Mohon tunggu...
Sang Pengelana
Sang Pengelana Mohon Tunggu... -

Berkelana dari waktu ke waktu untuk mencapai kehidupan yang lebih baik lagi. Mengejar impian tak akan pernah berakhir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesan Singkat yang Menyesatkan

10 September 2017   22:37 Diperbarui: 10 September 2017   22:41 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi : media viva

Kadang-kadang mendapat pesan singkat, entah dari SMS, BBM, WA, Line, telegram atau aplikasi perpesanan instan lainnya membuat kesalahpahaman.

Seperti halnya malam ini, saya mendapat pesan WA dari teman guru yang berbunyi, "Selamat malam. Saya B.Mira."

Saya pikir, "Apa salah saya ya? Ini pasti serius."

Kadang-kadang saya berasumsi yang tidak-tidak apabila membaca pesan singkat yang 'menggantung' seperti ini.

Apa cuma sekedar tes atau say hello?

Atau ada yang mau ditanyakan?

Atau ada masalah?

Ternyata waktu besok paginya, ketakutan-ketakutan diatas tidak terbukti.

Dia hanya menanyakan soal murid-muridnya yang mungil-mungil dan berasumsi kalau mereka nakal waktu saya mengajar.

"Tenang, Bu Mira. Aman terkendali. Murid-murid Anda oke saja."

Itulah susahnya kalau membaca pesan singkat.

Terlalu singkat, padat tapi tak jelas ^_^.

Di era sekarang ini, makin banyak orang yang malas untuk bertemu muka, apalagi sekedar keluar rumah ke warung terdekat.

Berbagai kemudahan di internet secara online, menyebabkan banyak orang menggunakan aplikasi di smartphone untuk mempermudah segala sesuatu.

Salah satunya, berbelanja, atau membeli barang secara online.

Akibatnya?

Selain gerak tubuh yang sangat kurang, juga yang membuat saya miris adalah karena kehidupan para warga Indonesia, terutama generasi Y (generasi usia dua puluhan) dan Z (generasi usia enam-tujuh-sepuluh-dan belasan tahun) sangatlah terpaku dengan gadget-gadget, seperti smartphone dan laptop, sehingga terlihat mereka tak bisa hidup tanpa kedua gadget tersebut.

Kalau digunakan untuk tujuan positif seperti mengetik artikel seperti yang saya lakukan sekarang ini atau untuk membaca ebook-ebook yang bermanfaat, itu tidak jadi soal.

Namun apabila digunakan untuk hal-hal yang tidak produktif dan membuang-buang waktu, seperti membuka laman facebook dan membaca hal-hal yang tidak penting, melihat-lihat foto-foto di instagram tanpa tujuan jelas, kepo-in twitter artis, men-share artikel-artikel hoax atau yang sebangsanya; semua kegiatan-kegiatan diatas sangatlah menyita waktu dan tidak menghasilkan apa-apa yang positif.

Akibat dari perbuatan-perbuatan non produktif itu sangatlah kental terlihat, terutama waktu mengirim pesan singkat seperti wacana di awal artikel ini.

Kurangnya membaca panjang dan hanya membaca pesan singkat atau kalimat headline di awal artikel di media sosial adalah kecenderungan saat ini di era teknologi informasi canggih seperti sekarang.

"Nggak sempat baca, Pak. Banyak kerjaan."

Itu adalah alasan klasik yang sering saya dapatkan dari banyak orang yang mengatakan 'sibuk', tapi untuk menonton teve sampai tiga jam nonstop masih ada waktu ^_^.

Saya rasa, ini bukan dagelan yang lucu.

Kalau memang ada niatan untuk maju, berkembang ke arah yang lebih baik, mengembangkan diri, khususnya kompetensi diri sendiri, membca dan menulis merupakan keharusan, must-to-do activities.

Apa pun profesi Anda, Membaca dan Menulis adalah kunci-kunci Anda menuju sukses.

Sehingga ketika berkomunikasi dengan orang lain, kesalahpahaman tidak terjadi.

Namun, yang pasti kita sebagai bangsa, sudah seharusnya meninggalkan budaya lisan yang bersifat merusak, seperti gosip.

Kenapa saya berkata begitu?

Karena sudah cukup jelas kalau kita melihat tayangan televisi, program-program acara yang bertengger lama adalah program infotainment dan sejenisnya.

Sangat tidak mendidik dan terlalu ingin tahu urusan orang lain, padahal keluarga yang seharusnya lebih diperhatikan.

Tingkatkanlah budaya baca, supaya wawasan kita menjadi terbuka.

Seperti ada suatu kalimat bijak yang berbunyi, "Buku adalah Jendela Ilmu', maka sudah seharusnya kita gemar membaca.

Sayangnya, saya belum berkesempatan untuk singgah ke Jepang, namun saya pernah membaca di beberapa koran, majalah atau artikel-artikel di berbagai situs dan media online /daring kalau Jepang, menjadi sukses luar biasa sampai saat ini, dikarenakan karena gemar membaca dimana pun dan kapan pun.

Kesadaran akan pentingnya membaca buku dipicu oleh Kaisar Hirohito, setelah Perang Dunia II yang menyebabkan kelumpuhan dan jatuhnya perekonomian dari bangsa Jepang karena kekalahan dari Sekutu.

Mereka bisa mengejar ketinggalan mereka karena kesadaran yang tinggi bahwa pendidikan adalah kunci bagi mereka untuk bangkit kembali menjadi bangsa yang berhasil, dan sekarang mereka menuai hasilnya.

Segala sesuatu yang ada di dunia ini hanya bersifat sementara, tapi apabila berinvestasi 'leher ke atas', akan tetap ada,abadi dan tak mungkin bisa dicuri orang.

Dan yang terlebih penting adalah budaya tulis.

Karena budaya tulis mempunyai korelasi dengan budaya baca.

Makanya timbul kesalahpahaman sewaktu membaca sms atau pesan singkat, dikarenakan kurangnya membaca dan tidak adanya kesukaan menulis.

Menulis pun ketrampilan, seperti halnya berenang, memainkan piano, menjahit dan lain sebagainya.

"Saya tidak bisa menulis. Saya mah apa atuh."

Ini salah satu alasan dari berbagai alasan yang biasa dilontarkan.

Saya tidak mau mendebat orang yang memberi alasan sejenis ini, karena kalau menurut pengamatan saya, mereka belum menyadari pentingnya menulis bagi hidup mereka.

Saya sendiri, setelah jatuh bangun beberapa kali, kadang menulis, kadang tidak, sekarang mendisplinkan diri untuk menyediakan waktu minimal satu jam perhari untuk menulis.

Menulis apa saja.

Selain saya ingin menerbitkan novel sebelum saya mati, juga saya ingin menggunakan hal menulis sebagai alat terapi, melepaskan kegalauan hati, kepenatan hidup, atau pun untuk memuji kebesaran Tuhan yang wah dan ajaib,karena masih diberikan kesempatan untuk hidup satu hari lagi.

Menulis, dengan bebas, melepaskan uneg-uneg di kepala, dan mem-postingnya di kompasiana atau blog dengan nama samaran, sangatlah membantu melepaskan ketegangan.

Di saat orang lain tak mau mendengar, saya menuangkan dalam bentuk tulisan.

Ini berimbas pada cara saya berkomunikasi.

"Wah, kalau ngomong sama bapak kok enak ya. Nyambung."

Ini salah satu komentar dari beberapa kenalan, setelah berbincang dengan saya.

Bahkan dalam menulis pesan singkat, saya menulis dengan kata-kata lengkap, bukan singkatan.

"Saya tidak ingin ada kesalahpahaman si pembaca waktu membaca pesan saya."

Begitulah alasan saya waktu ada yang menanyakan soal kelengkapan atribut SPOK dalam pesan singkat saya ^_^.

Kesalahpahaman dalam menginterpretasikan dan menyampaikan pesan?

Tidak lagi, karena membaca dan menulis sudah menjadi kebutuhan sehari-hari bagi saya.

Samarinda, 7 Agustus 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun