Indonesia darurat NARKOBA ungkapan yang selalu renyah terdengar di telinga bangsa Indonesia pada akhir-akhir ini. Dalam catatan BNN dengan puslitkes UI di tahun 2015 mengemukakan bahwa 2,80% atau 5,8 juta penduduk Indonesia telah menyalahgunakan Narkoba. Hal ini menimbulkan keprihatinan yang besar bagi bangsa mengingat pengguna terbesar adalah kalangan anak muda yang kelak akan menjadi penerus bangsa. Dalam kaitannya denga Narkoba Pulau Jawa pun memiliki sejarah kelam mengenai penggunaan narkoba yang dahulu terkenal dengan candu/madat/nyeret.
Sejarah
Narkoba pada masa penjajah lebih dikenal dengan sebutan candu. Pada abad 18-19 candu sangat marak dan dijual secara bebas dikalangan masyarakat. Apa lagi sekitar tahun 1860-1910 candu dijadikan sebagai komoditas utama oleh VOC. Dengan meroketnya transaksi candu di Jawa, VOC membuat keputusan pajak bagi pengepak (Bandar) candu agar tetap termonopoli pihak VOC. Pajak pengepak candu ini tergolong sangat besar serta perdagangannya tergolong yang terlaris pada masanya.
Menurut James R. Rush dalam bukunya Opium To Java Perdagangan bebas candu di Jawa terjadi semakin santer manakala Raja Amangkurat II melakukan perjanjian dengan VOC pada tahun 1677 sehingga sampai 1799 candu yang di import ke Jawa rata-rata 56.000 kilogram setiap tahunannya secara resmi. Candu yang diperdagangkan di Jawa ini merupakan jenis opium yang berasal dari tumbuhan Papaver somniferumLdi daerah Eropa Timur. Hal inilah yang membuat candu/opium membudaya dikalangan masyarakat Jawa. Hampir seluruh masyarakat Jawa dari semua kalangan mulai dari priyayi, pedagang sampai rakyat jelata mengkonsumsi candu dalam kesehariannya. Namun tak semua wilayah karisidenan dipulau Jawa menjadi tempat perdagangan bebas candu/opium, ada beberapa yang dalam perjanjian pengepak-pengepak candu dengan VOC memilah beberapa wilayah untuk bebas dari candu seperti Madura, Bandung Pariangan dan Banten. Pembebasan wilayah ini dikarenakan kekuatan religius dan Budaya daerah-daerah tersebut sangat kuat sehingga apa yang dianggap buruk menurut para pembesar agama disana harus dituruti agar tidak menimbulkan konflik yang dapat mengancam keberlangsungan VOC di pulau Jawa.
Pada kejayaannya candu/opium banyak digunakan sebagai obat segala penyakit oleh sebagian orang Jawa karena sifat opium sebagai analgesik sangatlah mendukung penggunaannya. Selain itu sangat sedikitnya dokter bagi kaum pribumi membuat budaya nyeret tidak sekedar budaya euforia masa lalu, namun dijadikan sebagai penghilang rasa sakit segala penyakit mengingat zaman dulu dokter yang disediakan penjajah sangatlah sedikit dan tidak sebanding dengan jumlah penduduk.
Kekhawatiran
Kasus demi kasus telah mewarnai dilema kemerosotan moral Bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Namun, narkoba/candu ini telah dianggap sebagai ancaman sejak dulu pada masa penjajahan. Telah terekam dalam Serat Erang-Erang karya Padmasusastra, Wulang Reh karya PB IV dan Karya Sastra Jawa yang lain bahwa narkoba/candu yang lebih dikenal dengan madat (dalam serat-serat Jawa) sangatlah merusak generasi muda serta menimbulkan efek-efek negatif yang sangat besar bagi kehidupan. Pelarangan candu yang telah membudaya dikalangan orang Jawa ini pun telah diajarkan sejak zaman dulu oleh orang-orang yang dituakan atau pemuka agama dan aliran-aliran kepercayaan Jawa dengan sebuah selogan panca nista (lima kenistaan yang harus dihindari) yaitu Malima (main, madat, medok, ngombe/mabuk, maling) pantangan yang sangat dilarang dalam ajaran kebatinan Jawa. Selain pemahaman yang diajarkan oleh Sesepuh,kita kembali Tarik mundur ke zaman PB IV (1735 Jawa/1808 Masehi) dalam Serat Wulang Reh Pupuh Wirangrong, Pada 10 dituliskan :
Ana cacad agung malih
Anglangkungi saking awon
Apan sakawan iku kèhipun
Dhingin wong madati
Pindho wong ngabotohan
Kaping tiga wong durjana
Sangat jelas bagaimana anggapan Sinuhun PB IV mengenai candu/cadat yang dianggap sebagai cacad agung kang ngungkuli saking awon(kejelekan/kecacatan besar yang melebihi dari segala kejelekan) paradigma yang tersirat menunjukkan kecemasan Raja yang besar terhadap generasi penerusnya.
Selain itu Sinuhun PB IV pun menunjukkan efek-efek samping yang ditimbulkan ketika mengkonsumsi candu sebagai salah satu bentuk himbauan penekanan alangkah berbahayanya ketika mengkomsumsi candu.
Pupuh Wirangrong, Pada 18
Dene ta wong kang madati/
Kêsède kamoran lumoh/
Amung ingkang dadi sênêngipun/
Ngadhêp diyan sarwi/
Linggih ngambèn jêjegang/
Sarwi leyangan bêdudan//
Yang menunjukkan efek psikis yang ditimbulkan yaitu lumoh(malas), kecanduan atau ketergantungan.
Pupuh Wirangrong, Pada 19
Yèn lèrèn nyêrèt adhidhis/
Netrane pan mêrêm karo/
Yèn wus dadi awake akuru/
Cahya biru putih/
Jalêbut wêdi tôya/
Lambe biru untu pêthak//
Pupuh Wirangrong, Pada 20
Bêtèke satron lan gambir/
Jambe suruh arang wawoh/
Ambêkane sarwi mêlar-mingkus/
Watuke anggigil/
Jalagra anèng dhadha/
Tan wurung ngêstob bolira//
Bait-bait diatas menunjukkan efek yang ditimbulkan secara fisik seperti badan kurus,raut muka pucat, takut dengan air, bibir biru dengan gigi putih,sedikit teman/menutup diri,, nafasnya tersengal-sengal, batuk
Serat Erang-Erang (1912) Pada bagian awal pun dituliskan “Tiyang ingkang gadhah pakarêman madat, kenging binasaakên: botên wontên ingkang pinanggih sae, tiyang sae manahipun: dados awon, tiyang sêtya: dados dora, tiyang sugih: dados malarat, katrêsnan dhatêng anak bojo: dados suda, tarkadhang sirna babar pisan”. Hal ini tergambarkan bahwa kondisi sosial pengalaman pengarang menunjukkan kebobrokan moral yang amat sangat sehingga menggerakkan pengarang untuk mengabadikan dalam bentuk tulisan sebagai pembelajaran dan penekanan keterpurukan moral pada masa itu. Dalam serat ini Ki Padmasusastra lebih menekankan pada strata sosial pengguna Candu dengan berbagai latar belakang individu serta berbagai efek sosial yang ditimbulkan. Sangatlah nampak dalam Serat Erang-Erang bahwa pengguna candu telah masuk keseluruh aspek kehidupan masyarakat mulai dari Teledhek Paniket & Belantik,Saudagar, Penjahat, Abdi Dalem sampai Pegawai Pemerintahan. Dalam karya sastra ini pula dipertegas dengan berbagai efek negatif yang ditimbulkan akibat sering mengkonsumsi candu, seperti dalam bagian cerita Tiyang Nyêrèt Naboki Anak Bojo. Kisah ini menceritakan tentang suami yang senang mengkonsumsi candu. Disuatu hari menyuruh anaknya untuk membelikan candu, namun nasib malang menimpanya uang yang dibawanya untuk membeli candu hilang diperjalanan. Anak itu pun nangis lalu pulang untuk mengadu kepada Bapaknya, alangkah terkejutnya Bapaknya pun marah sejadi-jadinya dan memukul anaknya dengan keras seraya menyerukan umpatan anake wong edan(anak orang gila). Kejadian ini pun dilihat oleh Istrinya yang membuat Istrinya ikut marah kepada Suami, namun nasibnya tidak jauh beda dengan anaknya,Istrinya pun mendapatkan tangan yang mendarat dikepalanya. Sebuah contoh kekejian yang ditimbulkan dari ketergantungan terhadap candu yang tercerminkan dalam karya sastra Padmasusastra.
Cerminan bahaya narkoba bagi kehidupan dan perkembangan ini tercermin pula dalam karya sastra Indonesia baru dengan tahun 2004 yang berjudul Jangan Beri Aku Narkoba karya Alberthiene Endah yang menceritakan seorang Arimbi yang terjegal masalah keluarga dan terperdaya pengedar narkoba untuk mengkonsumsi narkoba yang mengakibatkan Arimbi kecanduan sehingga merubah seluruh aspek kehidupannya. Tidak sampai disitu saja Arimbi pun mulai masuk semakin dalam ke Lembah Hitam setelah bertemu dengan Vela, Arimbi pun mulai terpengaruh Vela yang merupakan seorang lesbian Hingga pada akhirnya penyimpangan seksual Arimbi pun terjadi dengan terjalinnya hubungan kasih antara Arimbi dan Vela.
Dari gambaran Tahun 1808 dimasa PB IV, 1912 dimasa Padmasusastra dan 2004 sastrawan modern Alberthiene Endah memiliki kesamaan topik mengenai kekhawatiran dengan generasi muda yang sering terjerat oleh jaring-jaring narkoba dalam karya sastranya masing-masing. Persoalan narkoba seakan-akan menjadi sebuah lingkaran setan yang siap untuk menetaskan kenistaan manusia untuk disebar keseluruh penjuru dunia, dan dijadikan mesin perusak bagi kehidupan manusia yang tata tentrem kartaraharjaini.
Jas Merah dan Sadarlah
Sejarah Indonesia khususnya Jawa mencatat peperangan melawan candu/narkoba telah terjadi semenjak Amangkurat II,segala upaya untuk meberantas candu yag telah membudaya ini dengan berbagai cara, salah satunya dengan membubuhkan kedalam karya sastra sebagai cacatan sejarah serta pembelajaran bagi anak cucu. Dimasa sekarang peperangan melawan candu yang sekarang lebih beranekaragam jenis dan bentuknya (narkoba) melalui sebuah lembaga yang disebut Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan menggalakkan seminar dan penyuluhan anti narkoba ke seluruh kompnen masyarakat tanpa terkecuali. Selain itu dengan dikeluarkannya UU. RI. NO 35 TH. 2009 tentang narkotika sebagai alat pencerat bagi siapa pun yang menyentuh Narkotika tanpa terkecuali. Namun tidak dapat dipungkiri pemberantasan sampai akar-akarnya pun masih sulit diberantas karena memang sudah membudaya dan jaringannya pun sangat sulit terdeteksi.
Hal inilah yang harus dipahami semua, bahwa keterjeratan dengan narkoba meruapakan awal kehancuran masa depan bangsa. Semakin banyak kaum muda bangsa yag terjerat maka Negara akan semakin condong pada kehancuran. Sedini mungkin kita menghindari narkoba dan kuat akan segala rayuan para pengedar narkoba. Dari karya sastra yang tercipta dari hati pengarang mengenai candu yang sangat merusak moral ini sangatlah bisa kita jadikan sebagai cerminan dunia agar kita tidak terjerembak dalam lingkaran narkoba. Sebagai warga Indonesia yang cinta kan Tanah Air dan perkembangan Negara sudah semestinya peduli akan lawan yang seharusnya dimusnahkan agar cita-cita dan produktivitas warga terutama kaum muda dapat terus berkembang serta bersaing degan Negara lain. Aku cinta Indonesia, Indonesiaku bebas narkoba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H