Suatu hari, penggemar musik timur tengah ini melihat ibu Chistine dengan makanan di piringnya. Buchori dan Parwati mengatakan, “mama Christine sedang menyantap steak.” Tapi, Pangestu bersikukuh bahwa ibunya Christine sedang memangsa Sapi.
“itu steak,Pang,” Parwati menandaskan.
“Lha, daging Sapi, itu bagian dari Sapi juga. Bagian yang juga dimangsa oleh Harimau.”
“Memang, sih tapi Mama Christine tidak sedang memangsa Sapi. Beliau menyantap,” Buchori membantu Christine.
“Apa bedanya?” Pangestu bersikeras. “Ibu Christine juga membunuh Sapi, tapi memlalui tangan orang lain, yaitu pemotong Sapi di rumah jagal.”
“Tapi..?”
“Ah, sudahlah.” Akhirnya, Parwati dan Buchori ngacir.
Penggalan buku Tuhan Maha Asyik karya Sujiwo Tedjo dan Dr. MN. Kamba merefleksikan sebuah berbedaan persepektif pandangan yang kadang kala membutakan mata. Dengan segala individualis merasa benar bagi dirinya dan menyalahkan persepektif pandangan yang lain. Hal ini menggambarkan sebuah kegilaan pandangan yang sangat naif diterka. Tanpa melihat hakikat kebenaran yang adanya saling menyalahkan dan membenarkan diri pribadi. Mengawali hari dengan senyum antar sesama pun semakin terkubur dengan kecurigaan yang tak berdasar. Yang timbul hanya bara-bara permusuhan.
Sebuah kegalauan bangsa yang semakin menjadi-jadi di muka bumi. Tanpa memandang keseimbangan harmoni selalu bersikukuh dengan apa yang di kemukan yang akhirnya menjadikan sebuah kegonjang-ganjingan harmonisasi Alam. Dan mempertaruhkan persaudaraan ke-Bineka Tunggal Ika-an, lalaikan varian-varian pemikiran yang begitu banyak tersebar di muka Bumi. Lalai akan keharmonisan Insan manusia dan mendahuluan keegoisan pribadi belaka.
Sebuah pemingat akan gentingnya masalah perpecahan yang semakin menjadi. Hanya gara-gara masalah rebutan permen persaudaraan di korbankan. Melupakan yang namaya qolbu dan hakikat Tuhan sebagai pemutus kebenaran yang sejati dan tanpa ada yang bisa menawar dengan segala bentuk argument. Orang yang tak tau menahu akan duduk permasalahannya ikut riuh mengobarkan emosi yang tak tau benar dan salahnya. Melupakan sejatinya Khalifah di muka bumi. Melupakan isi dari lagu Sabang sampai Merauke. Dan lupa akan hakikat manusia sebagai mahkluk sosial yang berakal untuk mencari titik temu antar pendapat yang bermunculan.
Perbedaan adalah rahmad yang harus tetap kita jaga segala bentuk keindahan di dalamnya. Selalu ingat akan Dzat Maha Tunggal sebagai dasar pijakan melantunkan kalam Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H