Mohon tunggu...
Hidayat Doe
Hidayat Doe Mohon Tunggu... -

Lahir di Kamaru, Buton. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Unhas....

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Facebook; Kebutuhan Alamiah atau Hegemoni?

29 Juli 2011   01:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:17 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Belakangan ini media sosial facebook kian popular di tengah masyarakat. Facebook tidak hanya dimiliki oleh anak remaja, anak muda tetapi juga orang tua dengan beragam latar belakang dan profesi. Data terakhir menunjukkan pengguna facebook di Indonesia telah mencapai 35 juta lebih dari 360 juta pengguna facebook di dunia atau kedua terbesar di dunia setelah AS yang mencapai hingga sekitar 150 juta orang. Spektakuler bukan?

Banyaknya jumlah pengguna facebook di negara ini dan dunia secara umum menimbulkan pertanyaan kritis bagi kita, apakah facebook telah dianggap sebagai sebuah kebutuhan dasar atau sekedar konstruksi hegemoni facebook dalam diri kita?

Dalam era cyber seperti sekarang, penggunaan media sosial semacam facebook atau twitter tidak bisa dinafikan keberadaannya. Apalagi peran facebook demikian pentingnya bagi para pengguna. Facebook, misalnya, dapat mempermudah serta mempererat komunikasi orang yang berjauhan wilayah, rumah atau domisili. Lebih-lebih bagi mereka yang berjauhan adalah anggota keluarga, sanak famili, handai taulan, teman sepermainan, atau bahkan kekasih yang mengharuskan kita untuk bersapaan dan mencari tahu kabar terakhir.

Lebih dari itu, facebook juga jadi alat aktualisasi diri para pengguna, misalnya update status, upload foto, dan lain sebagainya, yang kesemuanya sedikit dimaklumi sebagai manusia yang cenderung narsis. Pada konteks ini barangkali facebook jadi salah satu kebutuhan. Namun, persoalannya kemudian, peran sosial facebook ternyata lebih dari sekedar alat komunikasi dan aktualisasi diri.

Facebook telah begitu jauh mengintervensi diri pribadi manusia. Para pengguna, termasuk penulis sendiri kadang-kadang (sebuah kejujuran), merasa harus membuka facebook dalam sehari, meski hanya sekedar update status yang dianggap remeh teme dan tidak perlu sebenarnya. Seolah-olah tanpa facebook, kebutuhan hidup sehari-hari terasa kurang. Seolah-olah tanpa facebook si pribadi tidak dapat lagi berkomunikasi dengan sahabat, keluarga dan orang yang ingin diketahui kabarnya.

Malah, tanpa facebook orang dibuat penasaran, gelisah serta butuh sekali untuk Online (OL). Facebook seakan telah memiliki otoritas tersendiri yang bisa memaksa para penggunanya untuk OL. Facebook seperti telah berubah jadi mahluk baru atau subyek lain yang bisa mempengaruhi, mengendalikan dan bahkan mengintervensi perilaku manusia.

Pada titik ini, peran sosial dan kedudukan facebook telah berubah dan sudah pasti dipersoalkan. Facebook menjadi semacam kekuatan dominan yang mampu mempengaruhi serta mengintervensi perilaku si pengguna dalam berinternet. Yang awalnya barangkali lagi sibuk cari referensi kuliah atau bahan bacaan, misalnya, malah asyik facebookan, komen-komen atau chatting dengan teman yang lagi OL. Sehingga peran facebook jadi dominan dalam internetan.

Untuk menjelaskan hal itu, perlu dikemukakan konsep hegemoni yang pernah dipopulerkan oleh seorang neo-marxis asal Italia, Antonio Gramsci. Gramsci menggunakan konsep ini untuk melawan dominasi kekuatan kapitalisme di ranah media dan budaya pada masanya.

Hegemoni dalam kacamata Gramsci adalah penerimaan secara sukarela seseorang atas sesuatu yang ditawarkan oleh kelas penguasa. Konsep ini sejalan dengan teori Marx tentang ideologi sebagai kesadaran palsu. Gagasan Gramsci juga mirip dengan konsep Althusser soal apparatus negara ideologis yang juga bekerja untuk menghegemoni atau mensubordinasi orang lain secara lebih halus hingga tidak disadari dan mau menerima serta melakukan apa yang menjadi tawaran dari kelas kuasa.

Mengaitkan penggunaan facebook dengan teori neo-marxis barangkali agak sedikit naïf. Namun harus demikian karena facebook telah menjadi satu kekuatan hegemon baru (kuasa) dalam struktur sosial. Karena itu, kehadiran Facebook harus disikapi secara kritis agar tidak berperan secara negatif menghegemoni kita menjadi sebuah kesadaran baru yang mesti dilakukan setiap hari tanpa disadari arti pentingnya.

Di sinilah pentingnya gagasan kaum neo-marxis seperti Gramsci untuk melakukan kaunterhegemoni facebook.. Sehingga kita tidak terjebak pada penggunaan facebook yang sekedar update status, chatting tak penting, dan komen-komen biasa yang berlebihan dan tidak berarti.

Meskipun pada umumnya facebook sering digunakan untuk hal-hal yang berguna bagi komunikasi dan pertemanan atau, namun penggunaan facebook lebih banyak digunakan untuk hal yang tidak produktif seperti diatas.

Kesadaran Diskursif Giddens

Perbincangan soal penggunaan facebook tampaknya perlu juga diketengahkan teori kesadaran Anthony Giddens. Dalam pembahasannya tentang strukturasi, Giddens membagi tiga jenis kesadaran, yakni motivasi tak sadar, kesadaran praktis, dan kesadaran diskursif.

Motivasi tak sadar adalah potensi keinginan seseorang yang dilakukan tanpa disadari alasan adanya (raison d'etre). Dalam konteks facebookan, misalnya, seberapa sadarkah kita facebook dipakai sebagai media komunikasi. Dorongan yang seringkali muncul adalah mumpung kita lagi internetan, facebookan saja dulu.

Kesadaran praktis oleh Giddens diartikan sebagai pengandaian seseorang terhadap tindakan dan rutinitas yang dilakukan sehari-hari. Dalam facebook, misalnya, ketika kita ingin chatting, cukup dengan facebook atau twitter. Tidak perlu yang lain. Kita juga tidak pernah bertanya mengapa harus chatting di facebook atau twitter itu, bila ingin berkomunikasi. Tindakan facebookan seolah telah diandaikan sebelumnya oleh penggunanya.

Sementara kesadaran diskursif adalah kemampuan kita untuk melakukan rasionalisasi atas apa yang dilakukan. Sehingga ketika dipertanyakan mengapa harus facebookan, jawaban atas hal itu rasional dan tepat sesuai peran serta kegunaan facebook itu sendiri, tidak berlebihan dan produktif. Jika misalnya facebook digunakan untuk media komunikasi dengan keluarga yang berada di luar negeri jadikan facebook untuk alat berkomunikasi. Bila facebook digunakan untuk pertemanan, manfaatkan facebook untuk memperluas jaringan. Bila facebook ingin dijadikan media perlawanan, gunakan facebook untuk mencari simpati dan dukungan baik secara regional, nasional maupun internasional.

Dengan demikian, dari tiga konsep kesadaran itu, kesadaran diskursif Giddens dapat diterapkan untuk menyikapi seringnya penggunaan facebook yang tidak jelas manfaatnya bagi kita. Sehingga kita tidak terjebak pada hegemoni facebook yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak perlu. Kita pun bisa produktif dan fokus dengan pekerjaan.

Jumat, 29 Juli 2011,

Di Rumah Kecil Identitas

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun