PSBB memang berdampak luas dikalangan masyarakat. Apabali soal ekonomi, sangatlah dirasakan semua pihak. Antisipasi pun dilakukan. Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 23/2020 Tentang Program Pemulihan Ekonomi Nasioanl. Bagaimana dengan psikologi masyarakat? Apakah tak perlu dilakukan pendampingan?
Entah disadari atau tidak, masyarakat daerah utama di desa-desa begitu hiperbolis menanggapi buntut panjang adanya pandemi ini. Hampir keseluruhan, yang ada dipikiran masyarakat desa hanya penutupan jalan. Menghindarkan orang masuk ke desanya. Melarang orang masuk tanpa berpikir kenapa harus dilarang.Â
Seperti yang ada di desa saya. Musyawarah blokade jalan diputuskan. Itu sangat bagus dilaksanakan di saat lebaran. Namun dalam pembahasan musyawarah para aparatur desa, apakah mengulas prihal protokoler kesehatan? Membahas kenapa ada blokade jalan? Saya tak tau pasti. Desas-desus yang beredar tak ada dalam pembahasan. Dan apa yang terjadi di lapangan? Blokade itu tak menerapkan protokol kesehatan yang diputuskan pemerintah.
Kerumunan malah terbentuk disetiap jalan yang terportal. Entah main kartu atau bercengkrama ria, mereka berkerumun lebih dari 20 orang. Dan tanpa mengenakan masker. Seolah menjaga Ninja dikala tahun 1998. Yang mereka pahami hanya pembatasan masyarakat keluar masuk. Itu saja.
Penerapan satu pintu pun tanpa menjalankan protokol pengecekan. Seolah dari penjaga portalnya tak paham apa yang mereka jaga. Mungkin memang sosialisasi kurang dijalankan terkait penanganan Covid-19 ini.
Ada pula Kepala desa daerah Jambon yang menolak blokade jalan. Memilih berbeda dengan kebijakan desa-desa sekitarnya. Alasannya sangat kultural. Kepala desa Bringan itu ingat kata simbah-nya "Aja pisan-pisan, wani-wani nutup dalan trabasan?? Ya Le!! Wialat gedhe, yen ra kuat isa nampeg ning awakmu dewe. Ning yen awakmu kuat, isa nampeg ning anak turunmu utowo wargamu! (mediaponorogo.com).
Mungkin Kepala desa itu paham apa yang dijaga. Bukan soal orang tak boleh lewat, tapi virus yang tak bisa dilihat. Protokol kesehatanlah yang wajib ain dilaksanakan. Pembatasan sangat perlu dilakukan. Namun bukan masalah blokade tapi mengurai kerumunan orang-orang.
Soal deskrimanasi di kalangan masyarakat pun sama. Bukan masalah menghidarkan orangnya, tapi protokol kesehatan yang harusnya ada dalam pikiran. Ujung-ujungnya malah orang diisolasi tertekan psikologinya. Karena, masyarakat yang sehat memilih menghindar dari pada menerapkan protokol kesehatan. Entah pihak mana, seharusnya mendampingi langsung dan menengok permasalahan. Bukan hanya lewat Wa.
Jujur, Desa yang saat ini menjadi ujung tombak PSBB perlu diadakan pendamping psikologi dan sosialisasi yang lebih lagi. Informasi yang diterima masyarakat desa dari tv yang terkadang sulit diterapkan. Kalau tidak dari anjuran perangkat desa. Bagaimana kalau perangkat desanya hanya sekedar saja memahami penangan Covid-19? Masyarakat desa pasti hanya paham secuil saja. Apalagi TKI yang pasti akan kena imbas paling berat. Diluar tak ada pekerjaan pulang malah jadi perundungan.
Ada juga yang meloloskan orang mudik karena dia anak orang berada. Kasus wartawan yang dirundung pun sama. Pasien positif Covid-19 salah satunya adalah anak dari perangkat desa. Bolehlah kalau hanya soal aturan administratif yang dibedakan. Toh masyarakat bakal acuh meskipun tahu. Tapi kalau penyakit menular? Bukankah penularan itu tak berdampak luas dan tak memandang orang berada atau tidak?
Aturan pasti harus ditaati. Kalau tak ada contoh baik di pemerintah desa, masyarakat desa pasti memberontak. Ujung-ujungnya banyak orang kecil yang tak mau lagi menaati aturan PSBB. Kondisi ini pasti semuanya merasa terhimpit. Tinggal mencari win-win solution saja.