Mohon tunggu...
Sang Pengelana
Sang Pengelana Mohon Tunggu... -

Berkelana dari waktu ke waktu untuk mencapai kehidupan yang lebih baik lagi. Mengejar impian tak akan pernah berakhir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Milikilah Aset Produktif sebanyak mungkin, Jangan hanya Aset Konsumtif

16 September 2017   20:54 Diperbarui: 16 September 2017   20:59 4405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : bisnisdaricar3i.weebly.com

Dulu saya cuma geleng-geleng kepala.

Bagaimana tidak geleng-geleng kepala, melihat Ronny (nama samaran) membeli sepeda motor seharga 55 juta.

Saya membayangkan, seandainya saya mempunyai 55 juta, maka saya bisa mempunyai sekitar 3 sepeda motor di tahun itu.

Atau bisa untuk uang muka beli rumah atau usaha.

Nah, ini 55 juta hanya untuk satu sepeda motor.

Dan dia punya tiga sepeda motor yang kalau ditotal, jadi lebih dari 100 juta rupiah.

Itu sepeda motor dia pribadi.

Tidak ada anggota keluarganya yang memakai sepeda motornya.

Dulu saya pernah berkata kepadanya, "Kenapa uangnya gak dipakai untuk investasi aja, Ron? Untuk beli tanah lagi misalnya. Lalu dibangun rumah bangsalan disitu, sehingga setiap bulan dapat penghasilan pasif dari sana. Memberi penghasilan sembari nunggu rumah jualanmu laku."

"Aku kepengin punya ini sih, Bro," begitu dia beralasan.

Cuma itu yang ada di pikiran Ronny.

Setelah itu, waktu berlalu begitu rupa sampai-sampai segala sesuatu menjadi kebiasaan Ronny.

Kebiasaan membeli barang-barang yang sebenarnya tidak terlalu perlu.

Sekarang semuanya berbeda.

Setelah menikah dan punya anak, Ronny malah menjual motor-motornya tadi, karena kebutuhan hidup sehari-hari, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, dia terpaksa mengenyampingkan kesukaannya.

"Rumah-rumah yang sudah jadi belum laku semuanya. Sudah dua tahun. Jadi, supaya ada duit, ya kujual motor-motor ini."

Nah, itulah kehidupan.

Apakah mempunyai sepeda motor mahal itu salah?

Apakah menggunakan smartphone canggih terbaru itu salah?

Apakah membeli mobil secara kredit itu salah?

Semuanya tidak salah, namun lebih baik berpikir panjang sebelum membeli.

Apakah itu kebutuhan atau keinginan?

Sebagai contoh, saya mempunyai bisnis online.

Tentu saja, saya harus punya smartphone yang mendukung aktivitas berbisnis online saya.

Kisaran harga berapa yang perlu kita keluarkan?

Menurut analisis saya waktu itu, harga smartphone antara 2 sampai 3 juta sudahlah cukup untuk berbisnis online.

Paling tidak, bisa menjalankan instagram, facebook dan media-media sosial lainnya secara bersamaan.

Namun yang terlebih penting adalah memiliki aset produktif, yaitu aset yang bisa memberikan penghasilan meskipun Anda tidak bekerja.

Misalnya?

Rumah kontrakan, kos-kosan, bisnis offline (rumah makan, kafe, toko bahan bangunan, dll), dan masih banyak lagi.

Bisa juga aset produktif digital, semisal Anda memonetisasi blog Anda dengan iklan dari Google Adsense atau akun YouTube Anda sebagai sumber penghasilan bagi Anda.

Saya sampai sekarang bingung dengan pola pikir teman saya yang lain, sebut saja Fandi, menyangkut masalah 'melarat' atau menurun kualitas hidup setelah resign dari pekerjaan.

"Paling tidak, saya masih punya mobil setelah resign. Jadi nggak kelihatan penurunan drastis kualitas hidup, karena mobil masih di tangan."

Saya mengerenyit, mengerutkan dahi waktu mendengar perkataan Fandi.

Kok bisa dia berpikiran sempit seperti itu!

Apakah mobil melambangkan simbol kemakmuran?

Padahal mobil yang dipunyai masih dalam proses kredit kepemilikan!

Saya melihat para orang sukses nan kaya tidak mementingkan soal ada mobil atau tidak.

Mereka lebih memikirkan bagaimana aset produktif mereka semakin bertambah dengan membuka bisnis baru, membangun rumah kos-kosan, membeli sarang burung walet, atau berinvestasi bareng teman di bidang bisnis kuliner atau yang sejenis.

Dan yang terlebih penting, bermanfaat bagi orang lain juga.

Mobil, meskipun sudah butut, kalau masih berfungsi dengan baik, bagi mereka sudah cukup.

Bukan mobil yang membuat kita bergengsi, namun yang membuat kita bergengsi adalah aset yang kita punyai, sehingga kita bisa bebas waktu dan bebas finansial.

Begitu kalimat dari salah seorang pengusaha yang saya kenal di Samarinda.

Secara finansial, dia mempunyai ragam usaha, mulai dari bisnis kuliner (kafe, bakery), event organizer, mini market, toko sepatu, sehingga dia bisa mendapatkan banyak penghasilan dari berbagai sumber.

Sudah lebih dari sepuluh tahun, dia berbisnis, dan semakin lama semakin besar bisnisnya.

Berarti, dia bisa mengelola keuangan dengan baik, dan kesemua bisnisnya bisa berjalan lancar dan memberikan profit keuntungan bagi dia.

Bebas waktu?

Otomatis, dia mendapatkan kebebasan secara waktu, karena secara finansial, dia sudah mapan, dan semua bisnisnya sudah autopilot.

Ada pegawai-pegawai yang membantu dalam mengelola, sehingga otomatis, dia bisa tenang meninggalkan bisnisnya, meskipun dalam waktu yang lama.

Intinya, janganlah lupa, bahwa kita hidup cuma sekali di dunia ini, dan kemampuan kita, kekuatan kita dalam bekerja tidak akan berlangsung lama.

Kalau sudah tua, kita pun tak akan kuat untuk bekerja keras seperti waktu muda.

Jadi, mumpung masih muda dan kuat, sisihkan pendapatan Anda, jika Anda seorang karyawan, mulailah berbisnis, sehingga seandainya Anda sudah tidak menjadi karyawan lagi, Anda mempunyai sumber penghasilan untuk kehidupan Anda selanjutnya.

Selain itu, daripada membeli barang-barang elektronik, semisal televisi, lebih baik Anda menabung uang tersebut, untuk membeli logam mulia, seperti emas batangan, karena nilainya akan tetap terjaga, malah bisa naik di waktu mendatang.

"Kelihatan keren waktu menunggang moge atau mengendarai mobil mewah? Untuk apa, kalau untuk hidup sehari-hari saja, Anda masih menadahkan tangan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun