Hari pertama turut kungkum ngangsu kawruh di pinggiran Kali Danalube tentu banyak hal baru ditemui. Di tengah kesempatan rehat rolasan alias makan siang, naluri religiusitas saya secara reflek membisikkan diri untuk sholat Dzuhur sebagaimana biasanya dilakukan. Karena tidak tahu kiblat arah utara-selatan maupun timur-barat, ngendi lor ngendi kidul, akhirnya saya bertanya kepada seorang mbak-mbak yang kebetulan waktu itu berada di meja informasi dan registrasi.
“Miss, is there some prayer room for muslim in this area?” saya mengajukan pertanyaan.
Si Mbake, demi mendengar pertanyaan tersebut spontan merasa aneh meskipun tanpa mengurangi rasa antusiasme untuk membantu memberikan informasi yang saya butuhkan. Sangat mungkin dan bisa jadi ia belum pernah beruntung mendapatkan pertanyaan serupa dari para tamu-tamunya. Dengan sambil berpikir serius ia berkata, “Hmmmm, good question. But, I’m sory I am not sure about that. I think in F building”.
Yo wislah, mau bertanya kepada siapa lagi. Sudah mencoba bertanya kepada tempat yang benar tetapi malah semakin ragu dan mangu-mangu. Kompleks perkantoran Vienna International Center menempati area yang sangat luas. Beberapa organisasi PBB penting bermarkas di area tersebut. Secara keseluruhan mungkin luasnya melebihi dusun kami di pinggir gunung Merapi sana. Sebagai identifikasi, masing-masing gedung diberikan nama dari huruf A hingga F, termasuk gedung M. Tentu saja tidak mudah menemukan satu titik lokasi di tengah minimnya informasi detail mengenai setiap lantai dan setiap ruang yang semestinya tersaji pada sebuah denah di sisi masuk gedung. Hingga agenda hari itu berakhir, saya terpaksa masih menunda sholat Dzuhur, bahkan juga Asarnya. Begitu lonceng pulang dibunyikan, maka saya bertekad langsung pulang menuju tempat menginap dan sesegera mungkin sholat.
Hari tersebut saya sengaja datang agak lebih awal. Niat ingsun ingin mengeksplor Gedung F, sebagaimana dikatakan si Mbak sehari sebelumnya. Dari ruang loby utama saya jelajahi beberapa koridor dan beberapa lantai. Yang saya temukan hanyalah deretan ruang kantor dan ruang pertemuan. Di Gedung F tidak ada satu keterangan atau petunjuk khusus yang mengarah kepada adanya ruang sembahyang. Jam sepagi itupun belum banyak petugas ataupun orang yang datang dan bisa dimintai keterangannya. Ya, sudah. Saya agak pesimistis sebagaimana si Mbak kemarin juga kurang yakin memberikan keterangan.
Hari ke dua tersebut, ndilalahnya jam istirahat siang sedikit lebih lama. Waktu yang lebih longgar, tentu saja saya ingin menuntaskan pencarian saya. Selepas makan siang di kafetaria yang kebetulan juga berada di Gedung F, saya mencoba bertanya kepada seorang satpam yang kebetulan melintas. Berbeda dengan si Mbak kemarin, satpam ini dengan yakin memberitakan bahwa prayer room ada di lantai -1, alias turun satu lantai dari tempat kami berada.
Sayapun kemudian turun lift. Lantai -1 tentu saja berupa basement. Sepi suasana di sana. Hanya satu dua orang melintas. Ada petugas kebersihan, petugas laundry, atau tidak tahulah saya. Masih tidak menemukan tanda-tanda dan petunjuk arah khusus, saya akhirnya berjalan ngalor-ngidul ngetan bali ngulon, dan nggak ketemu juga.
Saat seorang ibu-ibu petugas kebersihan melintas, saya tanya lagi tentang prayer room. Dengan ramah si ibu tersebut menyatakan tidak tahu. Yo wis, saya jalan lagi meneruskan penjelajahan. Beberapa saat kemudian ada seorang setengah baya, seorang petugas laundry tengah mendorong gerobag berisi tumpukan kain-kain. Saya berhentikan dia, dan bertanya lagi, “Excuse me Sir. Where is prayer room for muslim in this building?”
Dianya justru menggeleng seraya berkata, “No English! Duch please.”
Dia memberikan panduan arah dengan kedua tangannya. Saya hanya bengong mencoba memahami sebisa mungkin. Melihat gelagat saya yang kebingungan menangkap keterangannya, dia akhirnya mengisyaratkan saya untuk mengikuti dia ke suatu arah. Kereta gerobag bawaannya sengaja ditinggalkannya. Saya membatin, baik benar nich orang.
Akhirnya dengan berkelak-kelok jalan, saya diantar ke sebuah pintu besi hijau bertuliskan “WIWAG”. Berhubung saya jelas tidak paham mengenai bahasa Jerman yang banyak digunakan di Austria. Saya berasumsi wiwag berarti prayer room atau mushola. Dia menyuruh saya masuk pintu tersebut dan meninggalkan saya. Sebelum pergi melangkah, dia menjabat tangan saya. Sayapun berkata, “ Thank you very much. Assalamu’alaikum.”
Dengan sedikit ragu saya berkata kepada mereka berdua, “I’m sory. I just looking for praying room. Where is it?”
Si Koki sedikit agak menggeleng dan menunjukkan muka tidak paham. Namun justru si ibu-ibu yang memberikan arahan, “ You just turn left in this coridor and than you will find the grey door. Open it. That is moslem praying room.”
Akhirnya benar-benar saya ikutan nasehat beliau. Saya berjalan di koridor depan ruangannya, belok kiri dan kembali menjumpai sebuah pintu besi. Kali ini berwarna abu-abu. Saya buka pintu tersebut, dan subhanallah sebuah hamparan karpet merah kembang-kembang berbaris rapi menghadap arah tertentu. Aha, inilah mushola yang dimaksudkan.
Tuhan ternyata sembunyi di balik riuh rendahnya urusan orang di area VIC ini. Tuhan sengaja menepi, menyepi dan bertapa di kesunyian ruang basement. Di bawah selang-selang besi dan paralon plastik, juga kabel-kabel yang ruwet rupanya Tuhan justru bertahta. Saya jadi teringat sebuah uraian artikel Emha Ainun Nadjib mengenai keberadaan Tuhan di gedung-gedung besar, hotel-hotel mewah, mall-mall yang di bawah selang-selang itu.
Ruang sembahyang, mushola, apalagi masjid tidak pernah menjadi hal yang primer dalam tatanan kosmologi arsitektur manusia modern. Ia sudah terkalahkan oleh kepentingan manusia yang lain. Uang, pangkat, jabatan, karir, ekonomi, bisnis, dan semua hal keduniawian. Tuhan menjadi urusan manusia yang ke nomor sekian, entah enam belas, seratus lima puluh tujuh, sembilan ribu lima ratus lima puluh, ataupun mungkin sudah sama sekali dilupakan. Ini sekaligus sebuah pertanda dan gambaran betapa manusia modern memang sudah sangat meminggirkan Tuhan. Tuhan ditempatkan di pojokan basement, tidak terlihat, tempat gelap, pengap dan sangat susah untuk dicari. Tuhan seolah sudah sedemikian dipunggungkan oleh manusia. Tuhan di belakang tumit setiap orang. Tuhan tidak lagi menjadi acuan dan pertimbangan utama dalam mengambil pola pikir, ucapan, sikap ataupun tindakan.
Namun demikian, semoga Tuhan tetap bertahta di setiap insan yang di kedalaman nuraninya masih terperciki cahaya hidayah dan kesucian-Nya.
Dengan tergetar dan sedikit lunglai saya bertafakur untuk kemudian tenggelam dalam sholat. Saya teringat Kanjeng Nabi Muhammad. Saya teringat langgar di dusun kami. Saya teringat bapak-ibu, teringat simbah, biyung tuwo, kakak-adik, tetangga rumah dan para handai taulan di kampung halaman. Saya terkenang dengan orang-orang yang saya kenal dalam kilasan lintasan sesaat. Hati saya adem-ayem merasakan kedamaian. Begini mungkin nikmat keimanan yang dirasa lebih mendalam pada saat kita menjadi minoritas di negeri orang. Sujud syukur kepada-Mu Ya Rabb.
Vienna, 23 Oktober 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H