Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Korona Ibarat Aib?

30 Mei 2020   18:34 Diperbarui: 30 Mei 2020   18:33 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah banyak berita beredar prihal Covid-19 yang umum disebut sebagai Korona. Terhitung 26 Mei 2020 tercatat 23.165 orang terjangkit Covid-19. Angka yang begitu fantastis dan menakutkan. Terkait update pasien positif Covid-19 pun sangat gampang ditemukan di dunia maya. 

Hampir seluruh media mengabarkannya. Mengesampingkan, benar atau salah penyebutkan Korona untuk penyakit Covid-19 dan fantastisnya penambahan pasien. Nyatanya, masyarakat semakin ajek keluar rumah. Apalagi dimasa lebaran ini. Rasa takut masyarakat sejujurnya semakin memuncak. Namun, mereka terpaksa keluar untuk tetap hidup. Lalu, bagaimana efek yang terjadi di masyarakat?

Sebagai contoh carut-marut penangangan Covid-19 yang ada di Ponorogo, Jawa Timur . Pemerintahan desa berupaya untuk menghalau tradisi warga untuk bersilaturahmi atau warga Ponorogo sebut sebagai sejarah. Hampir seluruh jalur masuk desa-desa di Ponorogo diblokir. Dari sekian tahun, untuk kali pertamanya sejarah lebaran tak ada di Ponorogo. Lebaran jadi lesu dan sepi.

Masyarakat desa tak diijinkan keluar dari desa. Begitu pula sebaliknya, warga luar desa juga tak diperbolehkan masuk. Hampir seluruh desa menerapkan satu pintu untuk masuk ke desa. 

Akses lain diblokir secara statis. Kebanyakan urung keluar rumah dan lebih mewaspadai terhadap Korona. Eh, mungkin tak hanya waspada, masyarakat semakin takut dengan Korona. Bahkan Korona sampai dianggap aib yang tak boleh terdengar orang.

Seperti kasus salah seorang wartawan di Ponorogo yang mendapatkan perundungan dari salah satu perangkat desa. Wartawan itu mendapatkan perlakukan tidak menyenangkan dari salah satu perangkat desa. Dituliskan dalam salah satu media online, wartawan itu dihalangi untuk meliput. 

Bahkan sependengaran wartwan dia akan di udhani (ditelanjangi). Lalu drama pun terjadi. Perangkat desa didampingi pemerintah kecamatan meminta maaf dan membuat surat pernyataan permaterai atas perlakuannya kepada salah satu wartawan Ponorogo tersebut.

Kedua, TKI yang pulang dari luar negeri. TKI yang mengisolasi diri itu mendapat perlakukan yang berlebih. Salah satu kasus yang terjadi di Ponorogo. TKI yang pulang dari luar negeri seolah terdeskriminasi dari masyarakat. 

Diasingkan baik fisik dan sosialnya. Seperti tahanan yang dikurung dalam ruangan. Tak adanya yang memberikan dukungan dalam 14 hari isolasi. Malah seperti orang gila yang benar-benar harus disingkirkan dan dihindarkan orang.

Soal pemakaman pasien meniggal pun ikut terdeskriminasi. Seperti kasus di Jawa Tengah lalu. Jenazah pasien meninggal begitu saja ditolak. Sudah berjuang mati-matian sampai mati betulan masih saja harus ditolak masuk bumi. Tak diterima meskipun telah mati. Apakah Korona itu sebuah aib?

Perlu Sosialisasi dan Dampingan Psikologi

PSBB memang berdampak luas dikalangan masyarakat. Apabali soal ekonomi, sangatlah dirasakan semua pihak. Antisipasi pun dilakukan. Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 23/2020 Tentang Program Pemulihan Ekonomi Nasioanl. Bagaimana dengan psikologi masyarakat? Apakah tak perlu dilakukan pendampingan?

Entah disadari atau tidak, masyarakat daerah utama di desa-desa begitu hiperbolis menanggapi buntut panjang adanya pandemi ini. Hampir keseluruhan, yang ada dipikiran masyarakat desa hanya penutupan jalan. Menghindarkan orang masuk ke desanya. Melarang orang masuk tanpa berpikir kenapa harus dilarang. 

Seperti yang ada di desa saya. Musyawarah blokade jalan diputuskan. Itu sangat bagus dilaksanakan di saat lebaran. Namun dalam pembahasan musyawarah para aparatur desa, apakah mengulas prihal protokoler kesehatan? Membahas kenapa ada blokade jalan? Saya tak tau pasti. Desas-desus yang beredar tak ada dalam pembahasan. Dan apa yang terjadi di lapangan? Blokade itu tak menerapkan protokol kesehatan yang diputuskan pemerintah.

Kerumunan malah terbentuk disetiap jalan yang terportal. Entah main kartu atau bercengkrama ria, mereka berkerumun lebih dari 20 orang. Dan tanpa mengenakan masker. Seolah menjaga Ninja dikala tahun 1998. Yang mereka pahami hanya pembatasan masyarakat keluar masuk. Itu saja.

Penerapan satu pintu pun tanpa menjalankan protokol pengecekan. Seolah dari penjaga portalnya tak paham apa yang mereka jaga. Mungkin memang sosialisasi kurang dijalankan terkait penanganan Covid-19 ini.

Ada pula Kepala desa daerah Jambon yang menolak blokade jalan. Memilih berbeda dengan kebijakan desa-desa sekitarnya. Alasannya sangat kultural. Kepala desa Bringan itu ingat kata simbah-nya "Aja pisan-pisan, wani-wani nutup dalan trabasan?? Ya Le!! Wialat gedhe, yen ra kuat isa nampeg ning awakmu dewe. Ning yen awakmu kuat, isa nampeg ning anak turunmu utowo wargamu! (mediaponorogo.com).

Mungkin Kepala desa itu paham apa yang dijaga. Bukan soal orang tak boleh lewat, tapi virus yang tak bisa dilihat. Protokol kesehatanlah yang wajib ain dilaksanakan. Pembatasan sangat perlu dilakukan. Namun bukan masalah blokade tapi mengurai kerumunan orang-orang.

Soal deskrimanasi di kalangan masyarakat pun sama. Bukan masalah menghidarkan orangnya, tapi protokol kesehatan yang harusnya ada dalam pikiran. Ujung-ujungnya malah orang diisolasi tertekan psikologinya. Karena, masyarakat yang sehat memilih menghindar dari pada menerapkan protokol kesehatan. Entah pihak mana, seharusnya mendampingi langsung dan menengok permasalahan. Bukan hanya lewat Wa.

Jujur, Desa yang saat ini menjadi ujung tombak PSBB perlu diadakan pendamping psikologi dan sosialisasi yang lebih lagi. Informasi yang diterima masyarakat desa dari tv yang terkadang sulit diterapkan. Kalau tidak dari anjuran perangkat desa. Bagaimana kalau perangkat desanya hanya sekedar saja memahami penangan Covid-19? Masyarakat desa pasti hanya paham secuil saja. Apalagi TKI yang pasti akan kena imbas paling berat. Diluar tak ada pekerjaan pulang malah jadi perundungan.

Ada juga yang meloloskan orang mudik karena dia anak orang berada. Kasus wartawan yang dirundung pun sama. Pasien positif Covid-19 salah satunya adalah anak dari perangkat desa. Bolehlah kalau hanya soal aturan administratif yang dibedakan. Toh masyarakat bakal acuh meskipun tahu. Tapi kalau penyakit menular? Bukankah penularan itu tak berdampak luas dan tak memandang orang berada atau tidak?

Aturan pasti harus ditaati. Kalau tak ada contoh baik di pemerintah desa, masyarakat desa pasti memberontak. Ujung-ujungnya banyak orang kecil yang tak mau lagi menaati aturan PSBB. Kondisi ini pasti semuanya merasa terhimpit. Tinggal mencari win-win solution saja.

Desa perlu ditengok dan diperhatikan kembali. Jangan sampai meraka merasa tak diperhatikan. Ujung-ujungnya merasa tak nyaman. Dan pasti akan nekat melanggar. Belum lagi bantuan sosial hari-hari ini sangat carut-marut penyalurannya. Masyarakat khusunya desa pasti sangat jenuh dan muak dengan kebijakan yang tumpang tindih dikeluarkan. Masyarakat perlu dipahamkan dengan cara ndesa, supaya lebih paham dan tak merasa diakali. Dan tak menganggap pemerintah itu tak berwibawa.

Frengki Nur Fariya Pratama Pecinta naskah Jawa tergabung di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam. Masih berkutat dengan bangku kuliah di Magister Ilmu Susastra Undip Semarang. Bisa dihubungi di Ig: @frengkifariyapratama email:frengki.criss@gmail.com  fb: frengki cirssz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun