Mohon tunggu...
Sang Nanang
Sang Nanang Mohon Tunggu... -

Manungso tan keno kiniro!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tahta Tuhan di Bawah Selang-selang

27 Oktober 2013   04:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:59 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wah, ngalamat tambah gawat ini. Akhirnya kami saling menggeleng tidak paham satu sama lain. Ndilalah dengan spontan kemudian saya menggerakkan mimik dan tubuh dengan mengangkat kedua tangan mengambil sikap takbiratul ikram dan sedakep. Ternyata dia justru paham, dan menyahut sambil manggut-manggut, “Ooo..... Assalamu’alaikum,” sambil menyambar tangan saya. Kamipun berjabat tangan denga erat. Saya rasa dia seorang muslim.

Dia memberikan panduan arah dengan kedua tangannya. Saya hanya bengong mencoba memahami sebisa mungkin. Melihat gelagat saya yang kebingungan menangkap keterangannya, dia akhirnya mengisyaratkan saya untuk mengikuti dia ke suatu arah. Kereta gerobag bawaannya sengaja ditinggalkannya. Saya membatin, baik benar nich orang.

Akhirnya dengan berkelak-kelok jalan, saya diantar ke sebuah pintu besi hijau bertuliskan “WIWAG”. Berhubung saya jelas tidak paham mengenai bahasa Jerman yang banyak digunakan di Austria. Saya berasumsi wiwag berarti prayer room atau mushola. Dia menyuruh saya masuk pintu tersebut dan meninggalkan saya. Sebelum pergi melangkah, dia menjabat tangan saya. Sayapun berkata, “ Thank you very much. Assalamu’alaikum.”

Selepas memasuki pintu hijau bertuliskan “WIWAG” tersebut, kembali saya jumpai sebuah koridor sunyi, senyap, sepi nan kosong. Tidak kelihatan satu orangpun, dan msaih tidak ada tanda-tanda keberadaan prayer room. Ada sebuah pintu ruang bertuliskan WIWAG di sisi kanan koridor. Saya beranikan diri mengetuk dan kemudian membuka pintu. Di dalam ruang tersebut, saya membayangkan tergelar karpet dan sekedar beberapa lembar sajadah untuk sholat. Ternyata hal itu tidak saya temukan. Saya justru menjumpai seorang ibu-ibu yang sedang memberikan beberapa instruksi penting kepada seorang lelaki yang berpakaian serba putih-putih. Kalaulah dia berpakaian putih-putih ala jubah ataupun potongan baju koko pasti saya langsung gembira. Namun sang lelaki tersebut justru berpakaian koki. Saya langsung berpikir saya salah alamat dan mungkin justru tersesat.

Dengan sedikit ragu saya berkata kepada mereka berdua, “I’m sory. I just looking for praying room. Where is it?”

Si Koki sedikit agak menggeleng dan menunjukkan muka tidak paham. Namun justru si ibu-ibu yang memberikan arahan, “ You just turn left in this coridor and than you will find the grey door. Open it. That is moslem praying room.”

Akhirnya benar-benar saya ikutan nasehat beliau. Saya berjalan di koridor depan ruangannya, belok kiri dan kembali menjumpai sebuah pintu besi. Kali ini berwarna abu-abu. Saya buka pintu tersebut, dan subhanallah sebuah hamparan karpet merah kembang-kembang berbaris rapi menghadap arah tertentu. Aha, inilah mushola yang dimaksudkan.

Tuhan ternyata sembunyi di balik riuh rendahnya urusan orang di area VIC ini. Tuhan sengaja menepi, menyepi dan bertapa di kesunyian ruang basement. Di bawah selang-selang besi dan paralon plastik, juga kabel-kabel yang ruwet rupanya Tuhan justru bertahta. Saya jadi teringat sebuah uraian artikel Emha Ainun Nadjib mengenai keberadaan Tuhan di gedung-gedung besar, hotel-hotel mewah, mall-mall yang di bawah selang-selang itu.

VIC12
VIC12

Ruang sembahyang, mushola, apalagi masjid tidak pernah menjadi hal yang primer dalam tatanan kosmologi arsitektur manusia modern. Ia sudah terkalahkan oleh kepentingan manusia yang lain. Uang, pangkat, jabatan, karir, ekonomi, bisnis, dan semua hal keduniawian. Tuhan menjadi urusan manusia yang ke nomor sekian, entah enam belas, seratus lima puluh tujuh, sembilan ribu lima ratus lima puluh, ataupun mungkin sudah sama sekali dilupakan. Ini sekaligus sebuah pertanda dan gambaran betapa manusia modern memang sudah sangat meminggirkan Tuhan. Tuhan ditempatkan di pojokan basement, tidak terlihat, tempat gelap, pengap dan sangat susah untuk dicari. Tuhan seolah sudah sedemikian dipunggungkan oleh manusia. Tuhan di belakang tumit setiap orang. Tuhan tidak lagi menjadi acuan dan pertimbangan utama dalam mengambil pola pikir, ucapan, sikap ataupun tindakan.

Namun demikian, semoga Tuhan tetap bertahta di setiap insan yang di kedalaman nuraninya masih terperciki cahaya hidayah dan kesucian-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun