Mohon tunggu...
Frengki Nur Fariya Pratama
Frengki Nur Fariya Pratama Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pecinta naskah Jawa di Sradhha Institute, berdikusi sastra di Komunitas Langit Malam.

Menjadi Insan yang mampu berkontribusi terhadap negara dan masyarakat adalah ideologis manusia yang menghamba kepada Sang Khaliq

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perspektif Pandangan (Zat/Tuhan Maha Asyik)

1 Maret 2017   01:09 Diperbarui: 1 Maret 2017   01:14 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari, penggemar musik timur tengah ini melihat ibu Chistine dengan makanan di piringnya. Buchori dan Parwati mengatakan, “mama Christine sedang menyantap steak.” Tapi, Pangestu bersikukuh bahwa ibunya Christine sedang memangsa Sapi.

“itu steak,Pang,” Parwati menandaskan.

“Lha, daging Sapi, itu bagian dari Sapi juga. Bagian yang juga dimangsa oleh Harimau.”

“Memang, sih tapi Mama Christine tidak sedang memangsa Sapi. Beliau menyantap,” Buchori membantu Christine.

“Apa bedanya?” Pangestu bersikeras. “Ibu Christine juga membunuh Sapi, tapi memlalui tangan orang lain, yaitu pemotong Sapi di rumah jagal.”

“Tapi..?”

“Ah, sudahlah.” Akhirnya, Parwati dan Buchori ngacir.

Penggalan buku Tuhan Maha Asyik karya Sujiwo Tedjo dan Dr. MN. Kamba merefleksikan sebuah berbedaan persepektif pandangan yang kadang kala membutakan mata. Dengan segala individualis merasa benar bagi dirinya dan menyalahkan persepektif pandangan yang lain. Hal ini menggambarkan sebuah kegilaan pandangan yang sangat naif diterka. Tanpa melihat hakikat kebenaran yang adanya saling menyalahkan dan membenarkan diri pribadi. Mengawali hari dengan senyum antar sesama pun semakin terkubur dengan kecurigaan yang tak berdasar. Yang timbul hanya bara-bara permusuhan.

Sebuah kegalauan bangsa yang semakin menjadi-jadi di muka bumi. Tanpa memandang keseimbangan harmoni selalu bersikukuh dengan apa yang di kemukan yang akhirnya menjadikan sebuah kegonjang-ganjingan harmonisasi Alam. Dan mempertaruhkan persaudaraan ke-Bineka Tunggal Ika-an, lalaikan varian-varian pemikiran yang  begitu banyak tersebar di muka Bumi. Lalai akan keharmonisan Insan manusia dan mendahuluan keegoisan pribadi belaka.

Sebuah pemingat akan gentingnya masalah perpecahan yang  semakin menjadi. Hanya gara-gara masalah rebutan permen persaudaraan di korbankan. Melupakan yang namaya qolbu dan hakikat Tuhan sebagai pemutus kebenaran yang sejati dan tanpa ada yang bisa menawar dengan segala bentuk argument. Orang yang tak tau menahu akan duduk permasalahannya ikut riuh mengobarkan emosi yang tak tau benar dan salahnya. Melupakan sejatinya Khalifah di muka bumi. Melupakan isi dari lagu Sabang  sampai Merauke. Dan lupa akan hakikat manusia sebagai mahkluk sosial yang berakal untuk mencari titik temu antar pendapat yang bermunculan.

Perbedaan adalah rahmad yang harus tetap kita jaga segala bentuk keindahan di dalamnya. Selalu ingat akan Dzat Maha Tunggal sebagai dasar pijakan melantunkan kalam Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun