Ilustrasi - geliat pertumbuhan ekonomi di pelabuhan (ABC)
Kebijakan Pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Jusuf Kalla menghantarkan berbagai terobosan. Menggunakan pendekatan nawacita warisan pemikiran ideologis Ir. Bung Karno untuk menjadikan Indonesia bangsa yang berdaulat, mandiri serta memiliki integritas bersama nilai gotong royong.
Proses pemikiran idologis konsepsional adalah rumusan para pemikir ideolog untuk membawa masyarakat kepada tatanan peradaban unggul dan disegani kawan dan lawan. Hal ini telah dimulai tapak-tapak peradaban oleh deklarator Negara Kesatuan Republik Indonesia IR. Soekarno dan Muhammad Hatta.
Indonesia yang masih berada dalam struktur masyarakat agraris harus melakukan lompatan peradaban. Lompatan ini dengan indah digambarkan oleh Yasraf Amar Piliang dalam bukunya sebuah dunia yang dilipat. Kultur agraris yang ditandai dengan masyarakat petani, berhadapan dengan generasi yang terdidik, melek industri dan juga digital. Maka meminjam istilah penulis dari Mesir dengan judul Harmoni Peradaban, perlu penyelarasan kemajemukan untuk masyarakat Indonesia.
Lompatan perubahan terasa dalam kehidupan kota, terutama kota yang merupakan kawasan industri berikat, seperti Cibitung, Cikarang, Bekasi, Tanggerang dan beberapa kawasan ekonomi industri baru yang dikembangkan 5 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Beberapa persoalan akan muncul ke permukaan. Beberapa areal tambang mineral sebagian masih menyisakan persoalan kerusakan lingkungan, kerusakan struktur ekonomi dasar dan perubahan sosial masyarakat. Bagi kaum akademis, kajian demi kajian hadir untuk mengurangi dampak kerusakan dan perubahan mendadak.
Sedangkan bagi masyarakat, perubahan ini terasa berat dan butuh penyesuaian ritme dan tradisi. Penulis pernah beberapa bulan tinggal di Cibitung, Bekasi. Denyut kehidupan masyarakat yang bekerja sebagai buruh pabrik memiliki sebuah ritme yang berbeda dengan masyarakat yang sebelumnya berkehidupan agraris.
Bila sebuah kawasan Ekonomi Industri terbentuk, akan terjadi urbanisasi besar-besaran dari berbagai pelosok. Magnet ekonomi kawasan industri menggiring pekerja berpendidikan untuk ikut serta terlibat dalam sebuah siklus ekonomi. Dan tidak tertinggal pemerintah daerah mendapatkan pajak yang signifikan dari berbagai elemen pajak.
Salah satunya adalah pajak penghasilan dan juga pajak lainnya terhadap pengusaha. Pada tulisan ini, akan dilihat bagaimana sebuah kawasan ekonomi industri memiliki sebuah siklus berkeadilan antara Pengusaha yang membangun kawasan industri, masyarakat sekitar kawasan, buruh industri dan termasuk pemerintah daerah yang menikmati pendapatan PAD dari Pajak.
Di mana ada gula, di sanalah semut berkerubung. Maka jangan sampai terjadi perebutan dan perampokan yang mengakibatkan hilangnya gula dari peredaran. Pepatah melayu ini menjadi acuan pemikiran kritis konstruktif untuk menjadikan Kawasan Ekonomi Industri dinikmati oleh seluruh elemen masyarakat.
Pengusaha membangun pabrikasi membutuhkan sumber daya manusia terlatih dan terampil. Kebutuhan ini mengikuti siklus produksi dan juga kapasitas industri. Kebutuhan ini tidak terpenuhi dengan masyarakat lokal tempat keberadaan kawasan ekonomi industri. Maka dibutuhkan tenaga kerja buruh dari berbagai tempat di Indonesia. Pilihan lain bagi pengusaha adalah ketersediaan infrastruktur dasar, seperti jalan yang memiliki daya tampung tinggi. Ketersediaan listrik dengan kapasitas besar. Dan beberapa kajian lainnya menyangkut daya dukung kawasan untuk membangun pabrik.
Sedangkan bagi pekerja buruh. Ini adalah jawaban untuk dapat melangsungkan kehidupan. Kehidupan yang mesti terus dijalani. Ketersediaan usaha, pekerjaan terutama masyarakat berpendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi yang dilahirkan oleh perguruan tinggi mutlak ada. Sebagian besar terserab dalam dunia industri. Sedangkan pemerintah daerah mendapatkan PAD baru dari berbagai elemen pajak.
Bila telah banyak orang di satu kawasan, kebutuhan meningkat, termasuk keinginan. Polemik terbesar adalah membangun hubungan harmoni berkeadilan antara Pengusaha dengan buruh dengan diskusi alat tentang skema gaji yang umum disebut dengan Upah Minimum Regional atau Daerah. Di satu sisi pemerintah menjadi bagian pengambil kebijakan untuk keberlangsungan kawasan ekonomi. Sedangkan masyarakat bisa menikmati cipratan ekonomi.
Maka dalam kawasan ekonomi industri, kita akan melihat berbagai jenis usaha tumbuh berkembang di tengah masyarakat. Di antaranya kontrakan untuk pekerja yang berasal dari luar daerah, baik untuk individu maupun yang telah memiliki keluarga. Selanjutnya pasar yang menyediakan berbagai keperluan.
Namun, ironi berkeadilan dalam hubungan segi empat ini teramat jauh. Penelisikan dapat dilihat dari pergerakan cash flow pajak yang diterima oleh pemerintah daerah, provinsi, sampai pusat. Struktur perpajakan ini bisa dilokalisasi untuk kebutuhan dasar masyarakat pekerja atau buruh. Pertama untuk kepentingan perumahan murah bagi buruh. Hal ini bagian pekerjaan BUMN Perumahan Rakyat di bawah kementerian tenaga kerja. Skema yang mungkin dihadirkan adalah rusunawa bagi pekerja.
Kedua, cash flow dari pajak pekerja dan pengusaha dapat dialokasikan untuk kebutuhan sarana publik, berupa ketersediaan infrastruktur jalan, irigasi, transportasi. Kebijakan ini di bawah kementerian perhubungan.
Ketiga, cash flow dari pajak pekerja dan pengusaha dapat dialokasikan untuk pembangunan sarang pendidikan yang mampu memutus siklus kemiskinan pendidikan sebagai tanggung jawab negara mencerdaskan masyarakat Indonesia.
Keempat, masyarakat sekitar dapat menikmati aliran uang dari pekerja dan pengusaha dengan pengembangan kemitraan strategis dalam menghasilkan berbagai produk pendukung dan juga berbagai bidang usaha yang mampu mengurangi kejomplangan ekonomi.
Kelima, perubahan struktur pengupahan dan menjadikan pekerja sebagai mitra strategis dan taktis untuk sama-sama berkembang dengan perusahaan. Mengutip tulisan Hendri Teja dengan judul Revolusi Mental Perburuhan, bahwa cita-cita buruh memiliki saham perusahaan adalah keniscayaan membentuk sistem gotong royong antara pengusaha dan buruh.
Keenam, menghilangkan standardisasi upah minimum dan juga pungutan yang terkadang tidak menjadi bagian dari pembangunan kemanusian di sekitar kawasan ekonomi industri. Hal ini bisa ditelisik dari berbagai dialog terbuka yang melahirkan solusi kalah-kalah antara penguasa dengan serikat buruh.
Ketujuh, tanpa membentuk siklus keadilan ekonomi antara pengusaha dengan pekerja dengan skema bagi hasil dalam kepemilikan saham. Maka pengusaha dan termasuk penguasa daerah akan kehilangan sumber daya ekonomi beruapa cash flow, baik berupa pajak, retribusi, dan pergerakan ekonomi lainnya.
Berkaca dari membangun keadilan di kawasan ekonomi industri. Urun rembuk membentuk pranata undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri dan peraturan lainnya sampai tingkat bupati yang berkeadilan adalah tugas kita selaku.
Pertama, Akademisi yang berkutat tentang distribusi kekayaan dan kajian ekonomi berkeadilan. Kedua, Aktivis yang menyuarakan keadilan bagi seluruh rakyat Indoneisa. Ketiga, Aparatur Sipil Negara yang dulunya PNS sebagai pelayan masyarakat pengusaha dan buruh. Keempat, Masyarakat yang memiliki negara yang terlahir sebagai bangsa Indonesia.
Bila tidak, maka akan terjadi konflik yang mengakibatkan kehancuran ekonomi, sosial dan politik dalam satu kawasan. Maka logika sederhana seorang pengusaha, bila banyaknya lintah yang menggerogoti usaha, ditekan sedemikian rupa dengan kebijakan yang tak berkeadilan. Termasuk susahnya melakukan kemitraan strategis untuk saling menguntungkan antara buruh dan pekerja. Pilihan terbaik adalah memindahkan lokasi pabrikasi ke tempat lain atau negara lain.
Titik kehancuran tetap pada masyarakat buruh, masyarakat sekitar yang mengalami goncangan ekonomi, sosial. Biasanya akan terjadi tingkat kejahatan yang meningkat, sebab kebutuhan hidup terus tanpa jeda. Belum termasuk menghidupi gaya hidup yang jauh dari daya hidup.
Di mana kita mesti ikut dalam memperbaiki persoalan ini? Pilihan demi pilihan terhampar jelas di depan mata. Bagi pemerintah yang menikmati pendapatan dari pajak upah dan pajak lainnya, maka dialokasikan untuk kebutuhan dasar masyarakat buruh dan sekitar. Bagi pekerja, membangun konsensus kerja sama kemitraan dengan skema saling menguntungkan lewat mediasi serikat pekerja. Bagi pengusaha, mendapatkan ketenangan dalam membangun usaha, sebab jelas aturan dan kebijakan yang mampu memberikan kuntungan usaha, dan ikut serta dalam menggerakkan ekonomi satu kawasan.
Kecuali, bila penguasa telah mulai berpikir memeras pengusaha dan buruh. Maka pilihan tidak lain adalah perlawanan dengan berbagai cara. Termasuk membentuk pertemuan akbar sampai Istana untuk dapat menyampaikan aspirasi. Sebab di Senayan sana, anggota dewan provinsi. Kementerian Tenaga Kerja dan dinas terkait telah terduduk enak di kursi menikmati jerih peluh para pekerja lewat gaji bulanan.
Atau barangkali benar adanya seloroh sahabat tetangga yang bekerja di sebuah industri di Cibitung. Kami buruh ini tak lebih sama seperti mesin. Bila masanya telah habis, maka dapat digantikan oleh tenaga baru. Sedangkan keterampilan dan juga keberlanjutan anak kami sebagai anak bangsa cukup belajar membaca lewat televisi saja. Tanpa bisa menikmati bagaimana candradimukanya perguruan tinggi.
Kemiskinan itu tali-temali di tangan penguasa yang bejat dengan pengusaha yang nakal. Maka pekerja dan masyarakat sekitar menikmati kenestapaan nan panjang dari kenikmatan tak berbilang tahun.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H