Ambêkane sarwi mêlar-mingkus/
Watuke anggigil/
Jalagra anèng dhadha/
Tan wurung ngêstob bolira//
Bait-bait diatas menunjukkan efek yang ditimbulkan secara fisik seperti badan kurus,raut muka pucat, takut dengan air, bibir biru dengan gigi putih,sedikit teman/menutup diri,, nafasnya tersengal-sengal, batuk
Serat Erang-Erang (1912) Pada bagian awal pun dituliskan “Tiyang ingkang gadhah pakarêman madat, kenging binasaakên: botên wontên ingkang pinanggih sae, tiyang sae manahipun: dados awon, tiyang sêtya: dados dora, tiyang sugih: dados malarat, katrêsnan dhatêng anak bojo: dados suda, tarkadhang sirna babar pisan”. Hal ini tergambarkan bahwa kondisi sosial pengalaman pengarang menunjukkan kebobrokan moral yang amat sangat sehingga menggerakkan pengarang untuk mengabadikan dalam bentuk tulisan sebagai pembelajaran dan penekanan keterpurukan moral pada masa itu. Dalam serat ini Ki Padmasusastra lebih menekankan pada strata sosial pengguna Candu dengan berbagai latar belakang individu serta berbagai efek sosial yang ditimbulkan. Sangatlah nampak dalam Serat Erang-Erang bahwa pengguna candu telah masuk keseluruh aspek kehidupan masyarakat mulai dari Teledhek Paniket & Belantik,Saudagar, Penjahat, Abdi Dalem sampai Pegawai Pemerintahan. Dalam karya sastra ini pula dipertegas dengan berbagai efek negatif yang ditimbulkan akibat sering mengkonsumsi candu, seperti dalam bagian cerita Tiyang Nyêrèt Naboki Anak Bojo. Kisah ini menceritakan tentang suami yang senang mengkonsumsi candu. Disuatu hari menyuruh anaknya untuk membelikan candu, namun nasib malang menimpanya uang yang dibawanya untuk membeli candu hilang diperjalanan. Anak itu pun nangis lalu pulang untuk mengadu kepada Bapaknya, alangkah terkejutnya Bapaknya pun marah sejadi-jadinya dan memukul anaknya dengan keras seraya menyerukan umpatan anake wong edan(anak orang gila). Kejadian ini pun dilihat oleh Istrinya yang membuat Istrinya ikut marah kepada Suami, namun nasibnya tidak jauh beda dengan anaknya,Istrinya pun mendapatkan tangan yang mendarat dikepalanya. Sebuah contoh kekejian yang ditimbulkan dari ketergantungan terhadap candu yang tercerminkan dalam karya sastra Padmasusastra.
Cerminan bahaya narkoba bagi kehidupan dan perkembangan ini tercermin pula dalam karya sastra Indonesia baru dengan tahun 2004 yang berjudul Jangan Beri Aku Narkoba karya Alberthiene Endah yang menceritakan seorang Arimbi yang terjegal masalah keluarga dan terperdaya pengedar narkoba untuk mengkonsumsi narkoba yang mengakibatkan Arimbi kecanduan sehingga merubah seluruh aspek kehidupannya. Tidak sampai disitu saja Arimbi pun mulai masuk semakin dalam ke Lembah Hitam setelah bertemu dengan Vela, Arimbi pun mulai terpengaruh Vela yang merupakan seorang lesbian Hingga pada akhirnya penyimpangan seksual Arimbi pun terjadi dengan terjalinnya hubungan kasih antara Arimbi dan Vela.
Dari gambaran Tahun 1808 dimasa PB IV, 1912 dimasa Padmasusastra dan 2004 sastrawan modern Alberthiene Endah memiliki kesamaan topik mengenai kekhawatiran dengan generasi muda yang sering terjerat oleh jaring-jaring narkoba dalam karya sastranya masing-masing. Persoalan narkoba seakan-akan menjadi sebuah lingkaran setan yang siap untuk menetaskan kenistaan manusia untuk disebar keseluruh penjuru dunia, dan dijadikan mesin perusak bagi kehidupan manusia yang tata tentrem kartaraharjaini.
Jas Merah dan Sadarlah
Sejarah Indonesia khususnya Jawa mencatat peperangan melawan candu/narkoba telah terjadi semenjak Amangkurat II,segala upaya untuk meberantas candu yag telah membudaya ini dengan berbagai cara, salah satunya dengan membubuhkan kedalam karya sastra sebagai cacatan sejarah serta pembelajaran bagi anak cucu. Dimasa sekarang peperangan melawan candu yang sekarang lebih beranekaragam jenis dan bentuknya (narkoba) melalui sebuah lembaga yang disebut Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan menggalakkan seminar dan penyuluhan anti narkoba ke seluruh kompnen masyarakat tanpa terkecuali. Selain itu dengan dikeluarkannya UU. RI. NO 35 TH. 2009 tentang narkotika sebagai alat pencerat bagi siapa pun yang menyentuh Narkotika tanpa terkecuali. Namun tidak dapat dipungkiri pemberantasan sampai akar-akarnya pun masih sulit diberantas karena memang sudah membudaya dan jaringannya pun sangat sulit terdeteksi.
Hal inilah yang harus dipahami semua, bahwa keterjeratan dengan narkoba meruapakan awal kehancuran masa depan bangsa. Semakin banyak kaum muda bangsa yag terjerat maka Negara akan semakin condong pada kehancuran. Sedini mungkin kita menghindari narkoba dan kuat akan segala rayuan para pengedar narkoba. Dari karya sastra yang tercipta dari hati pengarang mengenai candu yang sangat merusak moral ini sangatlah bisa kita jadikan sebagai cerminan dunia agar kita tidak terjerembak dalam lingkaran narkoba. Sebagai warga Indonesia yang cinta kan Tanah Air dan perkembangan Negara sudah semestinya peduli akan lawan yang seharusnya dimusnahkan agar cita-cita dan produktivitas warga terutama kaum muda dapat terus berkembang serta bersaing degan Negara lain. Aku cinta Indonesia, Indonesiaku bebas narkoba.