Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jika Uang Sudah Dipertuhankan

7 Oktober 2013   21:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:51 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesuatu yang dijadikan tempat bergantung terhadap semua persoalan hidup manusia, konon itulah yang disebut sebagai Tuhan. Tuhan adalah segala dari segala hal yang awal dan yang akhir, yang lahir dan yang batin, yang kekal dan yang fana, yang dunia dan yang akhirat, yang kaya dan yang miskin, yang pandai dan yang bodoh, serta masih banyak yang dan yang yang lainnya. Tuhan hadir di tengah peradaban manusia melalui pewahyuan yang disampaikan melalui para Nabi dan Rasul. Melalui tertanamnya rasa iman di dalam dada para pemeluk agama utama di dunia, segala hal mulai dari lahir, hidup, dan matinya manusia adalah untuk Tuhan.

Tuhan adalah dzat yang supernatural, meng-atas-i, atau melampaui segala hal apapun yang terlintas di hati dan pikiran manusia. Melalui titah dan kekuasaan-Nya, Tuhan bisa menghitamkan yang putih, sekaligus juga sangat bisa memutihkan yang hitam. Dengan kuasa Maha Kuasa-Nya, segala makhluk ciptaan-Nya hanyalah sekedar menjalani peranan dalam sandiwara kehidupan di dunia fana ini. Dialah sang sutradara Maha Sutradara semua kejadian dan perjalanan kehidupan ini.

Jaman memang semakin hari semakin canggih nan modern. Dengan karunia otak dan pikirannya, manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, lengkap dengan penemuan-penemuan teknologi terkini yang mengatasi segala masalah manusia dan menciptakan kemudahan hidup atas nama modernitas jaman. Namun demikian pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan teknologi tersebut bukan tanpa menciptakan residu-residu yang menciptakan kontra-kontra dan dikotomi-dikotomi antara kemajuan dan kemunduran jaman. Tergantung dari sisi mana sudut pandang kita lontarkan, jaman kini yang juga disebut jaman modern bisa dipandang sebagai sebuah kemajuan ataupun sebuah kemunduran.

Kemodernan bisa dianggap sebagai sebuah kemajuan jika dilihat dari sisi manfaat ataupun nilai kualitas hidup manusia yang semakin mudah dan murah atas jasa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi modernitas juga memiliki sisi-sisi kelam nan negatif jika dikaitkan dengan nilai moralitas dan spiritualitas sebagaimana telah ditunjukkan Tuhan melalui kitab suci dan ajaran-ajaran agama-Nya.Manusia di masa kini semakin individualis, materialistis, bahkan menghalalkan segala macam cara untuk mencapai ambisi yang didorong hawa nafsu. Jaman memang sudah jaman edan!

Dalam benak penganut paham materilistik, segala hal di dunia hanya dapat diraih dan dicapai dengan eksploitasi terhadap segala benda. Rasionalitas para materialis hanya semata-mata ditempatkan di atas singgasana kepandaian otak atas nama logika dan pengamatan empiris melalui pencapaian panca inderanya. Segala hal yang tidak dapat dijangkau dengan nalar, akal sehat, termasuk di luar daya jangkau panca indera dianggap sebagai hal yang irasional, tidak masuk akal, bahkan dianggap sebagai kebodohan yang sia-sia. Hal ini bahkan tidak tanggung-tanggung, juga terhadap konsep serta keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang selalu sangat ghaib, abstrak dan hanya bisa dijangkau dengan kesucian pancaran hati nurani dalam landasan nilai iman.

Lalu bila Tuhan sudah sedemikian dianggap irasional, dipinggirkan, bahkan ditinggalkan oleh manusia materialistik, apa yang akan terjadi dengan manusia di tengah terpaan badai modernitas yang justru menghembuskan angin dehumanisasi tadi?

Bagi penganut materialistik, hidup hanya akan benar-benar terasa hidup jika mampu memikirkan, mendekati, meraih, bahkan menguasai segala akses terhadap kekuasaan, pangkat, jabatan dan tentu saja harta benda kekayaan yang secara mutlak terwakili dengan uang. Uang adalah segala dari segala macam tujuan hidup. Uang telah dipertuhankan sedemikian rupa. Inilah bentuk modern dari sebuah kemusyrikan yang seringkali luput dari kesadaran pikir kita. Lalu seperti apakah gambaran manusia yang telah mempertuhankan uang itu?

Jikalau uang sudah menjadi tujuan dan segala tujuan hidup, tentu saja segala daya upaya pikiran, perkataan, perbuatan hingga semua output seseorang akan dipenuhi dengan segala pertimbangan ataupun perhitungan untung-rugi yang dikuantisasikan dalam wujud uang. Pikirannya demi uang, perkataannya demi uang, perbuatannya demi uang! Kerjanya sudah demi uang! Makannya, tidurnya, terjaganya, sekolahnya, segala aktivitas hidupnya, nafas hidupnya, bahkan syahadatnya, sholatnya, puasanya, zakatnya, termasuk hajinya juga sudah demi uang! Uang, uang, uang, uang dan……uang lagi, uang lagi!

Andai uang memang telah dipertuhankan manusia, maka segala macam pangkat, jabatan, kedudukan, status sosial atau apapun kenikmatan hidup tidak akan pernah mencukupkan dorongan keinginan hawa nafsu yang senantiasa menderu-deru di dalam pikiran. Hati sudah menjadi batu dan tidak lagi bisa menjadi cerminan kesucian hati. Pintu hidayah seolah telah sengaja ditutupnya rapat-rapat demi memperturutkan persekutuannya dengan iblis dan setan.

Sadar tidak sadar, ketidaksadaran mempertuhankan uang kian merajalela di tengah kehidupan masyarakat dan negara kita. Bagaimana mungkin para petinggi negara yang terhormat dengan kedudukan, pencapaian jenjang karir yang gemilang, profesionalisme bidang keilmuannya, dan segala pencapaian prestasi hidup yang luar biasa, namun seringkali dipuncaki dengan kehancuran akibat praktik suap-menyuap, makelar hukum, termasuk tindakan korup dan penyalahgunaan fasilitas negara. Belakangan kita tentu saja sangat prihatin dengan penangkapan tangan beberapa petinggi negara kita yang melakukan praktik-praktik suap-menyuap yang merugikan negara, terutama juga melukai rasa keadilan rakyat yang hidup dalam suasana pas-pasan bahkan serba kekurangan. Tidak tanggung-tanggung nilainya melebihi hitungan milyaran rupiah pada setiap kasusnya.

Apakah selamanya kita akan turut diam dan bungkam? Tidak sedulur, setidaknya kita masih memiliki kekuatan doa untuk mengetuk pintu hati-Nya agar menolong negara kita! Kembalilah kepada Tuhan Yang Sejati. Uang hanyalah sarana jalan menuju kebahagiaan. Uang bukanlah segala-galanya dalam pergerakan roda kehidupan duniawi ini. Jagalah martabat dan akhlak kita terhadap makhluk Tuhan yang bernama uang tersebut. Jika tidak? Yo wis, monggo modaro! Silakan menikmati keabadian penderitaan hidup!

Ngisor Blimbing, 6 Oktober 2013

Gambar Akil Muchtar diambil dari sini.

Gambar Rudi Rubiandini didapat dari sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun