Kemerdekaan Republik Indonesia adalah milik bersama segenap bangsa Indonesia. Tidak hanya Presiden, para Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, anggota Dewan, bahkan juru parkir, pedagang kali lima, petani, nelayan, serta semua wong cilik adalah pemilik kemerdekaan negeri ini. Kemerdekaan tidak hanya menjadi milik mereka yang mengikuti upacara bendera.
Lazimnya, upacara bendera sebagai peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan memang terbatas dilaksanakan di instansi formal, seperti kantor-kantor dan sekolahan. Dengan demikian warga masyarakat yang berprofesi di luar institusi formal dan sudah tidak lagi menjadi siswa-siswi sekolah pasti tidak pernah lagi berkesempatan mengikuti upacara bendera Hari Kemerdekaan RI tersebut.
Tetapi nanti dulu sedulur! Lazimnya upara bendera memang hanya diikuti para pegawai formal, seperti PNS, Polisi, Tentara, ataupun pegawai perusahaan nasional terkemuka, juga para siswa. Akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak mutlak berlaku di Kecamatan Srumbung, wilayah Tepi Merapi tempat tinggal kami. Meskipun tidak masuk ke dalam barisan formal, warga masyarakat biasa juga turut hikmat mengikuti upacara HUT Kemerdekaan RI di lapangan Kecamatan Srumbung.
Bagi warga masyarakat Srumbung, secara tradisi lokal HUT Kemerdekaan RI merupakan sebuah puncak perayaan bersama yang lazim disebut perayaan Agustusan atau Pitulasan. Menyambut 17 Agustus setiap tahunnya, masyarakat sudah terbiasa bekerja bakti secara gotong-royong untuk menghias pedusunan masing-masing. Gapura sebagai gerbang desa dihias atau diperbarui kembali. Pagar-pagar halaman rumah dicat lagi. Umbukl-umbul dan serba-serbi hiasan bernuansa merah putih di pasang hampir di sepanjang jalanan. Dan semakin mendekati hari-H, setiap rumah mengibarkan bendera merah putih di halaman mukanya.
Tidak terhenti pada persiapan fisik desa, warga juga terbiasa menyelenggarakan aneka ragam perlombaan, baik untuk anak-anak, remaja, hingga para orang tua dan manula dalam rangka menyambut Hari Kemerdekaan. Ada lomba permainan balap karung, menangkap balon, membawa kelereng, memecah balon, makan kerupuk, balap bakiak, lari memindah bendera, memasukkan pensil ke dalam botol, dan lainnya. Ada juga lomba olah raga, semisal jalan sehat, sepeda gembira, bola voli, sepak bola, badminton, tenis meja, catur, termasuk tarik tambang. Sebagai puncaknya berlombaan digelar lomba panjat pinang dengan berbagai hadiah yang sangat menarik.
Masih ada lagi gerakan masyarakat dalam menyongsong datangnya hari bersejarah bagi bangsa Indonesia ini, yaitu acara tasyakuran atau tirakatan. Khusus acara ini biasanya diselenggarakan pada malam hari menjelang Hari-H Peringatan Proklamasi. Khusus warga masyarakat kaum pria yang terdiri bapak-bapak, para remaja dan pemuda biasanya berkumpul bersama di rumah kepala dukuh ataupun bahkan di tanah lapang untuk begadang sambil merenungkan kembali sekaligus napak tilas kisah-kisah kepahlawanan dalam rangka mewariskan dan menanamkan nilai kejuangan dari generasi tua kepada para penerusnya. Dalam kesempatan tersebut, para sesepuh yang dulu pernah ikut angkat senjata berjuang merebut dan menegakkan kemerdekaan bercerita tentang lika-liku perjuangan mereka.
Memasuki Hari-H peringatan Kemerdekaan RI, warga masyarakat berbondong-bondong menuju lapangan kecamatan. Lelaku-perempuan, tua-muda, bapak-bapak, ibu-ibu, kakek-nenek, pakde-mbokde, semua bergegas melangkah menuju satu tujuan. Di masa lalu pada saat kendaraan masih terbatas, warga tersebut berjalan kaki sejauh 3-4 km menuju pusat kecamatan, maka tidak mengherankan jika kemudian di pinggiran jalan utama menuju kecamatan muncul para pedagang dadakan yang menjajakan aneka minuman dan makanan kecil, serta berbagai gorengan maupun aneka rupa makanan tradisional.
Semenjak di pagi hari, lapangan utama kecamatan sebagai tempat puncak peringatan 17 Agustusan sudah dibandjiri ribuan warga masyarakat. Di samping kesibukan persiapan untuk melaksanakan upcara, sekeliling lapangan juga dipenuhi dengan pedagang yang menjajakan makanan, minuman, hasil kerajinan, hasil bumi, dan sudah tentu beragam permainan anak-anak dari yang sederhana, tradisional hingga yang yang mahal dan canggih. Tepian lapangan kecamatan seolah tersulap menjadi pasar dadakan yang meriah.
Pelaksanaan upacara bendera melibatkan sekolah-sekolah SD, MI, SMP, serta MTs di seluruh pelosok Kecamatan Srumbung. Khusus untuk siswa SD, setiap sekolah biasanya mengirimkan regu utama yang terdiri atas siswa kelas V dan VI untuk bergabung mengikuti upcara. Selain komponan anak sekolah, ada juga kelompok pramuka, polsek, koramil, PMR, pamong, hansip dan unsur karang taruna.
Rangkaian upacara Peringatan Kemederkaan biasanya dipimpin langsung oleh Camat Srumbung yang menjadi inspektur upacara. Puncak upara yang paling heroik adalah pada saat detik-detiak akan dibacakannya naskah proklamasi, biasanya tepat pukul 10.00 pagi. Pada detik tersebut, sirine di menara kantor kecamatan yang fungsi utamanya untuk peringatan bencana gunung Merapi berbunyi meraung-raung. Bersamaan dengan itu, para siswa yang memegang kentongan juga memperdengarkan bunyi titir dari kentongan yang dipukul. Sungguh sebuah suasana yang sangat syahdu nan mengharu biru.