Pertama, Akademisi yang berkutat tentang distribusi kekayaan dan kajian ekonomi berkeadilan. Kedua, Aktivis yang menyuarakan keadilan bagi seluruh rakyat Indoneisa. Ketiga, Aparatur Sipil Negara yang dulunya PNS sebagai pelayan masyarakat pengusaha dan buruh. Keempat, Masyarakat yang memiliki negara yang terlahir sebagai bangsa Indonesia.
Bila tidak, maka akan terjadi konflik yang mengakibatkan kehancuran ekonomi, sosial dan politik dalam satu kawasan. Maka logika sederhana seorang pengusaha, bila banyaknya lintah yang menggerogoti usaha, ditekan sedemikian rupa dengan kebijakan yang tak berkeadilan. Termasuk susahnya melakukan kemitraan strategis untuk saling menguntungkan antara buruh dan pekerja. Pilihan terbaik adalah memindahkan lokasi pabrikasi ke tempat lain atau negara lain.
Titik kehancuran tetap pada masyarakat buruh, masyarakat sekitar yang mengalami goncangan ekonomi, sosial. Biasanya akan terjadi tingkat kejahatan yang meningkat, sebab kebutuhan hidup terus tanpa jeda. Belum termasuk menghidupi gaya hidup yang jauh dari daya hidup.
Di mana kita mesti ikut dalam memperbaiki persoalan ini? Pilihan demi pilihan terhampar jelas di depan mata. Bagi pemerintah yang menikmati pendapatan dari pajak upah dan pajak lainnya, maka dialokasikan untuk kebutuhan dasar masyarakat buruh dan sekitar. Bagi pekerja, membangun konsensus kerja sama kemitraan dengan skema saling menguntungkan lewat mediasi serikat pekerja. Bagi pengusaha, mendapatkan ketenangan dalam membangun usaha, sebab jelas aturan dan kebijakan yang mampu memberikan kuntungan usaha, dan ikut serta dalam menggerakkan ekonomi satu kawasan.
Kecuali, bila penguasa telah mulai berpikir memeras pengusaha dan buruh. Maka pilihan tidak lain adalah perlawanan dengan berbagai cara. Termasuk membentuk pertemuan akbar sampai Istana untuk dapat menyampaikan aspirasi. Sebab di Senayan sana, anggota dewan provinsi. Kementerian Tenaga Kerja dan dinas terkait telah terduduk enak di kursi menikmati jerih peluh para pekerja lewat gaji bulanan.
Atau barangkali benar adanya seloroh sahabat tetangga yang bekerja di sebuah industri di Cibitung. Kami buruh ini tak lebih sama seperti mesin. Bila masanya telah habis, maka dapat digantikan oleh tenaga baru. Sedangkan keterampilan dan juga keberlanjutan anak kami sebagai anak bangsa cukup belajar membaca lewat televisi saja. Tanpa bisa menikmati bagaimana candradimukanya perguruan tinggi.
Kemiskinan itu tali-temali di tangan penguasa yang bejat dengan pengusaha yang nakal. Maka pekerja dan masyarakat sekitar menikmati kenestapaan nan panjang dari kenikmatan tak berbilang tahun.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI