Kasus Asia Sentinental yang menjadi fitnah terhadap SBY. Tudingan yang menusuk sisi manusiawi sebagai makhluk beradab. Dan beberapa pemberitaan, argumentasi, opini baik dari berbagai "opinion leader" maupun masyarakat yang tidak melakukan klarifikasi adalah kejahatan.
Sikap memaafkan adalah sikap kelapangan berfikir dan keluasan hati SBY. Sikap pribadi yang telah dewasa. Sikap seorang negarawan dan seorang Ayah dan kakek, dan seorang politisi lintas negara.
Sedangkan disisi hukum yang dilanggar, maka hukum tetap berlaku. Kedaulatan hukum menjadi panglima penegakan keadilan bagi pelanggar. Tidak memakai helem bagi pengendara mesti ditilang oleh Polisi lalu lintas.
Permainan isu, ujaran kebencian, hoaks, kampanye hitam. Apakah ini menjadi pembelajaran baik bagi demokrasi yang berideologikan Pancasila?. Mari kita bertanya kepada diri kita sendiri dan juga ajaran agama yang kita anut dan yakini.
Adakah ini termasuk suruhan, atau larangan. Kenapa pikiran dan tangan bersepakat? Pertanyaan ini butuh kejujuran dalam diri kita. Kejujuran yang mesti menjadi benteng bagi setiap manusia Indonesia.
Demokrasi yang kita gunakan hari ini, bukanlah demokrasi bebas sebebasnya. Tanpa memperdulikan hak orang lain. Berbeda pilihan adalah keniscayaan. Sedangkan menebar fitnah dan membongkar aib dan menjadi ladang pencarian adalah memelihara dan mengajarkan kerusakan akal budi yang menjadi ketidakelokan demokrasi yang menjadi budaya bangsa.
Sikap seseorang pemimpin, setidaknya dapat didengar dari ucapan langsung, kebijakan yang digulirkan melalui UU, Peraturan Pemerintah, Program dan keberpihakan.
Sikap kejujuran mengakui keadaan diri dan realitas masyarakat adalah modal pemimpin untuk memandu masyarakat ke arah yang lebih baik, lebih elok. Resonansi pikiran dapat dirasakan dan dimegerti bila nurani dan akal budi masih hidup.
"Di negara manapun, termasuk di negara kita pemilihan umum sering melahirkan jarak. Ada kompetisi yang kadang-kadang keras, kadang-kadang saling menyerang dalam tanda kutip untuk kemenangan pemilihan umum."
Inilah kejujuran membaca realitas dari Presiden Republik Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono.
Dari kejujuran, maka menggerakkan kesadaran untuk melakukan banyak hal dalam perbaikan berkesinambungan. Tuntunan yang secara sadar menjadi pemimpin masyarakat atau dianggap pemimpin oleh masyarakat melalui mekanisme politik, sosial mesti menyiapkan kelapangan hati, keluasan berfikir dan cita-cita yang menginspirasi lintas generasi.
"Pemimpin baik pada tingkat nasional maupun tingkat pada tingkat daerah, baik pemimpin formal maupun pemimpin tidak formal harus lebih berkorban membimbing rakyat, menunjukkan arah kemudian dalam suka dan duka ia juga merasakan, memberi contoh bahkan dia harus mengorbankan waktunya, mengorbankan tenaganya, mengorbankan pikirannya untuk mencapai tujuan."
Keniscayaan menuai kritik adalah pembentukan karakter pemimpin. Penempaan hidup untuk tetap berada dalam koridor moral dan etika. Bila pemimpin sedikit saja oleng dan tergelincir. Maka masyarakat akan ikut dan menjadikan legitimasi untuk mengikuti kesalahan.
"Sebagai pemimpin, sebagai pejabat sering menghadapi kritik, kecaman di media massa, banyak tempat, itu juga menuntut ketegaran, kesabaran, karenanya kita tidak boleh berputus asa dengan semua itu. Saya kira itu juga merupakan bentuk pengorbanan yang mesti kita lakukan sebagai bagian untuk mencapai tujuan yang mulia."
Maaf-memaafkan harus kita lakukan. Manusia bijak, manusia yang arif adalah mereka yang selalu membuka hatinya untuk memaafkan kepada yang lain. Dengan memaafkan, ada kesadaran baru yang bisa menjadi awal bagi terbinanya persatuan yang lebih kuat yang pada akhirnya akan memperkuat tali persaudaraan anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H