Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari Gurat Usang untuk Harapan yang Gemilang

14 September 2020   14:26 Diperbarui: 14 September 2020   14:41 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto kelompok kajian-manuskrip bersama fasilitator Sinta Ridwan dan salah satu juri kajian Afrizal Malna) dokpri

"Ada tiga cara orang memahami dan menyampaikan masa lalunya, yaitu lewat mitos, sastra, dan sejarah. Ketiga cara itu mempunyai keabsahan sendiri, yang tak bisa dibandingkan kebenarannya."

(Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas, 2019: 27)

Disekian bulan mungkin yang bisa dilakukan hanyalah mengenang. Karena, kegiatan itu sudah lama berlalu. Menjelma rotasi kenangan bermakna yang selalu mengudara dibenak, hati dan meraung di kepala, untuk selalu bergerak memajukan kebudayaan Indonesia.

Hanya demi memajukan kebudayaan sesuai alam pikiran anak muda. Hal itu, tak lain dan tak bukan karena pernah singgah dalam kawah incubator. Layaknya, kawah candradimuka tempat penempaan sang Gatotkaca, bernama KBKM 2019.

Mungkin itu sangat hiperbolis. Namun, semangat itu memang benar-benar saya dapatkan. Bersinggungan, begadang malam, bolos senam, selalu berusaha mendapat kopi gratisan untuk teman ngobrol.

Khas sekali dengan watak pemuda yang sok ngotot dengan aturan. Ingin bebas dan berdiri dengan pendiriannya sendiri. Disanalah saya menemukan kawan perjuangan senasib-seperjuangan yang ngotot memajukan kebudayaan.

Saya menyebut KBKM itu sendiri senbagai kawah patuladan. Sebuah ruang yang memberikan contoh kepada siapa saja agar berpikir progresif untuk memajukan kebudayaan sesuai dengan kondisi zaman. Barang pasti, tarikan antara dua irisan masa lalu dan masa depan menjadi pijakan di masa pergerakan -masa kini.

Seperti halnya kali pertama saya menemukan acara ini seolah saya bersentuhan dengan ibu yang sejak lama tak mengasuh anaknya, dalam ranah memikirkan nasib kebudayaan. Mungkin, masih banyak lagi pemuda yang setulus hati memikirkan nasib kebudayaan. Namun, terkendala masalah biaya, birokrasi dan masalah kepercayaan dari pemerintah maupun kaum tua generasi sebelum saya.

Harapan seketika menggaung di kepala. Berharap, keluh kesah mengenai pengembangan kebudayaan, yang sejak awal belum ternauingi mendapat angin segar. Sebagai orang yang menekuni dan mencintai manuskrip, tentu Kajian saya berhubungan dengan manuskrip, yang kata kebanyakan orang disebut sebagai filolog.

Manuskrip ini saya manfaatkan untuk melihat Reyog Ponorogo dalam ruang lingkup perkembangannya. Kesenian asli kota Ponorogo Jawa Timur.

Tentu, tak semudah itu mengkaji manuskrip. Banyak rintangan dan keterbatasan. Yang paling kentara, ya! Kendala pendanaan untuk menyentuh/mengkaji dan mengumpulkan bentuk digital manuskripnya. Kedua, bagaimana hasil kajian ini dimanfaatkan oleh pemerintah yang bersangkutan. Nah, disinilah letak keterbatasan pemuda untuk bergerak.

Keluarnya, UU No 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan menjadi jalan amat terang bagi para pemerhati kebudayaan. UU ini menjamin gerak langkah para pengkaji dan pemerhati dalam upaya penyelamatan warisan kebudayaan daerahnya. Pada Pasal 5 terdapat 10 objek pemajuan kebudayaan salah satunya adalah manuskrip.

Mirisnya, dari sekian puluh kelompok yang lolos seleksi peserta KBKM 2019 hanya terdapat 4 kelompok yang mengkaji manuskrip. Lalu saya berpikir, jangan-jangan manuskrip memang tidak berguna ada di dunia?

(Foto kelompok kajian-manuskrip bersama fasilitator Sinta Ridwan dan salah satu juri kajian Afrizal Malna) dokpri
(Foto kelompok kajian-manuskrip bersama fasilitator Sinta Ridwan dan salah satu juri kajian Afrizal Malna) dokpri
Sekedar bercerita. Saya berasal dari kelompok Sraddha Institute, sebuah komunitas yang konsisten mengkaji manuskrip Jawa. Salah satu komunitas dari sekian komunitas yang berada di kota Surakarta, atau umum menyebutnya Solo di Provinsi Jawa Tengah.

Komunitas kami berupaya untuk mengkaji berbagai hal mengenai manuskrip Jawa. Kemudian isinya kita sebarkan kepada masyarakat dari semua kalangan sebagai pandangan untuk menanggapi berbagai carut-marut permasalahan di masa sekarang.

Bukan berarti komunitas kami sangat menuntut adanya konservasi atas budaya asli nusantara. Namun, hal ini kami lakukan sebagai langkah untuk mencari benang merah permasalahan masa kini.

Manuskrip kita gunakan sebagai sumber sudut pandang lain. Yang kemudian kita terjemahkan sebagai pengalaman nenek moyang kita dahulu. Toh! hal ini tidak salah untuk kita pelajari di zaman serba kebingungan identitas seperti sekarang ini.

Komunitas kami tak hanya terdiri dari satu kalangan saja. Mulai dari mahasiswa S1-S3 dari berbagai kota di Jawa, dosen, seniman, para penghayat kepercayaan serta kalangan pemerintahan. Tercatat vokalis band Soloensis-Gema Isyak, sastrawan Yuddhistira massardi pun pernah datang dan berbincang ria satu lingkarang dengan kami.

Dengan kata lain, ada banyak kalangan masyarakat yang sebenarnya mempunyai hasrat keingintahuan mempelajari isi dari sebuah manuskrip. Hanya saja, banyak keterbatasan ruang dan waktu dari mereka untuk mempelajari lebih mendalam, sekedar untuk memuaskan rasa penasarannya. Disitulah komunitas kami hadir sebagai fasilitator antara masyarakat yang penasaran dan manuskrip yang sudah usang.

Pemerintah saat ini pun genjar melakukan konservasi terhadap manuskrip warisan nenek moyong. Kemudian muncul pertanyaan lanjut, sekedar mengumpulkan atau sampai pengkajian isinya?

Saat komunitas kami mendaftar di KBKM, jujur kesulitan yang kami rasakan pertama adalah akses untuk menjamah beberapa manuskrip yang kami tuju. Diskusi panjang dengan pewaris kami lakukan. Yang kebetulan berada di kediri, tepatnya bekas percetakan tersohor di zamannya bernama Tan Koen Swie. Hingga satu kesepakatan kami peroleh.

Pengkajian manuskrip diperbolehkan oleh pewaris. Namun, dengan satu syarat komunitas kami harus membantu digitalisasi keseluruh manuskrip koleksi pribadinya yang berada di museum Tan Koen Swie.

Kami pun berlanjut melakukan diskusi dengan fasilitator kami Teh Sinta Ridwan, yang juga seorang filolog amatir. Satu-satunya solusi dari diskusi panjang itu memang kita harus menuruti kehendak sang ahli waris. Tentu, biaya dan segala peralatan penunjangnya yang menjadi permasalahan dalam benak kami. Lalu, kami berinisiatif untuk melakukan lobby dengan pemerintah bersangkutan. Dan yang terjadi? Nihilisme.

Pasrah dan dongkol di hati. Kami menempuh jalan buntu. Perasaan ketidakbergunaan manuskrip di zaman sekarang semakin meronta untuk memenangkan perang konsistensi kerja sosial kami. Tak ada sambutan melegakan dari para pemangku kebijakan daerah. Limbung, tak lagi punya rumah berteduh atas pengkajian yang selama ini kami lakukan.

Dalam kegiatan KMKB itu saya mendapatkan curahan hati yang sama dari seluruh kelompok kajian manuskrip. Kami perlu dukungan dan sokongan untuk mengkaji manuskrip salah satu materil pijakan awal untuk melangkah. Untuk melihat kebudayaan yang nyatanya sangat kompleks, manuskrip.

Ketika kita bejumpa dengan kalangan tua dan masyarakat umum, selalu bilang "Wah, langka ya! Kalian masih mau mengkaji aksara rumit ini!" Dalam hati saya, bukan masalah langka atau tidaknya, namun kami butuh dukungan lebih untuk bergerak.

Ketika ungkapan itu muncul, hati kecil saya selalu menjawab "Coba saja anda itu langsung bilang, aku bisa bantu apa?" Itu yang mengurangi pesimistis kami. Bukan hanya berhenti pada pemujaan kelangkaan.

Hingga saat ini, kami para kelompok pengkaji manuskrip di KMBK masih menjaga simpul. Selalu berkabar akan eksistensinya di masing-masing daerah. Berkabar kelanjutan pengkajian. Menjadi kelompok persaudaraan yang kami namakan "Filolog muda KBKM 2019".

Entah sampai kapan kami akan bertahan. Pastinya, kami tetap konsisten menjaga warisan budaya nenek moyang ini. Komunitas saya, Sradhha Institute pun masih melakukan pengkajian dan penyebarluasan ke seluruh pelosok negeri dengan keterbatasan kami.

Keterbatasan alam pengalaman kami sebagai anak muda pun menjadi kendala yang harus tetap kami cari ujung benang ruwet-nya. Sekian tahun berkegiatan, sekian tahun melakukan diskusi dengan berbagai kalangan generasi sebelum saya. Terkadang saya sendiri berpikir, mengapa para generasi tua sebelum saya malah bertanya prihal kebudayaan yang seharusnya alam pikiran mereka menyimpannya.

Saya sebagai anak muda sejatinya butuh asuhan dari mereka para generasi tua. Namun, berbicara kebudayaan kami berposisi sebaliknya. Saya sendiri mengimajinasikannya seperti kebo nyusu gudel (Kerbau menyusu pada anaknya).

Terlebih saya sebagai anak muda yang berharap ada generasi sebelumnya mencerna berbagai warisan budaya nusantara. Dan mengajarkannya kepada saya. Lebih satire lagi, saya meminjam cerita yang telah umum didengar "Kisah Malin Kundang" Saya mengatakan apakah ini yang dinamakan "Seorang ibu yang durhaka kepada Maling Kundang" atas peminggiran kebudayaan sebagai identitas bangsa.

Harapan saya, ada sinkronisasi dari berbagai pihak baik pusat maupun daerah atas amanat hasil dari kegiatan KBKM 2019. Lalu, menjalankan UU No 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan dengan sebaik-baiknya.

Demi generasi yang lebih berbudaya dan berpikir progresif atas kebudayaan bangsanya sendiri. Serta bisa menghayati dan mengambil pesan pengalaman nenek moyang untuk melangkah di zaman yang serba bingung dan kebingungan. Seperti yang Kutowijoyo sampaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun