya... tapi sejak kapan Raihan... Bukankah selama ini kita nyaman dengan kondisi seperti ini? Saling menyayangi sebagai seorang sahabat, tidak lebih?!”
“Ucapku bisa berkata begitu Bee, tapi hati aku tidak. Aku tak mau terus membohongi perasaan!”
Aisy memalingkan badannya membelakangiku, kepalanya tertunduk, entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikirannya.
“Hufht... Baiklah Raihan, harus kuakui Aku juga memiliki rasa yang sama. Hanya saja aku menganggap hubungan persahabatan kita jauh lebih berarti.”
Jawabnya sedikit memberiku rasa lega.
“Aku tau Bee... Aku janji tidak akan mengotori hubungan baik yang sudah kita jalin sejak kecil dulu.”
“Bukan Cuma itu Raihan... Sepertinya kita juga harus sedikit bersabar.”
“Maksudmu Bee?”
“Aku diterima diperguruan tinggi negeri di Jogja, mungkin selama masa kuliah aku akan menetap disana!”
“Oh ya?”
“Selamat ya Bee.”
“Tentu saja aku akan bersabar, karena hakikat mencintai sesungguhnya bukan untuk memiliki atau dimiliki, bukan tentang pantas atau tidak pantas, tapi tentang keikhlasan dan istiqomahnya pengorbanan, karena -Cinta Adalah Kata Kerja-”
“Kamu gapai mimpi-mimpimu disana, Aku kejar cita-citaku disini. Semoga Allah mempertemukan kita kelak dalam bingkai Sakinah,. Aamiin.”
“Aamiin”
Seuntai senyum menghias manis dibibirnya, kerlip bintang dan sinar bulan menghiasi mimpi sepasang sahabat yang saling jatuh cinta.
=====
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H